BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Perjudian itu merupakan salah satu bentuk
penyakit masyarakat, satu bentuk patologi sosial. Sejarah perjudian sudah sejak
beribu-ribu tahun yang lalu, sejak dikenalnya sejarah manusia (Kartini Kartono,
2009 : 57). Pada mulanya perjudian itu berwujud permainan atau kesibukan
pengisi waktu senggang guna menghibur hari jadi sifatnya rekreatif dan netral.
Pada sifat yang netral ini, lambat laun ditambahkan unsur baru untuk merangsang
kegairahan bermain dan menaikkan ketegangan serta pengaharapan untuk menang, yaitu
barang taruhan berupa uang, benda atau tindakan yang bernilai (Kartini Kartono,
2009 : 59, 60). Menurut Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 303
ayat 3, perjudian itu dinyatakan sebagai berikut;
Main judi
berarti tiap-tiap permainan yang kemungkinannya akan menang, pada umumnya
tergantung pada untung-untungan saja, juga kalau kemungkinan bertambah besar,
karena pemain lebih pandai atau lebih cakap. Main judi mengandung segala
pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain yang tidak diadakan
oleh mereka yang turut berlomba atau main itu, demikian juga segala pertaruhan
lainnya[1].
Sedang dalil
mutiara, dalam tafsiran KUHP menyatakan sebagai berikut;
Permainan judi ini harus diartikan
dengan arti yang luas, juga termasuk segala pertaruhan tentang kalah-menangnya
suatu pacuan kuda atau pertandingan lain, atau segala pertaruhan dalam perlombaan-perlombaan itu, misalnya
totalisator, dan lain-lain.
Maka KUHP Pasal 303 juga
menyebutkan:
Dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya enam ribu
rupiah, barang siapa dengan
tidak berhak:
1)
Berpencaharian dengan sengaja
memajukan atau memberi kesempatan berjudi atau dengan sengaja turut campur
dalam perusahaan main judi;
2)
Dengan sengaja memajukan
atau memberi kesempatan berjudi kepada umum atau dengan sengaja turut dalam
perusahaan perjudian itu, biarpun diadakan atau tidak diadakan suatu syarat
atau cara dalam hal memakai kesempatan itu; berpencaharian turut
main judi.
3)
Jika yang bersalah melakukan
kejahatan itu dalam pekerjaannya, maka boleh dicabut haknya melakukan pekerjaan
itu.
Bermain judi
secara resmi atau secara hukum dianggap sebagai tindak pidana atau dianggap
sebagai kejahatan. Masyarakat umum menganggap tindak judi sebagai tingkah laku
tidak susila, disebabkan oleh ekses-eksesnya yang buruk dan merugikan.
Khususnya merugikan diri sendiri dan keluarganya, karena segenap harta
kekayaan, bahkan kadang kala juga anak dan istri habis dipertaruhkan di meja
judi. Juga oleh nafsu berjudi orang berani menipu, mencuri, korupsi, merampok,
dan membunuh orang lain untuk mendapatkan uang guna bermain judi.
Defenisi yang diberikan dalam sebuah kamus
besar “khususnya” kamus Bahasa Indonesia yang mana kata “judi” adalah: “Permainan dengan memakai uang atau barang
berharga sebagai taruhan; berjudi berarti mempertaruhkan sejumlah uang atau
harta di permainan tebakan berdasarkan kebetulan, dengan tujuan mendapatkan
sejumlah uang atau harta yang lebih besar daripada jumlah uang atau harta
semula; menjudikan ialah memakai sesuatu untuk bertaruh; penjudian yaitu
proses, cara, perbuatan menjudikan.
Pertaruhan dalam perjudian ini sifatnya murni
spekulatif untung-untungan. Konsepsi untung-untungan itu sedikit atau banyak
selalu mengandung unsur kepercayaan mistik terhadap kemungkinan beruntung.
Permainan tadi dihubungkan dengan personafikasi dari satu kejadian atau fakta
yaitu berupa relasi dengan roh-roh jahat yang membawa kesialan. Interprestasi
Animistik semacam ini menghubungkan rakyat dengan satu kepercayaan nasib untung
dan menjadi atribut kemanusiaan, sekaligus menjadi elemen terpenting pada
perjudian (Kartini Kartono, 2009 : 60).
Pada masyarakat primitif memiliki kepercayaan,
bahwa dalam situasi genting mereka selalu dilindungi roh-roh tertentu.Semua itu
dicerminkan oleh peristiwa keberuntungan atau kesialan, maka dalam kehidupan
sehari-hari, permainan dan perjudian yang disertai pertaruhan itu dipakai
sebagai alat pengetes. Pada bangsa yang lebih modern, unsur kepercayaan
animistik terhadap keberuntungan itu masih saja melekat pada bangsa yang
berbudaya. Keyakinan inilah yang membesarkan
harapan-harapan untuk menang, sehingga membuat dirinya seorang penjudi yang
kronis ( Kartini Kartono 2009 : 60, 61 ).
Pada umumnya, mereka itu menaruh “harapan
semu” untuk melipatgandakan uangya. Gaji yang minim, kondisi hidup yang tidak
menentu, depresi ekonomi yang terasa makin mencekik dan tidak adanya harapan
untuk hari esok. Semunya mendorong rakyat kecil untuk mengkhayalkan keuntungan
dengan harapan spekulatif, dengan cara bagaimana mereka harus memperbaiki taraf
kehidupan keluarga dan diri sendiri dalam krisis ekonomi, semua itu mendorong
mereka mempertaruhkan sebagian penghasilan sendiri dengan berjudi dan membeli
kupon Togel (Kartini Kartono, 2009 : 74).
Togel atau totoan gelap mulai marak di
Indonesia kira-kira sejak tahun 2000an. Jenis perjudian ini sangat diminati
oleh semua kalangan, tua muda, anak-anak dewasa, karena perjuadian ini
relatif murah namun bila menang akan
mendapat uang yang berlipatganda. Selain itu karena togel ini sudah merakyat,
banyak para penjual togel berkeliaran di sekitar kita dan mempermudah para
pembeli yang ingin memasang taruhannya. Dengan kemudahan dan harga yang relatif murah,
jenis perjudian ini sangat populer di Indonesia.
Di dalam jaringan togel Indonesia, terdapat
Bandar besar yang berpusat di Singapura namun juga banyak sekali bandar-bandar
kecil atau biasa disebut penjual togel berkeliaran di sekitar kita. Dalam
jaringannya, bandar-bandar akan terbagi menurut wilayahnya, bandar di
desa-desa, Bandar di kota,
provinsi, hingga sampai ke bandar pusat. Biasanya para pembeli hanya memasang
taruhannya kepada para bandar di desa dan jika menang mereka akan mengambilnya
dari bandar di desa itu pula. Dalam taruhannya, togel terbagi menurut banyaknya
digit nomer yang dipasang 2 (dua) angka, 3 (tiga) angka dan 4 (empat) angka.Semakin banyak digit angkanya, semakin
besar nilai lipat ganda dari uang taruhannya.
Maraknya judi togel dan mulai meningkatnya
pembeli merupakan fakta sosial bahwa judi menjadi hal yang biasa dimasyarakat
kita. Judi dianggap hanya sekedar permainan dan
kebiasaan belaka dan bukan lagi sebagai pelanggaran terhadap norma agama, norma
kesusilaan, norma adat dan norma hukum.
