Minggu, 03 Agustus 2025
Makna Hidup
Perlahan cinta memaknai dirinya, kata orang lupakan saja tapi aku sungguh rindu rasa yang
terpendam itu, tak punya alasan untuk melawan titipan perasaan yang terlanjur tulus
terungkapkan, kisah yang menemukanku, terangkai dinamis dalam alur yang sulit dimengerti,
adapun vonis dilayangkan menjadi presepsi, itulah pemikiran mereka yang perlahan tergerus
dunia yang berarah pada kepalsuan, setelah kembali jalan keabadian, terpahami bahwa usaha
melarikan diri bukan rencana yang baik untuk pulang, langkah yang kemarin tergerus bisikan
sinis, bukanlah luka yang menjadi dendam, aku mengerti banyak lubang hitam yang aku buat
dari keputusasan menerima kenyataan, sambil merenung dan berpikir diri jauh dari jalan yang
semestinya, berharap pada hal yang sungguh tak kekal, menunggu pada hal yang
berubah-ubah, mudah tergerus isu, mudah termakan rayap penistaan, kekecewaan yang ku
bawa bukanlah suatu penyesalan, yang ku artikan jalan menuju rumah, terjal mendaki, rapuh
tersedimentasi ambisi, bukan sosok, tapi penyajian rasa yang sejati, terabadikan dalam
kesadaran ketidakmampuan logika mengatasi perasaan yang tanpa tuan, mengahadapi definisi
sifat-sifat milik-Nya, sesungghnya pemilik rasa lebih tahu segalanya, mengulang pada saat
kisah itu bercerita, sungguh tak bisa dikatakan itu rencana, hari-hari yang hitam mencari
kepastian saat kehilangan arah, hobi menjadi pelipur lara sementara, niatkan untuk mengobati
luka hati yang menciderai mimpi-mimpi yang seketika hilang, ketenangan jiwa untuk memulai
hari yang baru, mencari ujungnya cita-cita di pojok senja, kau masih di bangku belakang seperti
biasanya, tertidur pulas entah ngantuk atau sedang bersedih kala itu, duniamu sungguh tak ku
pahami, hanya kurasakan sepi itu di atas meja yang basah oleh cacian, terus ku nikmati
hari-hari ketidakpastian, arah yang patah ku rangkai dalam obrolan asing tanpa kesimpulan,
yang ku tahu aku datang sedikit menegur keheningan dan kembali ke dunia hampa ku lagi,
ketahuilah bertahun dalam malam dan derasnya hujan, aku hanya pecundang yang tak bisa
menjadi diri sendiri, aku hanya sebongkah mayat yang hanya bisa berpikir tanpa jiwa, sekosong
itu hidupku, sehening itu hidupku, berpindah pada pohon-pohon layu, namun di saat
bermekaran di saat itulah aku harus pergi, itu tugas satu-satunya yang aku pahami selama ini,
jika diperlukan aku ada, jika tidak dibutuhkan lagi aku siap pergi, meski merindukan tanam
bunga, dan kini giliran saat ku akan kembali, menambal lubang-lubang luka, ku temui suara
untuk hijrah, satu persatu ku perbaiki, menjalani mimpi untuk hari kepulangan, tak peduli lagi
dengan dunia yang bising
Langganan:
Postingan (Atom)