Kebiasaan Judi togel ini dimulai dari
ikut-ikutan, penasaran atau memang mengadu nasib yang didasari kemalasan karena
menganggur tetapi ingin cepat kaya dengan cara yang instan. Ada yang
memulainya karena mendengar teman atau tetangganya menang judi togel. Keinginan untuk beli judi togel semakin kuat
ketika tahu tetangganya tersebut dengan uang sedikit dapat untung berlipat
ganda. Walaupun sekali, dua kali tidak dapat, rasa
penasaran dan mimpi dapat uang banyak tanpa bersusah payah menjadi cambuk
semangat yang luar biasa, sehingga tiada henti untuk mencoba (Opini Bangkapos,
22 Januari 2011)[2].
Judi togel ini telah tercatat sudah meracuni
masyarakat luas baik dari kalangan bawah hingga menengah. Tidak asing lagi,
bahkan ibu rumah tangga, pegawai negeri sipil (PNS) bahkan pedagang-pedagang
kaki lima sudah menjadikan togel sebagai sampingan dan hiburan sehari-hari.
Jenis togel menggunakan modus, yang tergolong
sangat sederhana dan rahasia.Pembeli hanya mendapatkan selembar kertas yang isi
dari kertas tersebut bertuliskan angka-angka yang dipesan (ditafsir) oleh
pembeli. Kemudian kertas yang telah
dituliskan angka dikembalikan oleh pemiliknya sebagai tanda bukti untuk
mengambil uang apabila beruntung nantinya.
Selain itu, modus lain yang digunakan oleh
judi togel ini yakni dengan cara, menggunakan teknologi modern melainkan
peredaran togel dilakukan melalui internet dan telepon. Tetapi bagi orang yang
sudah saling kenal satu sama lain, membeli togel cukup dengan mengirim sebuah
SMS atau telepon ke cabang-cabang togel yang banyak beredar di tempat-tempat
biasa mangkal. Sementara untuk mengetahui angka jitu dan nomor keluar juga
melibatkan teknologi modern yakni dengan cara diakses di internet.
Namun perjudian togel ini sering dihubungkan
dengan kejadian mimpi seseorang, dengan kata lain mereka (pelaku togel)
menafsirkan angka-angka jitu yang akan dipasang berdasarkan hasil tafsiran
mimpi seseorang bahkan telah dibuat buku mimpi yang diyakini membantu para
peminat togel menafsirkan mimpi mereka masing-masing dalam bentuk angka-angka
(merumuskannya).
Hal-hal semacam ini merupakan suatu hal yang
tidak masuk akal, bagaimana tidak, nomor togel dapat diprediksi dengan mimpi.
Hubungunnya di mana dan bagaimana cara menghubungkannya?
mimpi sebagai wilayah yang tidak teraba dan menjadi hak prerogatif sang
pencipta alam semesta ini tiba-tiba ditafsirkan dengan angka-angka yang dapat
menjerumuskan orang pada kerusakan ekonomi tersebut.
Penikmat togel banyak mencari mimpi atau yang
mereka sebut wangsit (walau sering kali juga tidak lewat mimpi). Mereka
mengartikan berbagai kejadian di dalam mimpi menjadi angka-angka menjadi hal
yang tidak masuk akal dalam penalaran (akal pikiran manusia), yang jelas judi
togel secara fakta banyak kita temukan di masyarakat yang tidak sejahtera dan
cenderung selalu mengadu peruntungan dan sudah tentu perlu penilitian yang
lebih serius tentang ini.
Menafsirkan mimpi dalam permainan judi togel
menjadi hal yang biasa di dalam mayarakat, menjadi suatu kepercayaan mayoritas
masyarakat untuk melakukan judi togel ini. Adapun salah satu imbas dari masalah
ini terjadi di kalangan masyarakat di lingkungan Desa Poka, Kecamatan Teluk Ambon, Kota Ambon yang sebagian
masyarakatnya berkecimpung di dalam judi togel ini.
Menurut Freud, mimpi adalah penghubung antara
kondisi bangun dan tidur. Baginya, mimpi adalah ekspresi yang terdistorsi atau
yang sebenarnya dari keinginan-keinginan yang terlarang diungkapkan dalam
keadaan terjaga. Freud
seringkali mengidentifikasi mimpi sebagai hambatan aktivitas mental tak sadar
dalam mengungkapkan sesuatu yang dipikirkan individu, beriringan dengan
tindakan psikis yang salah, selip bicara (keprucut), maupun lelucon.
Mimpi hanya reaksi tidak teratur dan fenomena
mental yang berasal dari stimulasi fisik. Jadi mimpi adalah sisa-sisa aktivitas
mental dari kehidupan saat bangun yang menggangu tidur. Mimpi adalah bentuk
reaksi pikiran untuk menstimulasi tindakan selama tidur, maka di sini kita
menemukan kemungkinan memahami mimpi
(menemukan stimulasi apa yang mengganggu tidur dan reaksi apa yang
membentuk mimpi) dalam hal ini stimulasi stomatik (stimulasi eksternal) dan
stimulasi dari organ tubuh (stimulasi eksternal) sebagai reaksi stimulus
pengganggu mimpi. C.T. Fechner menyatakan bahwa panggung tempat drama mimpi
(dalam pikiran) dimainkan berbeda dengan panggung kehidupan pikiran saat bangun (Psikoanalisis
Sigmund Freud 86:87).
Menurut Ibnu Arabi, mimpi adalah bagian dari
imajinasi, maka untuk memahami terminologi mimpi dalam khazanah pemikirannya,
terlebih dahulu mengacu pada makna imajinasi itu sendiri. Baginya,
imajinasi adalah tempat penampakan wujud-wujud spiritual, para malaikat dan
roh, tempat mereka memperoleh bentuk dan figur-figur “rupa penampakan” mereka,
dan karena disana konsep-konsep murni (ma`ani) dan data indera (mahsusat)
bertemu dan memekar menjadi figur-figur personal yang dipersiapkan untuk
menghadapi drama event rohani[3].
Ia juga menambahkan, bahwa kecakapan imajinasi
itu selalu aktif baik sedang dalam
keadaan bangun maupun dalam keadaan tidur. Selama jam-jam
bangun kecakapan ini juga disimpangkan oleh kesan-kesan indera (sense
impression) untuk melakukan pekerjaannya secara wajar, tapi dalam keadan tidur,
ketika indera-indera dan kecakapan lainya sedang istirahat, imajinasi terbangun
semua.
Adapun penafsiran mimpi dalam permainan judi
togel dilakukan secara berkelompok, yang dimana mempermudah para peminatnya
dalam menafsirkan mimpi. Di kelompok tersebut mereka berbagi presepsi dan
pendapat dalam membahas judi togel dan hal ini menjadi menarik ketika mereka
menyamakan presepsi mereka dalam memasang judi togel.
Lahirnya kepercayaan masyarakat akan mimpi
memberikan spekulatif-spekulatif makna yang berbeda-beda dalam memaknai suatu
mimpi seseorang yang kemudian dijadikan patokan untuk memasang togel menjadi
hal yang janggal ketika suatu kejadian yang abstrak di aplikasikan ke dalam simbol-simbol
atau angka-angka jitu dalam memasang
judi togel.
Entah darimana atau asal kepercayaan ini
muncul namun telah merefleksi masyarakat akan kekuatan-kekuatan alam bawah
sadar kita dan menjadi konsumtif publik demi meraih keuntungan berlipat ganda
sekaligus mempengaruhi nilai-nilai norma dalam bermasayarakat.
Sudah sejelas dan nyata Secara yuridis (secara
hokum), berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Khususnya pasal 303
KUHP jo UU Nomor 7 tahun 1974, semua bentuk perjudian adalah kejahatan. Selain itu PP
No 9/1981 jo Inmedagri No 5/1981 yang ditujukan pada seluruh Gubernur, Bupati,
dan Wali Kota, agar menghapus/mencabut izin perjudian dalam bentuk dan tujuan
apapun sejak 1 April 1981. Semua aturan itu dianggap sebagai perangkat hukum
yang jelas untuk melarang perjudian di Negara Kesatuan Repoblik Indonesia (NKRI).
Menurut ahli hukum Haryono Mintarum
menyatakan, undang-undang tentang perjudian itu dengan jelas menyebutkan
kriteria perjudian serta berapa hukuman maksimalnya. "Hukumannya sangat
berat apabila mau serius, menurut KUHP pasal 303 ancaman hukuman 10 tahun plus
denda Rp 25 juta. Tetapi pada Realitasnya yang terjadi pada oknum aparat
keamanan khususnya sampai sekarang masih cukup sulit untuk menciptakan penegaka
hukum (Law Enforcement) yang sesungguhnya. Kenyataan
tersebubut dapat kita lihat secara langsung dari media-media masa yang tercatat
masih banyaknya TO (Target Oprasi) yang masih dalam proses pencarian.
Ada dua varian model penanganan perjudian. Di
antaranya lokalisasi, seperti yang dilakukan Malaysia, atau dilegalkan seperti
dianut Thailand. Namun di Indonesia kedua model tersebut sulit dipraktikkan.
Lokalisasi perjudian, misalnya, memang mempunyai efek edukatif. Mereka yang
masuk ke tempat tersebut hanya mereka yang benar-benar punya niat dan selain
itu juga haus mempunyai sejumlah uang yang tergolong banyak. Namun, model
tersebut tidak efektif jika diterapkan karena sebagian besar pecandu togel
tergolong masyarakat lapisan bawah (setrata).
Tetapi dalam paparan di atas solusi yang
paling penting yang harus dilakukan oleh semua jajaran baik dari pihak Pemerintah,
pihak Oknum Aparat Keamanan serta seluru masyarakat, dalam hal ini harus lebih
bertindak pro aktif untuk bersama-sama membantu untuk menghapuskan perjudian di
Negara Indonesia dan menciptakan hukum yang sesungguhnya dimasa-masa mendatang.
1.2 Rumusan Masalah
Ketika kita berbicara mengenai Perjudian
dengan kata lain adalah Permainan dengan memakai uang atau barang berharga
sebagai taruhan; berjudi berarti mempertaruhkan sejumlah uang atau harta di
permainan tebakan berdasarkan kebetulan, dengan tujuan mendapatkan sejumlah
uang atau harta yang lebih besar daripada jumlah uang atau harta semula Namun,
sebelumnya perlu penulis memberikan sedikit gambaran tentang profil singkat
Desa Poka dan beberapa wilayah di bawah naungannya.
Desa Poka adalah salah
satu Desa yang berada di naungan Provinsi
Maluku, Kota Ambon. Daerah
kekuasaannya mencangkup Dusun Kampung Pisang yang berada di wilyah daerah
pesisir pantai sampai dengan Dusun Karang-Karang yang berada di daerah
pegunungan. Namun pada penelitian ini penulis lebih memusatkan penelitian ini
pada wilayah perumnas poka, BTN Poka dan sekitarnnya. Wilayah ini mempunyai
multikultur suku, ras dan agamanya. Maka berbicara tentang keadaan sosial
masyarakatnya kita dihadapkan dengan heterogen masyarakatnya berbeda asal usul,
suku, ras dan agama yang dimiliki masing-masing individu yang mendiami wilayah
ini.
Beragam pola interaksi yang akan kita jumpai
di wilayah ini disebabkan keadaan strategis desa yang berada di salah satu
pusat wilayah pendidikan Provinsi Maluku hal ini karena wilayah ini mempunyai
berbagai fasilitas pendidikan unggulan di Provinsi Maluku. Hal ini memungkinkan
orang-orang dari berbagai daerah dan kepualauan di Provinsi Maluku berdatangan
untuk menuntut ilmu di Wilayah ini dengan maksud mendapatkan pendidikan yang
lebih baik demi masa depan mereka.
Namun ketika kita berbicara tentang perjudian
maka yang akan kita jumpai di Desa Poka
ini beragam permainan yang berkenaan
dengan judi dapat kita jumpai di berbagai sudut pedesaan berupa permainan
judi kartu, judi togel, judi ayam dan beragam judi lainnya yang belum
teridentifikasi dan telah menjadi pemandangan yang biasa terjadi di masyarakat
Desa Poka.
Hal tersebut sangatlah bertentangan dengan
kondisi strategis Desa yang terkenal akan fasilitas pendidikannya. Masalah ini
diperparah dengan muncul maraknya permainan judi yang disebut judi togel yang
terlanjur meracuni pikiran masyarakat sekitar secara turun temurun. Permaianan
judi yang memberikan keuntungan berlipat ganda ini selalu menjadi idola bagi
masyarakat sebagai sampingan sumber penghasilan mereka. Permainan judi togel
yang sangat mudah untuk dimainkan, serta relatif murah untuk berbagai kalangan
masyarakat dan keuntungan berlimpah yang menjanjikan seakan mudah saja meracuni
pikiran masyarakat yang tergiur akan kekayaan.
Dalam sepak terjangnya judi togel terlanjur
meracuni masyarakat secara cepat dan telah mengakar. Mudahnya judi togel masuk
ke dalam masyarakat disebabkan kebiasaan masyarakat setempat yang gemar melakukan
praktek perjudian. Kondisi diperparah dengan peran pemerintah yang kurang
memberikan perhatian kepada para pelaku dan penyedia perjudian (bandar judi)
sehingga perjudian menjadi marak di masyarakat.
Selain itu, dugaan kerjasama antar aparat
keamanan dengan bandar judi memperkuat eksitensi perjudian itu sendiri. Hal ini
menyebabkan sulitnya kebiasaan berjudi dapat dihilangkan dari kehidupan
bermasayarakat. Kontardiksi antar lingkungan pendidikan dengan budaya
kriminalitas ini yang membuat penulis sangat ingin melakukan penelitian secara
intensif di Desa Poka ini.
Praktik permainan judi togel bukan hanya
dilakukan secara sendiri-sendiri namun di dalam judi togel dilakukan secara
berkelompok. Berbagai macam pola interaksi dilakukan para penjudi selalu berkembang
demi menjaga eksistensi keberadaan judi togel sekaligus menjadi ajang
pertukaran pendapat sesama penjudi demi meraih kemenangan dalam berjudi.
Pola interaksi inilah yang memunculkan
kepercayaan-kepercayaan mistik yang lekat dengan budaya masyarakat timur di era
modernisasi. Salah satu kepercayaan masyarakat terhadap mimpi (primbon) yaitu
kepercayaan tentang analisa kehidupan di bawah alam sadar meyakini adanya
pesan-pesan (pertanda) yang di sampaikan sebelum kejadian sebenarnya (realitas)
terjadi dalam dunia nyata.
Hal ini menjadi dasar pemikiran para penjudi
togel untuk menafsirkan arti mimpi mereka ke dalam angka-angka yang kemudian
akan digunakan dalam memasang judi togel dengan harapan mendapatkan angka jitu.
Kegiatan penafsiran inilah yang kemudian para penjudi berkumpul melakukan
interaksi mengkomunikasikan mimpi yang
dialaminya lalu kemudian diaplikasikan di secarik kertas untuk menentukkan
angka jitu yang kelak menjadi jargon dalam memasang judi togel.
Di era modern ini dimana berkembang pesatnya
dunia pendidikan dan teknologi, kepercayaan-kepercayaan akan dunia khayalan
(mimpi) ataupun mistik masih menjadi bagian yang tidak tergantikan dalam budaya
masayarakat. Apalagi masyarakat Desa Poka yang berada dalam lingkungan
pendidikan harusnya lebih mampu berpikir logika daripada masyarakat yang berada
di pedesaan terpencil lainnya. Kenyataan ini menjadi hal yang menarik sebagai
acuan penelitian keberadaan kepercayaan-kepercayaan mistik masih tetap berdiri
berdampingan dengan masayarakat yang lebih cenderung berpikir logika.
Terkait dengan deskripsi permasalahan yang
telah dikemukakan di atas, maka
permasalahan pokok yang diangkat dalam penulisan adalah sebagai berikut :
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka yang
menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah :
“Bagaimanakah Rasionalisasi Mimpi Dalam Interaksi Kelompok di
Desa Poka, Kecamatan Teluk Ambon, Kota Ambon?
1.3
Tujuan dan
Manfaat Penelitian.
1.3.1
Tujuan
Penelitian.
Adapun tujuan penelitian
adalah sebagai berikut:
1.
Dapat mengetahui
secara sosiologis tentang proses Rasionalisasi mimpi dalam
interaksi kelompok di Desa Poka.
2.
Dapat menjelaskan
secara sosiologis tentang proses Rasionalisasi mimpi dalam
interaksi kelompok di Desa Poka.
3. Dapat memahami secara sosiologis tentang proses Rasionalisasi mimpi dalam interaksi kelompok di Desa Poka.
1.3.2
Manfaat
Penelitian.
Adapun manfaat penelitian yang diharapkan
penulis setelah melakukan penelitian ini yaitu; Manfaat teoritis artinya hasil
penelitian bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya Ilmu
Sosiologi yang berkaitan denganproses penafsiran mimpi di dalam interaksi
kelompok sedangkan, Manfaat praktis bermanfaat bagi berbagai pihak yang
memerlukannya sebagai referensi, terutama bagi akademisi ataupun pemerintah
serta seseorang untuk melakukan penelitian tentang proses Rasionalisasi mimpi dalam interaksi kelompok.
1.4
Kerangka Teori.
Menurut Cooley, kelompok ditandai dengan
adanya hubungan yang erat di mana anggota-anggotanya saling mengenal dan sering
sekali berkomunikasi secara langsung berhadapan muka (face to face) serta
terdapat kerja sama yang bersifat pribadi atau adanya ikatan psychologis yang
erat (J. Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, 2007 : 25).
Kelompok sosial yang paling sederhana, yaitu
keluarga dan hampir semua manusia pada mulanya menjadi anggota kelompok
keluarga. Mengenai
pembagian kelompok sosial dapat klasifikasikan ke dalam beberapa tipe yang
dapat ditinjau dari beberapa sudut atau berdasarkan atas pelbagai kriteria atau
ukuran. Kelompok
sosial pada dasarnya dapat dibedakan atas:
1) Kelompok-kelompok
sosial yang teratur
2)
Kelompok-kelompok sosial yang tidak
teratur
Di dalam Kelompok-kelompok sosial yang
teratur, ada pembedaan kelompok sosial didasarkan pada derajat interaksinya
ialah membership group dan reference group, dan yang mengemukakannya ialah
Robert K. Merton (J. Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, 2007 : 30). Membership Group merupakan kelompok di mana
setiap orang secara fisik menjadi anggota kelompok tersebut. Ukuran utama bagi keanggotaan seseorang adalah
interaksinya dengan kelompok sosial yang bersangkutan.
Perbedaan derajat interaksi, dapat menimbulkan
subgroup, karena orang-orang yang sering berinteraksi kemudian membentuk
kelompok sendiri-sendiri, karena adanya faktor-faktor kepentingan yang sama,
keanggotaan, serta nilai-nilai yang sama. Reference group merupakan kelompok sosial yang
menjadi ukuran bagi seseorang (bukan anggota kelompok) untuk membentuk pribadi
dan perilakunya.Jadi, seseorang itu telah menyetujui norma-normanya,
sikap-sikapnya dan tujuan dari kelompok tersebut, artinya bahwa dia senang
kepada kerangka norma-norma, sikap-sikap, dan tujuan yang dimiliki kelompok.
Sedangkan, di dalam kelompok-kelompok sosial
yang tidak teratur, dibedakan menjadi dua golongan, yaitu kerumunan (crowd)
dengan berbagai bentuk dan publik. Sangatlah
sukar untuk mengatakan bahwa, pengelompokan dari manusia hanyalah merupakan
koleksi-koleksi dari manusia secara fisiknya melainkan setiap manusia
berkelompok selalu menunjukkan adanya ikatan-ikatan sosial. Mungkin secara
kebetulan berkumpul di suatu tempat tertentu dengan sendirinya masing-masing
akan menyadari kehadiran orang lain dan akan memperhatikan orang lain, misalnya
tentang bajunya, wajahnya dan sebagainya, sehingga akan menimbulkan
interaksi-interaksi di antara mereka. Jadi, kelompok itu tidak hanya terjadi
karena adanya interaksi saja melainkan juga karena adanya perhatian yang sama
(J. Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, 2007 : 33,34,35).
Secara teoritis, sekurang-kurangnya ada dua
syarat bagi terjadinya suatu interaksi sosial, yaitu terjadinya kontak sosial
dan komunikasi.Kontak sosial tidaklah semata-mata tergantung dari tindakan,
tetapi juga tergantung kepada adanya tanggapan terhadap tindakan tersebut.
Sedangkan, aspek terpenting dari komunikasi adalah bila sesorang memberikan
tafsiran pada sesuatu atau perikelakuakn orang lain (J. Dwi Narwoko &
Bagong Suyanto, 2007 : 16). Komunikasi
melalui isyarat-isyarat sederhana adalah bentuk paling elementer dan yang
paling pokok dalam komunikasi. Tetapi, pada
masyarakat manusia “isyarat” komunikasi yang dipakai tidaklah terbatas pada
bentuk komunikasi itu.Manusia dapat membayangkan dirinya secara sadar dalam
perilakunya dari sudut pandang orang lain. Sebagai akibatnya, mereka dapat
mengkonsentrasikan perilakunya dengan sengaja untuk membangkitkan tipe respons
tertentu dari orang lain (Jhonson, 1986 : 11).
Karakteristik khusus dari komunikasi manusia
adalah mereka tidak terbatas hanya menggunakan isyarat-isyarat fisik
sebagaiamana halnya dilakukan binatang. Di dalam berkomunikasi manusia menggunakan
kata-kata, yakni simbol-simbol suara yang mengandung arti bersama dan bersifat
standar. Dalam hal ini, tidak perlu selalu ada hubungan yang intristik antara
satu bunyi tertentu dengan respons yang disimbolkannya (J. Dwi Narwoko &
Bagong Suyanto, 2007 : 16).
Simbol di sini berbeda dengan tanda. Makna sebuah tanda biasanya identik dengan
bentuk bentuk fisik dan dapat ditangkap dengan panca indera, sedangkan simbol
bisa abstrak. Menurut Karp dan Yoels, simbol mengarahkan tanggapan-tanggapan
kita, membantu mempersatukan atau mengkonsepsikan aspek-aspek dunia (Sunarto,
1985 : 100, 101)
Bahwa simbol adalah sesuatu yang “lepas” dari
apa yang disimbolkan, karena komunikasi manusia tidak terbatas pada ruang,
penampilan atau sosok fisik, dan waktu di mana pengalaman inderawi itu
berlangsung, sebaliknya manusia dapat berkomunikasi tentang objek dan tindakan
jauh di luar batas waktu dan ruang (J. Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, 2007
:17).
Nilai atau makna sebuah simbol tergantung
kepada kesepakatan orang-orang atau kelompok yang mempergunakan simbol
itu. Menurut Leslie White (1986), makna
suatu simbol hanya dapat ditangkap melalui cara-cara nonsensoris, yakni melalui
proses penafsiran (interpretative process). Makna dari suatu simbol tertentu
dalam proses interaksi sosial tidak begitu saja langsung diterima dan
dimengerti oleh semua orang, melainkan harus terlebih dahulu ditafsirkan.
Menurut Max Weber, metode yang bisa
dipergunakan untuk memahami arti-arti subjektif tindakan sosial seseorang adalah dengan
verstehen. Apa yang dimaksud Weber dengan verstehen adalah kemampuan untuk
berempati atau kemampuan untuk menempatkan diri dalam kerangka dalam kerangka
berpikir orang lain yang perilakunya mau dijelaskan dan situasi serta
tujuan-tujuannya mau dilihat menurut prespektif itu (Jhonson, 1986 : 216).
MaxWeber mengklasifikasikan ada empat jenis
tindakan sosial yang mempengaruhi sistem dan struktur masyarakat. Keempat jenis
tindakan sosial itu adalah:
1)
Rasionalitas instrumental.
Yaitu,
tindakan sosial yang dilakukan seseorang didasarkan atas pertimbangan dan
pilihan sadar yang dipergunakan untuk mencapainya
2)
Rasionalitas yang berorientasi
nilai
Sifat rasional
tindakan jenis ini adalah bahwa alat-alat yang ada hanya merupakan pertimbangan
dan perhitungan yang sadar, sementara tujuan-tujuannya sudah ada di dalam
hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut. Artinya, nilai itu merupakan nilai akhir bagi
individu yang bersangkutan dan bersifat nonrasional, sehingga tidak
memperhitungkan alternatif.
3)
Tindakan tradisional
Dalam tindakan
jenis ini, seseorang memperlihatkan perilaku tertentu karena kebiasaan yang
diperoleh dari nenek moyang, tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan.
4)
Tindakan afektif
Tipe tindakan
ini didominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan sadar. Tindakan afektif sifatnya
spontan, tidak rasional dan merupakan ekspresi emosional dari individu.
Max Weber mengakui bahwa empat jenis tindakan
sosial yang diutarakan adalah merupakan tipe ideal dan jarang bisa ditemukan
dalam kenyataan. Tetapi, apa yang hendak disampaikan Weber adalah bahwa
tindakan sosial, apapun wujudnya, hanya dapat dimengerti menurut arti subjektif
dan pola-pola motivasional yang berkaitan dengan itu. Untuk mengetahui arti
subjektif dan motivasi individu yang bertindak, yang diperlukan adalah
kemampuan untuk berempati pada peranan orang lain.
1.5
Defenisi Konsep.
Yang dimaksud dalam definisi konsep dalam
penelitan ini adalah:
1)
Rasionalsasi menurut
Max Weber untuk teori sosiologi adalah teorinya
mengenai rasionalitas. Dimana rasionalitas merupakan konsep dasar yang Weber
gunakan dalam klasifikasinya mengenai tipe-tipe tindakan social. Pembedaan
pokok yang diberikan adalah antara tindakan rasional dan yang non
rasional. Singkatnya, tindakan rasional (menurut Weber) berhubungan dengan
pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan (dalam Jhonson, 1986
: 216)
2)
Mimpi menurut (Sigmund Freud
86:87) adalah bentuk
reaksi pikiran untuk menstimulasi tindakan selama tidur, maka di sini kita
menemukan kemungkinan memahami mimpi
(menemukan stimulasi apa yang mengganggu tidur dan reaksi apa yang
membentuk mimpi) dalam hal ini stimulasi stomatik (stimulasi eksternal) dan
stimulasi dari organ tubuh (stimulasi eksternal) sebagai reaksi stimulus
pengganggu mimpi.
3)
Interaksi kelompok itu tidak
hanya terjadi karena adanya interaksi saja melainkan juga karena adanya
perhatian yang sama (J. Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, 2007 : 33,34,35).
4)
Judi togel Pengertian perjudian menurut Dali Mutiara, dalam tafsiran
KUHP yang dikutip oleh Dr. Kartini Kartono (2001) dalam bukunya Patologi Sosial
menyatakan sebagai berikut : Permainan judi ini harus diartikan dengan arti
yang luas, juga termasuk segala pertaruhan tentang kalah menangnya suatu pacuan
kuda atau lain-lain pertandingan, atau segala pertaruhan dalam
perlombaan-perlombaan itu, misalnya totalisator dan lain sebagainya.
1.6
Defenisi Operasional.
Yang dimaksud defensi operasional dalam
penelitian ini adalah:
1)
Rasionalisasi yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah tindakan
sekelompok individu dalam menafsirkan mimpi ke dalam perjudian togel.
2)
Mimpi yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah mimpi yang digunakan dalam menafsirkan angka togel atau
nomor togel yang mau keluar.
3)
Interaksi kelompok yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah sekelompok individu yang melakukan
hubungan timbal balik (komunikasi) untuk menafsirkan mimpi berupa angka togel.
4)
Judi togel yang yang
dimaksud dalam penelitan ini adalah salah satu bentuk permainan judi yang
menggunakan uang sebagai taruhannya dengan cara memasang angka-angka yang
terdiri dari 2 (dua) angka, 3 (tiga) angka dan 4 (empat) angka.
1.7
Metode
Penelitian.
Penelitian yang menggunakan pendekatan
kualitatif bertujuan untuk menggali atau membangun suatu proposisi atau
menjelaskan makna dibalik realita. Peneliti berpijak dari realita dan peristiwa
yang berlangsung dilapangan. apa yang dihadapi peneliti dalam penelitian adalah
dunia sosial kehidupan sehari-hari. Penelitian seperti ini berupaya memandang
apa yang sedang terjadi dalam dunia tersebut dan melekatkan temuan-temuan yang
diperoleh di dalamnya. Oleh karena itu, apa yang dilakukan peneliti selama di
lapangan termasuk dalam suatu posisi yang berdasarkan kasus atau ideografis
yang mengarahkan perhatian pada spesifikasi kasus-kasus tertentu.
Dalam hal ini, peneliti memposisikan
diri sebagai bricoleur. Penekanan
posisi sebagai bricoleur adalah pada
sisi tindakan dilapangan yang mengutamakan penggunaan model bricoleur. Model seperti ini menekankan
pada pilihan praktisnya, sehingga bersifat pragmatis, strategis dan self reflexive. Data bergantung pada
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, dan pertanyaan bergantung pada setting (waktu dan tempat) ketika
penelitian dilakukan, dalam arti tidak dipersiapkan sebelumnya.
Bekaitan dengan apa yang disebutkan diatas mengenai
posisi peneliti, pengalaman hidup peneliti yang tinggal bersama dengan para
subjek penelitian tidak diabaikan begitu saja dalam penelitian. Hal ini
disebabkan pengalaman pribadi berpeluang dalam membangun teori-teori sosial.
Oleh karena itu data peneliti juga berdasarkan atas refleksi peneliti mengingat
keterlibatan peneliti secara langsung dalam fenomena kehidupan sosial
masyarakat yang diangkat dalam penelitian. Langkah ini sekaligus menjadi upaya
dalam mengatasi kesulitan dalam membangun hubungan yang lebih dekat dengan
situasi penelitian (Prolonged
Engagement). Namun, refleksi diri peneliti tersebut harus dilandasi
kerangka acuan self-intersubjectives, bukan subjektivitas peneliti.
Sejumlah tindakan di lapangan
menggunakan beragam metode pengumpulan data, mulai dari wawancara, pengamatan,
interprestasi dokumen sejarah oral dan pribadi, hingga introspeksi dan refleksi
diri. Dengan demikian, triangulasi akan diperlakukan sebagai suatu alternatif
bagi validasi, bukan alat atau strategi validasi, (dalam Bungin 2006 : 112, 113).
Dalam penelitian ini metode
yang digunakan peneliti untuk meneliti permasalahan yang diangkat adalah metode
penelitian kualitatif. Metodologi
penelitian merupakan suatu cara yang dimiliki seorang peneliti dalam menghimpun data secara authentic
dilapangan.
Titik tolak peneliti bertumpuh pada
minat untuk mengetahui minat atau fenomena sosial yang timbul karena berbagai
rangsangan, dan bukannya
pada metodologi penelitian. Sekalipun demikian, tetap harus diingat bahwa
metodologi penelitian merupakan elemen penting untuk menjaga reliabilitas dan
validitas hasil penelitian, (dalam Bungin
2006 : 64).
1.7.1
Kronologis
Pengambilan Data.
Berikut ini adalah metode yang digunakan
penulis dalam menghimpun data dilapangan :
Pada tanggal 2 Oktober 2013 penulis berencana untk memulai penelitian dikarenakan posisi
penulis sendiri yang bertempat tinggal dekat dengan lokasi penelitian maka
proses penelitian mempermudah penulis dalam mengumpulkan data di lapangan.
Sebelum mengumpulkan data, penulis mengantarkan surat
penelitian Pada tanggal 4 Oktober 2013, pukul 16 : 00 WIT
(jam 4 sore) di kantor Kecamatan Teluk Ambon
yang bertempat di Desa Wayame dan akhirnya staf kecamatan yang melayani penulis
menerima surat izin penelitian yang akan kemudian di sampaikan kepada Kepala
Desa Poka tembusan kepada ketua RT/RW 006/003.
Untuk menemui para informan
penulis memanfaatkan waktu sesuai dengan kesibukan para informan masing-masing
yang mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Untuk yang berprofesi sebagai
PNS atau pegawai penulis mendatanginya setiap hari Sabtu dan Minggu. Untuk yang
berprofesi sebagai buruh tani, maupun buruh kasar penulis menemuinya di atas
jam 20;00 WIT malam, sedangkan pada pada
sore hari sekitar jam 17:00 WIT sampai dengan jam 18:00 WIT sore, penulis
mendatangi tempat penjualan kupon judi togel untuk mendapatkan informasi yang
lebih mendalam dengan melakukan observasi dan wawancara secara diam-diam dimana
penulis berdalih sebagai pemasang kupon togel.
1.7.2
Lokasi Penelitian.
Penentuan lokasi dan setting penelitian selain dibingkai
dalam kerangka teoritis juga dilandasi oleh pertimbangan teknis operasional.
Untuk itu, lokasi dan setting penelitian
dipertimbangkan kemingkinan dapat tidaknya dimasuki dan dikaji lebih mendalam.
Hal ini penting karena betapapun menariknya suatu kasus, tetapi jika sulit
dimasuki lebih mendalam oleh seorang peneliti, maka akan menjadi suatu kerja
yang sia-sia. selanjutnya penting juga dipertimbangkan apakah lokasi dan setting penelitian memberi peluang yang
menguntungkan untuk dikaji, seperti komunitas petani, organisasi, kegiatan dan
intekasi sosial yang ada, serta struktur sosial yang memungkinkan untuk
didekati, (dalam Bungin 2006 : 135,
136).
Dengan memperhatikan faktor-faktor
tersebut, maka kemudian peneliti menetapkan bahwa lokasi penelitian adalah wilayah desa yang mayoritas warga desanya melakukan
perjudian togel. Oleh
karena itu, sesuai dengan gambaran umum
permasalahan yang telah penulis deskripsikan pada latar belakang dalam penyusunan skripsi ini, maka yang akan menjadi lokasi dalam penelitian ini
adalah di Desa
Poka dengan berlandaskan penelitian
kualitatif.
1.7.3
Informan Kunci.
Dalam riset ilmu sosial, hal yang
penting adalah menentukan sesuatu yang berkaitan dengan apa dan siapa yang di
telaah. Persoalan tersebut bukan menyakut topik riset, tetapi apa yang disebut
dengan tingkat analisis. Dari tingkat analisi yang telah ditetapkan itulah data
yang diperoleh dalam arti kepada siapa atau siapa, tentang apa proses
pengumpulan data diserahkan, (dalam Bungin
2006 : 114).
1)
Individu.
Pada analisis ini, tingkat analisis yang
digunakan adalah tingkat analisis secara individu. Pada tingkat analisis
ini proses pengumpulan data terarah kepada individu-individu. Perlu ditegaskan
disini bahwa pengertian individu tidak sama dengan pengertian pribadi, tetapi
beberapa subjek yag diharapkan dapat
memberikan data untuk mendeskripsikan fenomena penelitian. Arahnya adalah
pribadi subjek tersebut dipandang mengenali fenomena penelitian atau terkait
dengan data fenomena penelitian, kepada merekalah data bisa diperoleh, (dalam Bungin 2006 :114).
Data pengalaman individu ialah bahan
keterangan mengenai apa yang dialami oleh individu-individu tertentu sebagai
warga dari suatu masyarakat yang sedang menjadi objek penelitian. Didalam ilmu
psikologi dikenal dengan istilah personal
document, dalam ilmu sejarah dan ilmu sosiologi dikenal dengan istilah human document, sedangkan dalam ilmu
antropolgi budaya lebih sering dikenal dengan istilah individual’s life history untuk data tersebut, Koentjaraningrat (dalam Bungin 2006 : 93).
Dalam penulisan ini penulis mengumpulkan data dari 14 orang informan,
yang terdiri dari 2 orang tokoh pemerintahan, yakni bapak Kepala Desa Poka dan Ketua RT/RW 006:003,
1 orang tokoh agama/bapak imam, 1 orang tokoh pemuda, yaitu bapak kepala pemuda, Kemudian di tambah dengan
10 orang peminat togel.
2)
Sejarah
Latar
Belakang dan
Pribadi Subjek yang di Teliti.
Sebagaimana telah di telaah disebutkan
bahwa sisi temporalitas di tekankan dalam penelitian ini. Perhatian utama dalam
penelitian ini adalah menanyakan seseorang untuk menceritrakan riwayat dirinya
sesuai caranya. Hal utama dalam tradisi oral adalah testimoni-testimoni verbal
yang merupakan pernyataan-pernyataan yang di kemukakannya yang menyangkut masa
lalu. Apa yang di kemukakan atau di ceritrakan oleh subjek penelitian tentang
peristiwa-peristiwa masa lalunya menjadi perhatian utama. Dengan cara ini, di
harapkan dapat di peroleh informasi tentang retensi dan protensi peristiwa
serta interaksi subjek dengan peristiwa yang diceritrakan.
Berikut ini adalah sejarah latar belakang dan pribadi
subjek yang di teliti :
1)
M. Serhalawan, S.
Sos, Jenis Kelaminm Laki-laki, Umur 48 tahun, pendidkan terakhir S1, Kepala
Desa Poka, sosok yang ramah merupakan ciri khas yang dimiliki beliau.
2)
Haris Jusuf, Jenis
Kelamin Laki-laki, Umur 46 tahun, pendidikan terakhir D3, Sekertaris Desa Poka,
mempunyai seorang isteri dan seorang anak perempuan. Kesehariannya mudah
bergaul dengan masyarakat sekitar dan merupakan sosok yang sederhana.
3)
Boediono.
Jenis kelamin laki-laki, umur 40 tahun,
pendidikan terakhir SMA,
pekerjaan wiraswasta.
Boediono menyelesaikan
pendidikan dasarnya di SMA Negri 3 Ambon. Karena katerbatasan ekonomi maka beliau tidak
melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.
Setelah itu beliau menikah dengan Aisya
dan dikaruniai 1
orang anak, yaitu 1
orang anak laki-laki. Sebelum menikah
Boediono bekerja sebagai kaum Buruh di Pelabuhan Yosoedarso Ambon setelah
bertemu dengan Aisya Janda Beranak Satu Boediono memutuskan menikah dan beralih
profesi sebagai seorang wiraswasta. Sosok Boediono pada lingkungan sosial
sangatlah baik.
4)
Udin La Musa.
Jenis kelamin laki-laki, umur 45 tahun,
pendidikan terakhir S1,
pekerjaan PNS.
Udin La Musa menikah dengan Adima dan mereka dikaruniai 3
orang anak yang terdiri dari 1 orang anak
perempuan dan 2 orang anak laki-laki. Udin La Musa sekarang bekerja di Balai Penelitian
Pertanian Ambon dengan jabatan kepala tata usaha di instansi tersebut.
Sehari-sehari beliau adalah sosok yang suka bersosialisai dengan masyarakat
sekitar adapun juga dekat dengan kehidupan penulis dikarenakan ada hubungan
kekeluargaan dengan beliau.
5)
Jon Budha, Jenis
Kelamin Laki-Laki, Umur 36 Tahun, Pendidikan terakhir SMA, pekerjaan Satpam.
Setelah menyelesaikan pendidikan SMA, beliau bekerja sebagai kuli bangunan dan
sebagai seorang petani kemudian beliau menikah dan dianugerahi 3 orang anak,
yaitu 1 orang anak laki-laki dan 2 orang anak perempuan. Setelah beberapa tahun
menikah akhirnya beliau memutuskan beralih profesi sebagai Satpam.
6)
Samuel Patty, Jenis
Kelamin Laki-Laki, Umur 45 tahun, Pendidikan terakhir SMA, pekerjaan Cleaning
Servis. Setelah menyelesaikan SMA, beliau bekerja sebagai Cleaning Servis.
Interaksinya dengan masyarakat sekitar sangatlah baik tapi beliau juga
mempunyai hobi berjudi. Beliau sekarang hidup dengan seorang istri dengan
seorang anak perempuannya.
7)
La Adjid, jenis
kelamin laki-laki, umur 50 tahun, pria tamatan SD ini memulai jenjang karirnya
sebagai sopir lalu kemudian menikah dengan Rapian dan dianugerhakan 5 orang
anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Selain menjadi sopir beliau juga
bertani dan berkat pengalamannya menjadi sopir beliau juga ahli di bidang
perbenkelan. Selam masih hidupnya beliau dikenal dengan orang yang pendiam
tetapi suka bersosialisasi.
8)
Dahlan, jenis
kelamin laki-laki, umur 32 tahun, pendidikan terakhir SMA, pekerjaan tukang
ojek, memiliki 2 orang anak, masing-masing perempuan dan laki-laki. Selama masa
mudanya beliau mempunyai hobi menonton pesta, maka bisa dikatakan kehidupannya
erat bersosiallisasi dengan pemuda. Sampai sekarang beliau sering bergabung
dengan kegiatan pemuda di Desa Poka.
9)
Jimmy Angkotta. Jenis kelamin
laki-laki, umur 25 tahun, pendidikan terakhir D3, belum bekerja. Kegiatan
sehari-hari biasanya sebagai kuli bangunan kadang beliau bertani membantu
keluarga. Laki-laki yang sejak kecilnya bercita-cita sebagai tentara, akhirnya
takdir berkata lain. Beliau senang bersosiallisasi dan dapat menjadi partner
yang baik untuk diajak ngobrol.
10)
Marlan.
Jenis kelamin laki-laki,
umur 27 tahun, pendidikan
terakhir SMA,
pekerjaan pelaut.
Menyelesaikan pendidikan dasarnya di SD Negeri 3 Poka dan melanjutkan
ke SMP Negeri 16 Ambon setelah lulus pada tahun 2006 pada SMA Negri 9 Ambon.
Setelah selesasi dalam pendidikannya dia mengikuti
berbagai tes POLRI dan TNI namun gagal maka setelah dia menikah dengan Wa Sari
dan dikaruniahi seorang anak perempuan dia memutuskan beralih profesi sebagai
pelaut.
11)
Sina
La Rawasih. Jenis kelamin Perempuan, umur 26 tahun, pendidikan
terakhir SMA,
Ibu Rumah Tangga. Beliau
menyelesaikan pendidikan dasarnya di SD Inpres
44 Batu Koneng, setelah itu beliau melanjutkan SMP Negri 16 Ambon.
setelah tamat dari SMP, beliau memutuskan untuk melanjutkan ke SMA Negri 3 Ambon, dan kemudian
beliau menikah dengan Darwis Sulaiman dengan
dikaruniai 2 orang
anak Laki-Laki. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari beliau bekerja
sebagai petani dan berwiraswasta.
12)
La Musa. Jenis
kelamin laki-laki, umur 56 tahun, pendidikan terakhir SR, wiraswasta, beliau
memenuhi kebutuhan sehar-harinya dengan membuka warung sembilan bahan pokok,
selain itu beliau juga pernah menjadi salah satu agen togel namun telah berhenti
dari profesinya setelah tertangkap berapa tahun yang lalu, sesosoknya selalu
humoris di waktu usia senajanya.
13)
Margaritha
Kilbaren, Jenis Kelamin perempuan, umur 22 tahun, pendidikan terakhir SMA,
Mahasiswa. Saat ini sedang menempuh pendidikannya di Politeknik Negri Ambon.
14)
Iwan, Jenis Kelamin
laki-laki, umur 23 tahun, pendidikan terakhir SMA, Mahasiswa. Saat ini sedang menempuh pendidikan di Universitas
Pattimura.
1.7.4
Teknik Pengumpulan Data.
Selama melakukan proses
pengumpulan data, peneliti sering menemui para informan kunci pada waktu dan
jam-jam di luar jam sibuk (kerja) informan kunci yaitu pada sore hari dan malam
hari dan biasanya dilakukan di rumah-rumah (tempat tinggal) informan kunci. Informan
penelitian yang didasarkan dari
latar belakang yang berbeda-beda
maka Setting
penelitian memperhitungkan waktu dan
ruang yang berbeda atau pertimbangan multi-site
design, misalnya tempat ibadah, tempat kerja, warung, pada acara-acara
tertentu dan aktivitas dan ritme kehidupan sehari-hari.
Disamping itu agar informasi
yang di dapat oleh peneliti agar lebih bervariasi dalam mengkaji berbagai macam
sudut pandang masalah. Peneliti memasukkan semua
komponen yang terlibat dalam penelitian (laki-laki, perempuan, remaja dan orang
dewasa di berbagai
tempat dan situasi), untuk memenuhi pertimbangan sampling withim (contoh
dari pada jumlah orang yang akan dijadikan sebagai informan).
Maka demikian berkaitan
dengan tingkat analisis dan fokus fenomena lapangan yang dikaji, teknik
pengumpulan data yang utama menyadarkan pada wawancara dan pengamatan.
Penggunaan kedua teknik pengumpulan data tersebut mempertimbangkan bahwa
fenomena yang konkret berbeda dengan yang abstrak. Fenomena yang konkret dapat dipahami sebagai mana adanya
suatu ciptaan yang di hasilkan dalam kondisi-kondisi tertentu. Dengan
menggunakan kedua teknik pengumpulan data tersebut, peneliti dapat
mengesplorasi interprestasi-interprestasi yang berbeda maupun yang berintekasi,
serta pandangan-pandangan yang berlawanan atas suatu fakta tertentu, (dalam Bungin 2006 : 121).
1)
Teknik
Wawancara.
Wawancara yang dilakukan
peniliti dengan para informan kunci dilakukan secara berangsur-angsur, yaitu
dengan mengadakan diskusi langsung dengan informan kunci dan apabila informasi
dirasa belum cukup, peneliti mendatangi kembali para informan pada hari
berikutnya.
Wawancara yang digunakan yaitu wawancara
yang tak berstruktur. Dalam Day in The
Field, Malliowski menunjukkan sangat pentingnya wawancara tak berstruktur
dalam melakukan penelitian lapangan dibandingkan wawancara berstruktur yang
memiliki dua kelemahan yang di istilahkannya Capital Offense. Di samping itu, apabila esensi interaksi dalam
wawancara lebih berfungsi untuk mencari pemahaman dibanding menjelaskan, maka
harus digunakan wawancara tak berstruktur, (dalam
Bungin 2006 : 122).
Untuk memperoleh data yang
diperlukan dalam penelitian di lapangan, maka peneliti menggunakan melakukan wawancara secara mendalam (indepth interview),
yaitu dengan melakukan wawancara secara mendalam dalam dengan para informan
dengan cara mengajukan pertanyaan serta mengembangkan pertanyaan lanjutan
berdasarkan jawaban informan.
2)
Teknik
Pengamatan.
Untuk memperoleh data yang
diperlukan dalam penelitian di lapangan, maka peneliti menggunakan melakukan Observasi lapangan, yaitu pengamatan langsung di lokasi
penelitian, untuk mengidentifikasikan serta menginventarisasikan berbagai fakta sosiologis yang ada di
lapangan terkait dengan penafsiran mimpi terhadap judi
togel di Desa Poka.
Kondisi dilapangan pada saat peneliti
melakukan pengamatan ternyata realitas yang terjadi disana adalah sesuai dengan
apa yang telah dibicarakan pada latar belakang masalah diatas. Kenyataan yang ada di lapangan bahwa perjudian togel yang
dapat terus bereksistensi dan terus berkembang.
Untuk mengumpulkan informasi
hasil pengamatan peniliti sering menggunakan catatan-catatan kecil agar
peniliti dapat memonitoring aktivitas-aktivitas yang dilakukan para pelaku judi
togel di lokasi penelitian.
Pertimbangan untuk digunakan teknik ini
adalah bahwa apa yang di katakan orang sering kali berbeda dengan apa yang
orang itu lakukan. Oleh karena itu, pemakaian alat bantu perekam (jika di
perlukan) hanya di lakukan pada cara-cara tertentu yang melibatkan banyak
orang, bukan pada aktivitas individual,
(dalam Bungin 2006 : 126).
Peristiwa yang konkrit yang peneliti
temui di lapangan dari 2010 hingga
sekarang permainan judi togel sudah meracuni masyarakat secara turun temurun. Bahkan sebelum penulis memasuki bangku kuliah permainan
judi togel sudah marajalela dari kota-kota besar sampai dengan wilyah pedesaan
dan mimpi merupakan bagian yang tak tergantikan dalam memainkan permainan judi
ini.
1.7.5
Kongruensi
dan Konsistensi
Hasil Pengamatan Data.
Kongruensi identik dengan validitas
internal dan konsistensi atau dependability untuk merehabilitas data penelitian
kualitatif. Langkah-langkah untuk mencapai tingkat kongruensi dan konsistensi
data agar mencapai tingkat kongruensi peneliti
melakukan 3 (tiga) langkah yaitu:
1)
Langkah pertama adalah
menggunakan strategi pengamatan (pengumpulan data) ganda pada objek yang sama
untuk cross check tiap temuan dan
pengeliminasian interprestasi-interprestasi yang tidak akurat.
2)
Langkah kedua adalah
Menerapkan metode realistis induktif dengan menguji proposisi-proposisi yang
muncul dalam kaitannya dengan kasus-kasus yang menghasilakan
pernyataan-pernyataan yang dianggap mendasar dan universal. Maksudnya data dari
berbagai waktu dan tempat yang berbeda menunjukkan rangkaian atau kesamaan.
3)
Langkah ketiga adalah
langkah mendeskripsikan informasi fenomena lapangan yang sesuai dengan
pandangan subjek penelitian yang di istilahkan verismulitude. Maka Langkah
yang ditempuh pada langkah ketiga ini adalah sebagai berikut :
1.
Triangulasi
: peneliti menggunakan berbagai teknik pengumpulan data (wawancara mendalam tak
berstruktur, pengamatan dan dokumentasi) dari berbagai sumber (orang, waktu dan
tempat) yang berbeda.
2.
Member
Cheeks : peneliti melakukan cek interprestasi
data dengan subjek penelitian dan informan dari mana data itu diperoleh.
3.
Multi-site Design: peneliti mengumpulkan data
dari berbagai tempat kasus dan situasi penelitian. Disamping itu pengumpulan
data juga memasukkan semua bagian komponen yang terlibat sebagian penelitian (sampling withim) baik dari laki-laki,
perempuan, remaja, orang dewasa diberbagai tempat dan situasi. (dalam Bungin 2006 : 128,129,130).
1.7.6
Studi
Kepustakaan.
Penulis melakukan upaya untuk
memperoleh data melalui buku-buku, literatur dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan
penelitian ini.
1.7.7
Analisa
Data.
Menganalisa data, meliputi catatan
lapangan untuk mencari simbol-simbol budaya dilokasi penelitian (yang biasanya
dinyatakan dalam istilah asli) serta mencari hubungan dan simbol-simbol itu. Setelah data sudah dikumpulkan, kemudian penulis berusaha
semaksimal mungkin untuk mengelolah dan menganalisa data
secara kualitatif dengan cara:
1)
Mengumpulkan dan
mengkategorikan data penelitian sesuai tujuan penelitian yang hendak penulis
capai.
2)
Analisa data dan
interprestasi data.
3)
Kegiatan verifikasi
dan penarikan kesimpulan.
[1]
Diakses pada http//armingsh.blogspot.com/2011/01/judi-togel-semakin-meraja-lelah.html?m=1
jam 13:45 WIT pada tanggal 11 Januari 2013
[3]Di askses pada http://psi-islami.blogspot.com/2006/06/teori-mimpi-dalam-perspektif-psikologi.html
jam 22:00 WIT tanggal 20 Januri 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar