Rabu, 09 Maret 2016

rasionalisasi mimpi dalam interaksi sosial

BAB  I
PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang
Perjudian itu merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat, satu bentuk patologi sosial. Sejarah perjudian sudah sejak beribu-ribu tahun yang lalu, sejak dikenalnya sejarah manusia (Kartini Kartono, 2009 : 57). Pada mulanya perjudian itu berwujud permainan atau kesibukan pengisi waktu senggang guna menghibur hari jadi sifatnya rekreatif dan netral. Pada sifat yang netral ini, lambat laun ditambahkan unsur baru untuk merangsang kegairahan bermain dan menaikkan ketegangan serta pengaharapan untuk menang, yaitu barang taruhan berupa uang, benda atau tindakan yang bernilai (Kartini Kartono, 2009 : 59, 60). Menurut Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 303 ayat 3, perjudian itu dinyatakan sebagai berikut;
Main judi berarti tiap-tiap permainan yang kemungkinannya akan menang, pada umumnya tergantung pada untung-untungan saja, juga kalau kemungkinan bertambah besar, karena pemain lebih pandai atau lebih cakap. Main judi mengandung segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain yang tidak diadakan oleh mereka yang turut berlomba atau main itu, demikian juga segala pertaruhan lainnya[1].
Sedang dalil mutiara, dalam tafsiran KUHP menyatakan sebagai berikut;
Permainan judi ini harus diartikan dengan arti yang luas, juga termasuk segala pertaruhan tentang kalah-menangnya suatu pacuan kuda atau pertandingan lain, atau segala pertaruhan dalam  perlombaan-perlombaan itu, misalnya totalisator, dan lain-lain.
Maka KUHP Pasal 303 juga menyebutkan:
Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya enam ribu rupiah, barang siapa dengan tidak berhak:
1)      Berpencaharian dengan sengaja memajukan atau memberi kesempatan berjudi atau dengan sengaja turut campur dalam perusahaan main judi;
2)      Dengan sengaja memajukan atau memberi kesempatan berjudi kepada umum atau dengan sengaja turut dalam perusahaan perjudian itu, biarpun diadakan atau tidak diadakan suatu syarat atau cara dalam hal memakai kesempatan itu; berpencaharian turut main judi.
3)      Jika yang bersalah melakukan kejahatan itu dalam pekerjaannya, maka boleh dicabut haknya melakukan pekerjaan itu.
Bermain judi secara resmi atau secara hukum dianggap sebagai tindak pidana atau dianggap sebagai kejahatan. Masyarakat umum menganggap tindak judi sebagai tingkah laku tidak susila, disebabkan oleh ekses-eksesnya yang buruk dan merugikan. Khususnya merugikan diri sendiri dan keluarganya, karena segenap harta kekayaan, bahkan kadang kala juga anak dan istri habis dipertaruhkan di meja judi. Juga oleh nafsu berjudi orang berani menipu, mencuri, korupsi, merampok, dan membunuh orang lain untuk mendapatkan uang guna bermain judi.
Defenisi yang diberikan dalam sebuah kamus besar “khususnya” kamus Bahasa Indonesia yang mana kata “judi” adalah:  “Permainan dengan memakai uang atau barang berharga sebagai taruhan; berjudi berarti mempertaruhkan sejumlah uang atau harta di permainan tebakan berdasarkan kebetulan, dengan tujuan mendapatkan sejumlah uang atau harta yang lebih besar daripada jumlah uang atau harta semula; menjudikan ialah memakai sesuatu untuk bertaruh; penjudian yaitu proses, cara, perbuatan menjudikan.
Pertaruhan dalam perjudian ini sifatnya murni spekulatif untung-untungan. Konsepsi untung-untungan itu sedikit atau banyak selalu mengandung unsur kepercayaan mistik terhadap kemungkinan beruntung. Permainan tadi dihubungkan dengan personafikasi dari satu kejadian atau fakta yaitu berupa relasi dengan roh-roh jahat yang membawa kesialan. Interprestasi Animistik semacam ini menghubungkan rakyat dengan satu kepercayaan nasib untung dan menjadi atribut kemanusiaan, sekaligus menjadi elemen terpenting pada perjudian (Kartini Kartono, 2009 : 60).
Pada masyarakat primitif memiliki kepercayaan, bahwa dalam situasi genting mereka selalu dilindungi roh-roh tertentu.Semua itu dicerminkan oleh peristiwa keberuntungan atau kesialan, maka dalam kehidupan sehari-hari, permainan dan perjudian yang disertai pertaruhan itu dipakai sebagai alat pengetes. Pada bangsa yang lebih modern, unsur kepercayaan animistik terhadap keberuntungan itu masih saja melekat pada bangsa yang berbudaya. Keyakinan inilah yang membesarkan harapan-harapan untuk menang, sehingga membuat dirinya seorang penjudi yang kronis ( Kartini Kartono 2009 : 60, 61 ).
Pada umumnya, mereka itu menaruh “harapan semu” untuk melipatgandakan uangya. Gaji yang minim, kondisi hidup yang tidak menentu, depresi ekonomi yang terasa makin mencekik dan tidak adanya harapan untuk hari esok. Semunya mendorong rakyat kecil untuk mengkhayalkan keuntungan dengan harapan spekulatif, dengan cara bagaimana mereka harus memperbaiki taraf kehidupan keluarga dan diri sendiri dalam krisis ekonomi, semua itu mendorong mereka mempertaruhkan sebagian penghasilan sendiri dengan berjudi dan membeli kupon Togel (Kartini Kartono, 2009 : 74).
Togel atau totoan gelap mulai marak di Indonesia kira-kira sejak tahun 2000an. Jenis perjudian ini sangat diminati oleh semua kalangan, tua muda, anak-anak dewasa, karena perjuadian ini relatif  murah namun bila menang akan mendapat uang yang berlipatganda. Selain itu karena togel ini sudah merakyat, banyak para penjual togel berkeliaran di sekitar kita dan mempermudah para pembeli yang ingin memasang taruhannya. Dengan kemudahan dan harga yang relatif murah, jenis perjudian ini sangat populer di Indonesia.
Di dalam jaringan togel Indonesia, terdapat Bandar besar yang berpusat di Singapura namun juga banyak sekali bandar-bandar kecil atau biasa disebut penjual togel berkeliaran di sekitar kita. Dalam jaringannya, bandar-bandar akan terbagi menurut wilayahnya, bandar di desa-desa,  Bandar di kota, provinsi, hingga sampai ke bandar pusat. Biasanya para pembeli hanya memasang taruhannya kepada para bandar di desa dan jika menang mereka akan mengambilnya dari bandar di desa itu pula. Dalam taruhannya, togel terbagi menurut banyaknya digit nomer yang dipasang 2 (dua) angka, 3 (tiga) angka dan 4 (empat) angka.Semakin banyak digit angkanya, semakin besar nilai lipat ganda dari uang taruhannya.
Maraknya judi togel dan mulai meningkatnya pembeli merupakan fakta sosial bahwa judi menjadi hal yang biasa dimasyarakat kita. Judi dianggap hanya sekedar permainan dan kebiasaan belaka dan bukan lagi sebagai pelanggaran terhadap norma agama, norma kesusilaan, norma adat dan norma hukum.
Kebiasaan Judi togel ini dimulai dari ikut-ikutan, penasaran atau memang mengadu nasib yang didasari kemalasan karena menganggur tetapi ingin cepat kaya dengan cara yang instan.  Ada yang memulainya karena mendengar teman atau tetangganya menang judi togel. Keinginan untuk beli judi togel semakin kuat ketika tahu tetangganya tersebut dengan uang sedikit dapat untung berlipat ganda. Walaupun sekali, dua kali tidak dapat, rasa penasaran dan mimpi dapat uang banyak tanpa bersusah payah menjadi cambuk semangat yang luar biasa, sehingga tiada henti untuk mencoba (Opini Bangkapos, 22 Januari 2011)[2].
Judi togel ini telah tercatat sudah meracuni masyarakat luas baik dari kalangan bawah hingga menengah. Tidak asing lagi, bahkan ibu rumah tangga, pegawai negeri sipil (PNS) bahkan pedagang-pedagang kaki lima sudah menjadikan togel sebagai sampingan dan hiburan sehari-hari.
Jenis togel menggunakan modus, yang tergolong sangat sederhana dan rahasia.Pembeli hanya mendapatkan selembar kertas yang isi dari kertas tersebut bertuliskan angka-angka yang dipesan (ditafsir) oleh pembeli. Kemudian kertas yang  telah dituliskan angka dikembalikan oleh pemiliknya sebagai tanda bukti untuk mengambil uang apabila beruntung nantinya.
Selain itu, modus lain yang digunakan oleh judi togel ini yakni dengan cara, menggunakan teknologi modern melainkan peredaran togel dilakukan melalui internet dan telepon. Tetapi bagi orang yang sudah saling kenal satu sama lain, membeli togel cukup dengan mengirim sebuah SMS atau telepon ke cabang-cabang togel yang banyak beredar di tempat-tempat biasa mangkal. Sementara untuk mengetahui angka jitu dan nomor keluar juga melibatkan teknologi modern yakni dengan cara diakses di internet.
Namun perjudian togel ini sering dihubungkan dengan kejadian mimpi seseorang, dengan kata lain mereka (pelaku togel) menafsirkan angka-angka jitu yang akan dipasang berdasarkan hasil tafsiran mimpi seseorang bahkan telah dibuat buku mimpi yang diyakini membantu para peminat togel menafsirkan mimpi mereka masing-masing dalam bentuk angka-angka (merumuskannya).
Hal-hal semacam ini merupakan suatu hal yang tidak masuk akal, bagaimana tidak, nomor togel dapat diprediksi dengan mimpi. Hubungunnya di mana dan bagaimana cara menghubungkannya? mimpi sebagai wilayah yang tidak teraba dan menjadi hak prerogatif sang pencipta alam semesta ini tiba-tiba ditafsirkan dengan angka-angka yang dapat menjerumuskan orang pada kerusakan ekonomi tersebut.
Penikmat togel banyak mencari mimpi atau yang mereka sebut wangsit (walau sering kali juga tidak lewat mimpi). Mereka mengartikan berbagai kejadian di dalam mimpi menjadi angka-angka menjadi hal yang tidak masuk akal dalam penalaran (akal pikiran manusia), yang jelas judi togel secara fakta banyak kita temukan di masyarakat yang tidak sejahtera dan cenderung selalu mengadu peruntungan dan sudah tentu perlu penilitian yang lebih serius tentang ini.
Menafsirkan mimpi dalam permainan judi togel menjadi hal yang biasa di dalam mayarakat, menjadi suatu kepercayaan mayoritas masyarakat untuk melakukan judi togel ini. Adapun salah satu imbas dari masalah ini terjadi di kalangan masyarakat di lingkungan Desa Poka, Kecamatan  Teluk Ambon, Kota Ambon yang sebagian masyarakatnya berkecimpung di dalam judi togel ini.
Menurut Freud, mimpi adalah penghubung antara kondisi bangun dan tidur. Baginya, mimpi adalah ekspresi yang terdistorsi atau yang sebenarnya dari keinginan-keinginan yang terlarang diungkapkan dalam keadaan terjaga. Freud seringkali mengidentifikasi mimpi sebagai hambatan aktivitas mental tak sadar dalam mengungkapkan sesuatu yang dipikirkan individu, beriringan dengan tindakan psikis yang salah, selip bicara (keprucut), maupun lelucon.
Mimpi hanya reaksi tidak teratur dan fenomena mental yang berasal dari stimulasi fisik. Jadi mimpi adalah sisa-sisa aktivitas mental dari kehidupan saat bangun yang menggangu tidur. Mimpi adalah bentuk reaksi pikiran untuk menstimulasi tindakan selama tidur, maka di sini kita menemukan kemungkinan memahami mimpi  (menemukan stimulasi apa yang mengganggu tidur dan reaksi apa yang membentuk mimpi) dalam hal ini stimulasi stomatik (stimulasi eksternal) dan stimulasi dari organ tubuh (stimulasi eksternal) sebagai reaksi stimulus pengganggu mimpi. C.T. Fechner menyatakan bahwa panggung tempat drama mimpi (dalam pikiran) dimainkan berbeda dengan panggung kehidupan pikiran saat bangun (Psikoanalisis Sigmund Freud 86:87). 
Menurut Ibnu Arabi, mimpi adalah bagian dari imajinasi, maka untuk memahami terminologi mimpi dalam khazanah pemikirannya, terlebih dahulu mengacu pada makna imajinasi itu sendiri. Baginya, imajinasi adalah tempat penampakan wujud-wujud spiritual, para malaikat dan roh, tempat mereka memperoleh bentuk dan figur-figur “rupa penampakan” mereka, dan karena disana konsep-konsep murni (ma`ani) dan data indera (mahsusat) bertemu dan memekar menjadi figur-figur personal yang dipersiapkan untuk menghadapi drama event rohani[3].
Ia juga menambahkan, bahwa kecakapan imajinasi itu selalu aktif  baik sedang dalam keadaan bangun maupun dalam keadaan tidur. Selama jam-jam bangun kecakapan ini juga disimpangkan oleh kesan-kesan indera (sense impression) untuk melakukan pekerjaannya secara wajar, tapi dalam keadan tidur, ketika indera-indera dan kecakapan lainya sedang istirahat, imajinasi terbangun semua.
Adapun penafsiran mimpi dalam permainan judi togel dilakukan secara berkelompok, yang dimana mempermudah para peminatnya dalam menafsirkan mimpi. Di kelompok tersebut mereka berbagi presepsi dan pendapat dalam membahas judi togel dan hal ini menjadi menarik ketika mereka menyamakan presepsi mereka dalam memasang judi togel.
Lahirnya kepercayaan masyarakat akan mimpi memberikan spekulatif-spekulatif makna yang berbeda-beda dalam memaknai suatu mimpi seseorang yang kemudian dijadikan patokan untuk memasang togel menjadi hal yang janggal ketika suatu kejadian yang abstrak di aplikasikan ke dalam simbol-simbol atau angka-angka jitu  dalam memasang judi togel.
Entah darimana atau asal kepercayaan ini muncul namun telah merefleksi masyarakat akan kekuatan-kekuatan alam bawah sadar kita dan menjadi konsumtif publik demi meraih keuntungan berlipat ganda sekaligus mempengaruhi nilai-nilai norma dalam bermasayarakat.
Sudah sejelas dan nyata Secara yuridis (secara hokum), berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Khususnya pasal 303 KUHP jo UU Nomor 7 tahun 1974, semua bentuk perjudian adalah kejahatan. Selain itu PP No 9/1981 jo Inmedagri No 5/1981 yang ditujukan pada seluruh Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, agar menghapus/mencabut izin perjudian dalam bentuk dan tujuan apapun sejak 1 April 1981. Semua aturan itu dianggap sebagai perangkat hukum yang jelas untuk melarang perjudian di Negara Kesatuan Repoblik Indonesia (NKRI). 
Menurut ahli hukum Haryono Mintarum menyatakan, undang-undang tentang perjudian itu dengan jelas menyebutkan kriteria perjudian serta berapa hukuman maksimalnya. "Hukumannya sangat berat apabila mau serius, menurut KUHP pasal 303 ancaman hukuman 10 tahun plus denda Rp 25 juta. Tetapi pada Realitasnya yang terjadi pada oknum aparat keamanan khususnya sampai sekarang masih cukup sulit untuk menciptakan penegaka hukum (Law Enforcement) yang sesungguhnya. Kenyataan tersebubut dapat kita lihat secara langsung dari media-media masa yang tercatat masih banyaknya TO (Target Oprasi) yang masih dalam proses pencarian.
Ada dua varian model penanganan perjudian. Di antaranya lokalisasi, seperti yang dilakukan Malaysia, atau dilegalkan seperti dianut Thailand. Namun di Indonesia kedua model tersebut sulit dipraktikkan. Lokalisasi perjudian, misalnya, memang mempunyai efek edukatif. Mereka yang masuk ke tempat tersebut hanya mereka yang benar-benar punya niat dan selain itu juga haus mempunyai sejumlah uang yang tergolong banyak. Namun, model tersebut tidak efektif jika diterapkan karena sebagian besar pecandu togel tergolong masyarakat lapisan bawah (setrata).
Tetapi dalam paparan di atas solusi yang paling penting yang harus dilakukan oleh semua jajaran baik dari pihak Pemerintah, pihak Oknum Aparat Keamanan serta seluru masyarakat, dalam hal ini harus lebih bertindak pro aktif untuk bersama-sama membantu untuk menghapuskan perjudian di Negara Indonesia dan menciptakan hukum yang sesungguhnya dimasa-masa mendatang.

1.2   Rumusan Masalah
Ketika kita berbicara mengenai Perjudian dengan kata lain adalah Permainan dengan memakai uang atau barang berharga sebagai taruhan; berjudi berarti mempertaruhkan sejumlah uang atau harta di permainan tebakan berdasarkan kebetulan, dengan tujuan mendapatkan sejumlah uang atau harta yang lebih besar daripada jumlah uang atau harta semula Namun, sebelumnya perlu penulis memberikan sedikit gambaran tentang profil singkat Desa Poka dan beberapa wilayah di bawah naungannya.
Desa Poka adalah salah satu Desa yang berada di naungan Provinsi Maluku, Kota Ambon. Daerah kekuasaannya mencangkup Dusun Kampung Pisang yang berada di wilyah daerah pesisir pantai sampai dengan Dusun Karang-Karang yang berada di daerah pegunungan. Namun pada penelitian ini penulis lebih memusatkan penelitian ini pada wilayah perumnas poka, BTN Poka dan sekitarnnya. Wilayah ini mempunyai multikultur suku, ras dan agamanya. Maka berbicara tentang keadaan sosial masyarakatnya kita dihadapkan dengan heterogen masyarakatnya berbeda asal usul, suku, ras dan agama yang dimiliki masing-masing individu yang mendiami wilayah ini.
Beragam pola interaksi yang akan kita jumpai di wilayah ini disebabkan keadaan strategis desa yang berada di salah satu pusat wilayah pendidikan Provinsi Maluku hal ini karena wilayah ini mempunyai berbagai fasilitas pendidikan unggulan di Provinsi Maluku. Hal ini memungkinkan orang-orang dari berbagai daerah dan kepualauan di Provinsi Maluku berdatangan untuk menuntut ilmu di Wilayah ini dengan maksud mendapatkan pendidikan yang lebih baik demi masa depan mereka.
Namun ketika kita berbicara tentang perjudian maka yang akan  kita jumpai di Desa Poka ini beragam permainan yang berkenaan  dengan judi dapat kita jumpai di berbagai sudut pedesaan berupa permainan judi kartu, judi togel, judi ayam dan beragam judi lainnya yang belum teridentifikasi dan telah menjadi pemandangan yang biasa terjadi di masyarakat Desa Poka.
Hal tersebut sangatlah bertentangan dengan kondisi strategis Desa yang terkenal akan fasilitas pendidikannya. Masalah ini diperparah dengan muncul maraknya permainan judi yang disebut judi togel yang terlanjur meracuni pikiran masyarakat sekitar secara turun temurun. Permaianan judi yang memberikan keuntungan berlipat ganda ini selalu menjadi idola bagi masyarakat sebagai sampingan sumber penghasilan mereka. Permainan judi togel yang sangat mudah untuk dimainkan, serta relatif murah untuk berbagai kalangan masyarakat dan keuntungan berlimpah yang menjanjikan seakan mudah saja meracuni pikiran masyarakat yang tergiur akan kekayaan.
Dalam sepak terjangnya judi togel terlanjur meracuni masyarakat secara cepat dan telah mengakar. Mudahnya judi togel masuk ke dalam masyarakat disebabkan kebiasaan masyarakat setempat yang gemar melakukan praktek perjudian. Kondisi diperparah dengan peran pemerintah yang kurang memberikan perhatian kepada para pelaku dan penyedia perjudian (bandar judi) sehingga perjudian menjadi marak di masyarakat.
Selain itu, dugaan kerjasama antar aparat keamanan dengan bandar judi memperkuat eksitensi perjudian itu sendiri. Hal ini menyebabkan sulitnya kebiasaan berjudi dapat dihilangkan dari kehidupan bermasayarakat. Kontardiksi antar lingkungan pendidikan dengan budaya kriminalitas ini yang membuat penulis sangat ingin melakukan penelitian secara intensif di Desa Poka ini.
Praktik permainan judi togel bukan hanya dilakukan secara sendiri-sendiri namun di dalam judi togel dilakukan secara berkelompok. Berbagai macam pola interaksi dilakukan para penjudi selalu berkembang demi menjaga eksistensi keberadaan judi togel sekaligus menjadi ajang pertukaran pendapat sesama penjudi demi meraih kemenangan dalam berjudi.
Pola interaksi inilah yang memunculkan kepercayaan-kepercayaan mistik yang lekat dengan budaya masyarakat timur di era modernisasi. Salah satu kepercayaan masyarakat terhadap mimpi (primbon) yaitu kepercayaan tentang analisa kehidupan di bawah alam sadar meyakini adanya pesan-pesan (pertanda) yang di sampaikan sebelum kejadian sebenarnya (realitas) terjadi dalam dunia nyata.
Hal ini menjadi dasar pemikiran para penjudi togel untuk menafsirkan arti mimpi mereka ke dalam angka-angka yang kemudian akan digunakan dalam memasang judi togel dengan harapan mendapatkan angka jitu. Kegiatan penafsiran inilah yang kemudian para penjudi berkumpul melakukan interaksi mengkomunikasikan  mimpi yang dialaminya lalu kemudian diaplikasikan di secarik kertas untuk menentukkan angka jitu yang kelak menjadi jargon dalam memasang judi togel.
Di era modern ini dimana berkembang pesatnya dunia pendidikan dan teknologi, kepercayaan-kepercayaan akan dunia khayalan (mimpi) ataupun mistik masih menjadi bagian yang tidak tergantikan dalam budaya masayarakat. Apalagi masyarakat Desa Poka yang berada dalam lingkungan pendidikan harusnya lebih mampu berpikir logika daripada masyarakat yang berada di pedesaan terpencil lainnya. Kenyataan ini menjadi hal yang menarik sebagai acuan penelitian keberadaan kepercayaan-kepercayaan mistik masih tetap berdiri berdampingan dengan masayarakat yang lebih cenderung berpikir logika.
Terkait dengan deskripsi permasalahan yang telah dikemukakan di atas,   maka permasalahan pokok yang diangkat dalam penulisan adalah sebagai berikut :
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah :
“Bagaimanakah Rasionalisasi Mimpi Dalam Interaksi Kelompok di Desa Poka, Kecamatan Teluk Ambon, Kota Ambon?
1.3   Tujuan dan Manfaat Penelitian.
1.3.1        Tujuan Penelitian.
Adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
1.      Dapat mengetahui secara sosiologis tentang proses Rasionalisasi mimpi dalam interaksi kelompok di Desa Poka.
2.      Dapat menjelaskan secara sosiologis tentang proses Rasionalisasi mimpi dalam interaksi kelompok di Desa Poka.
3.      Dapat memahami secara sosiologis tentang proses Rasionalisasi mimpi dalam interaksi kelompok di Desa Poka.
1.3.2        Manfaat Penelitian.
Adapun manfaat penelitian yang diharapkan penulis setelah melakukan penelitian ini yaitu; Manfaat teoritis artinya hasil penelitian bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya Ilmu Sosiologi yang berkaitan denganproses penafsiran mimpi di dalam interaksi kelompok sedangkan, Manfaat praktis bermanfaat bagi berbagai pihak yang memerlukannya sebagai referensi, terutama bagi akademisi ataupun pemerintah serta seseorang untuk melakukan penelitian tentang proses Rasionalisasi mimpi dalam interaksi kelompok.




1.4   Kerangka Teori.

Menurut Cooley, kelompok ditandai dengan adanya hubungan yang erat di mana anggota-anggotanya saling mengenal dan sering sekali berkomunikasi secara langsung berhadapan muka (face to face) serta terdapat kerja sama yang bersifat pribadi atau adanya ikatan psychologis yang erat (J. Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, 2007 : 25).
Kelompok sosial yang paling sederhana, yaitu keluarga dan hampir semua manusia pada mulanya menjadi anggota kelompok keluarga. Mengenai pembagian kelompok sosial dapat klasifikasikan ke dalam beberapa tipe yang dapat ditinjau dari beberapa sudut atau berdasarkan atas pelbagai kriteria atau ukuran. Kelompok sosial pada dasarnya dapat dibedakan atas:
1)      Kelompok-kelompok sosial yang teratur
2)      Kelompok-kelompok sosial yang tidak teratur
Di dalam Kelompok-kelompok sosial yang teratur, ada pembedaan kelompok sosial didasarkan pada derajat interaksinya ialah membership group dan reference group, dan yang mengemukakannya ialah Robert K. Merton (J. Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, 2007 : 30). Membership Group merupakan kelompok di mana setiap orang secara fisik menjadi anggota kelompok tersebut. Ukuran utama bagi keanggotaan seseorang adalah interaksinya dengan kelompok sosial yang bersangkutan.
Perbedaan derajat interaksi, dapat menimbulkan subgroup, karena orang-orang yang sering berinteraksi kemudian membentuk kelompok sendiri-sendiri, karena adanya faktor-faktor kepentingan yang sama, keanggotaan, serta nilai-nilai yang sama. Reference group merupakan kelompok sosial yang menjadi ukuran bagi seseorang (bukan anggota kelompok) untuk membentuk pribadi dan perilakunya.Jadi, seseorang itu telah menyetujui norma-normanya, sikap-sikapnya dan tujuan dari kelompok tersebut, artinya bahwa dia senang kepada kerangka norma-norma, sikap-sikap, dan tujuan yang dimiliki kelompok.
Sedangkan, di dalam kelompok-kelompok sosial yang tidak teratur, dibedakan menjadi dua golongan, yaitu kerumunan (crowd) dengan berbagai bentuk dan publik. Sangatlah sukar untuk mengatakan bahwa, pengelompokan dari manusia hanyalah merupakan koleksi-koleksi dari manusia secara fisiknya melainkan setiap manusia berkelompok selalu menunjukkan adanya ikatan-ikatan sosial. Mungkin secara kebetulan berkumpul di suatu tempat tertentu dengan sendirinya masing-masing akan menyadari kehadiran orang lain dan akan memperhatikan orang lain, misalnya tentang bajunya, wajahnya dan sebagainya, sehingga akan menimbulkan interaksi-interaksi di antara mereka. Jadi, kelompok itu tidak hanya terjadi karena adanya interaksi saja melainkan juga karena adanya perhatian yang sama (J. Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, 2007 : 33,34,35).
Secara teoritis, sekurang-kurangnya ada dua syarat bagi terjadinya suatu interaksi sosial, yaitu terjadinya kontak sosial dan komunikasi.Kontak sosial tidaklah semata-mata tergantung dari tindakan, tetapi juga tergantung kepada adanya tanggapan terhadap tindakan tersebut. Sedangkan, aspek terpenting dari komunikasi adalah bila sesorang memberikan tafsiran pada sesuatu atau perikelakuakn orang lain (J. Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, 2007 : 16). Komunikasi melalui isyarat-isyarat sederhana adalah bentuk paling elementer dan yang paling pokok dalam komunikasi. Tetapi, pada masyarakat manusia “isyarat” komunikasi yang dipakai tidaklah terbatas pada bentuk komunikasi itu.Manusia dapat membayangkan dirinya secara sadar dalam perilakunya dari sudut pandang orang lain. Sebagai akibatnya, mereka dapat mengkonsentrasikan perilakunya dengan sengaja untuk membangkitkan tipe respons tertentu dari orang lain (Jhonson, 1986 : 11).
Karakteristik khusus dari komunikasi manusia adalah mereka tidak terbatas hanya menggunakan isyarat-isyarat fisik sebagaiamana halnya dilakukan binatang. Di dalam berkomunikasi manusia menggunakan kata-kata, yakni simbol-simbol suara yang mengandung arti bersama dan bersifat standar. Dalam hal ini, tidak perlu selalu ada hubungan yang intristik antara satu bunyi tertentu dengan respons yang disimbolkannya (J. Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, 2007 : 16).
Simbol di sini berbeda dengan tanda. Makna sebuah tanda biasanya identik dengan bentuk bentuk fisik dan dapat ditangkap dengan panca indera, sedangkan simbol bisa abstrak. Menurut Karp dan Yoels, simbol mengarahkan tanggapan-tanggapan kita, membantu mempersatukan atau mengkonsepsikan aspek-aspek dunia (Sunarto, 1985 : 100, 101)
Bahwa simbol adalah sesuatu yang “lepas” dari apa yang disimbolkan, karena komunikasi manusia tidak terbatas pada ruang, penampilan atau sosok fisik, dan waktu di mana pengalaman inderawi itu berlangsung, sebaliknya manusia dapat berkomunikasi tentang objek dan tindakan jauh di luar batas waktu dan ruang (J. Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, 2007 :17).
Nilai atau makna sebuah simbol tergantung kepada kesepakatan orang-orang atau kelompok yang mempergunakan simbol itu.  Menurut Leslie White (1986), makna suatu simbol hanya dapat ditangkap melalui cara-cara nonsensoris, yakni melalui proses penafsiran (interpretative process). Makna dari suatu simbol tertentu dalam proses interaksi sosial tidak begitu saja langsung diterima dan dimengerti oleh semua orang, melainkan harus terlebih dahulu ditafsirkan.
Menurut Max Weber, metode yang bisa dipergunakan untuk memahami arti-arti subjektif tindakan sosial seseorang adalah dengan verstehen. Apa yang dimaksud Weber dengan verstehen adalah kemampuan untuk berempati atau kemampuan untuk menempatkan diri dalam kerangka dalam kerangka berpikir orang lain yang perilakunya mau dijelaskan dan situasi serta tujuan-tujuannya mau dilihat menurut prespektif itu (Jhonson, 1986 : 216).
MaxWeber mengklasifikasikan ada empat jenis tindakan sosial yang mempengaruhi sistem dan struktur masyarakat. Keempat jenis tindakan sosial itu adalah:
1)    Rasionalitas instrumental.
Yaitu, tindakan sosial yang dilakukan seseorang didasarkan atas pertimbangan dan pilihan sadar yang dipergunakan untuk mencapainya

2)    Rasionalitas yang berorientasi nilai
Sifat rasional tindakan jenis ini adalah bahwa alat-alat yang ada hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yang sadar, sementara tujuan-tujuannya sudah ada di dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut. Artinya, nilai itu merupakan nilai akhir bagi individu yang bersangkutan dan bersifat nonrasional, sehingga tidak memperhitungkan alternatif.
3)    Tindakan tradisional
Dalam tindakan jenis ini, seseorang memperlihatkan perilaku tertentu karena kebiasaan yang diperoleh dari nenek moyang, tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan.
4)    Tindakan afektif
Tipe tindakan ini didominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau  perencanaan sadar. Tindakan afektif sifatnya spontan, tidak rasional dan merupakan ekspresi emosional dari individu.
Max Weber mengakui bahwa empat jenis tindakan sosial yang diutarakan adalah merupakan tipe ideal dan jarang bisa ditemukan dalam kenyataan. Tetapi, apa yang hendak disampaikan Weber adalah bahwa tindakan sosial, apapun wujudnya, hanya dapat dimengerti menurut arti subjektif dan pola-pola motivasional yang berkaitan dengan itu. Untuk mengetahui arti subjektif dan motivasi individu yang bertindak, yang diperlukan adalah kemampuan untuk berempati pada peranan orang lain.

1.5   Defenisi Konsep.
Yang dimaksud dalam definisi konsep dalam penelitan ini adalah:
1)      Rasionalsasi menurut Max Weber untuk teori sosiologi adalah teorinya mengenai rasionalitas. Dimana rasionalitas merupakan konsep dasar yang Weber gunakan dalam klasifikasinya mengenai tipe-tipe tindakan social. Pembedaan pokok yang diberikan adalah antara tindakan rasional dan yang non rasional. Singkatnya, tindakan rasional (menurut Weber) berhubungan dengan pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan (dalam Jhonson, 1986 : 216)
2)      Mimpi menurut (Sigmund Freud 86:87) adalah bentuk reaksi pikiran untuk menstimulasi tindakan selama tidur, maka di sini kita menemukan kemungkinan memahami mimpi  (menemukan stimulasi apa yang mengganggu tidur dan reaksi apa yang membentuk mimpi) dalam hal ini stimulasi stomatik (stimulasi eksternal) dan stimulasi dari organ tubuh (stimulasi eksternal) sebagai reaksi stimulus pengganggu mimpi.
3)      Interaksi kelompok itu tidak hanya terjadi karena adanya interaksi saja melainkan juga karena adanya perhatian yang sama (J. Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, 2007 : 33,34,35).
4)      Judi togel Pengertian perjudian menurut Dali Mutiara, dalam tafsiran KUHP yang dikutip oleh Dr. Kartini Kartono (2001) dalam bukunya Patologi Sosial menyatakan sebagai berikut : Permainan judi ini harus diartikan dengan arti yang luas, juga termasuk segala pertaruhan tentang kalah menangnya suatu pacuan kuda atau lain-lain pertandingan, atau segala pertaruhan dalam perlombaan-perlombaan itu, misalnya totalisator dan lain sebagainya.

1.6   Defenisi Operasional.
Yang dimaksud defensi operasional dalam penelitian ini adalah:
1)      Rasionalisasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tindakan  sekelompok individu dalam menafsirkan mimpi ke dalam perjudian togel.
2)      Mimpi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mimpi yang digunakan dalam menafsirkan angka togel atau nomor togel yang mau keluar.
3)      Interaksi kelompok yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sekelompok individu yang melakukan hubungan timbal balik (komunikasi) untuk menafsirkan mimpi berupa angka togel.
4)      Judi togel yang yang dimaksud dalam penelitan ini adalah salah satu bentuk permainan judi yang menggunakan uang sebagai taruhannya dengan cara memasang angka-angka yang terdiri dari 2 (dua) angka, 3 (tiga) angka dan 4 (empat) angka.

1.7   Metode Penelitian.
Penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif bertujuan untuk menggali atau membangun suatu proposisi atau menjelaskan makna dibalik realita. Peneliti berpijak dari realita dan peristiwa yang berlangsung dilapangan. apa yang dihadapi peneliti dalam penelitian adalah dunia sosial kehidupan sehari-hari. Penelitian seperti ini berupaya memandang apa yang sedang terjadi dalam dunia tersebut dan melekatkan temuan-temuan yang diperoleh di dalamnya. Oleh karena itu, apa yang dilakukan peneliti selama di lapangan termasuk dalam suatu posisi yang berdasarkan kasus atau ideografis yang mengarahkan perhatian pada spesifikasi kasus-kasus tertentu.
Dalam hal ini, peneliti memposisikan diri sebagai bricoleur. Penekanan posisi sebagai bricoleur adalah pada sisi tindakan dilapangan yang mengutamakan penggunaan model bricoleur. Model seperti ini menekankan pada pilihan praktisnya, sehingga bersifat pragmatis, strategis dan self reflexive. Data bergantung pada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, dan pertanyaan bergantung pada setting (waktu dan tempat) ketika penelitian dilakukan, dalam arti tidak dipersiapkan sebelumnya.
Bekaitan dengan apa yang disebutkan diatas mengenai posisi peneliti, pengalaman hidup peneliti yang tinggal bersama dengan para subjek penelitian tidak diabaikan begitu saja dalam penelitian. Hal ini disebabkan pengalaman pribadi berpeluang dalam membangun teori-teori sosial. Oleh karena itu data peneliti juga berdasarkan atas refleksi peneliti mengingat keterlibatan peneliti secara langsung dalam fenomena kehidupan sosial masyarakat yang diangkat dalam penelitian. Langkah ini sekaligus menjadi upaya dalam mengatasi kesulitan dalam membangun hubungan yang lebih dekat dengan situasi penelitian (Prolonged Engagement). Namun, refleksi diri peneliti tersebut harus dilandasi kerangka acuan self-intersubjectives, bukan subjektivitas peneliti.
Sejumlah tindakan di lapangan menggunakan beragam metode pengumpulan data, mulai dari wawancara, pengamatan, interprestasi dokumen sejarah oral dan pribadi, hingga introspeksi dan refleksi diri. Dengan demikian, triangulasi akan diperlakukan sebagai suatu alternatif bagi validasi, bukan alat atau strategi validasi, (dalam Bungin 2006 : 112, 113).
Dalam penelitian ini metode yang digunakan peneliti untuk meneliti permasalahan yang diangkat adalah metode penelitian kualitatif.  Metodologi penelitian merupakan suatu cara yang dimiliki seorang peneliti  dalam menghimpun data secara authentic dilapangan.
Titik tolak peneliti bertumpuh pada minat untuk mengetahui minat atau fenomena sosial yang timbul karena berbagai rangsangan, dan bukannya pada metodologi penelitian. Sekalipun demikian, tetap harus diingat bahwa metodologi penelitian merupakan elemen penting untuk menjaga reliabilitas dan validitas hasil penelitian, (dalam Bungin 2006 : 64).

1.7.1        Kronologis Pengambilan Data.
Berikut ini adalah metode yang digunakan penulis dalam menghimpun data dilapangan :
Pada tanggal 2 Oktober 2013 penulis berencana untk memulai penelitian dikarenakan posisi penulis sendiri yang bertempat tinggal dekat dengan lokasi penelitian maka proses penelitian mempermudah penulis dalam mengumpulkan data di lapangan. Sebelum mengumpulkan data, penulis mengantarkan surat penelitian Pada tanggal 4 Oktober 2013, pukul 16 : 00 WIT (jam 4 sore) di kantor Kecamatan Teluk Ambon yang bertempat di Desa Wayame dan akhirnya staf kecamatan yang melayani penulis menerima surat izin penelitian yang akan kemudian di sampaikan kepada Kepala Desa Poka tembusan kepada ketua RT/RW 006/003.
Untuk menemui para informan penulis memanfaatkan waktu sesuai dengan kesibukan para informan masing-masing yang mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Untuk yang berprofesi sebagai PNS atau pegawai penulis mendatanginya setiap hari Sabtu dan Minggu. Untuk yang berprofesi sebagai buruh tani, maupun buruh kasar penulis menemuinya di atas jam 20;00  WIT malam, sedangkan pada pada sore hari sekitar jam 17:00 WIT sampai dengan jam 18:00 WIT sore, penulis mendatangi tempat penjualan kupon judi togel untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam dengan melakukan observasi dan wawancara secara diam-diam dimana penulis berdalih sebagai pemasang kupon togel.

1.7.2        Lokasi Penelitian.
Penentuan lokasi dan setting penelitian selain dibingkai dalam kerangka teoritis juga dilandasi oleh pertimbangan teknis operasional. Untuk itu, lokasi dan setting penelitian dipertimbangkan kemingkinan dapat tidaknya dimasuki dan dikaji lebih mendalam. Hal ini penting karena betapapun menariknya suatu kasus, tetapi jika sulit dimasuki lebih mendalam oleh seorang peneliti, maka akan menjadi suatu kerja yang sia-sia. selanjutnya penting juga dipertimbangkan apakah lokasi dan setting penelitian memberi peluang yang menguntungkan untuk dikaji, seperti komunitas petani, organisasi, kegiatan dan intekasi sosial yang ada, serta struktur sosial yang memungkinkan untuk didekati, (dalam Bungin 2006 : 135, 136).
Dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut, maka kemudian peneliti menetapkan bahwa lokasi penelitian adalah wilayah desa yang mayoritas warga desanya melakukan perjudian togel.  Oleh karena itu, sesuai dengan gambaran umum permasalahan yang telah penulis deskripsikan pada latar belakang dalam penyusunan skripsi ini, maka yang akan menjadi lokasi dalam penelitian ini adalah di Desa Poka dengan berlandaskan penelitian kualitatif.

1.7.3        Informan Kunci.
Dalam riset ilmu sosial, hal yang penting adalah menentukan sesuatu yang berkaitan dengan apa dan siapa yang di telaah. Persoalan tersebut bukan menyakut topik riset, tetapi apa yang disebut dengan tingkat analisis. Dari tingkat analisi yang telah ditetapkan itulah data yang diperoleh dalam arti kepada siapa atau siapa, tentang apa proses pengumpulan data diserahkan, (dalam Bungin 2006 : 114).


1)      Individu.
Pada analisis ini, tingkat analisis yang digunakan adalah tingkat analisis secara individu. Pada tingkat analisis ini proses pengumpulan data terarah kepada individu-individu. Perlu ditegaskan disini bahwa pengertian individu tidak sama dengan pengertian pribadi, tetapi beberapa subjek yag  diharapkan dapat memberikan data untuk mendeskripsikan fenomena penelitian. Arahnya adalah pribadi subjek tersebut dipandang mengenali fenomena penelitian atau terkait dengan data fenomena penelitian, kepada merekalah data bisa diperoleh, (dalam Bungin 2006 :114).
Data pengalaman individu ialah bahan keterangan mengenai apa yang dialami oleh individu-individu tertentu sebagai warga dari suatu masyarakat yang sedang menjadi objek penelitian. Didalam ilmu psikologi dikenal dengan istilah personal document, dalam ilmu sejarah dan ilmu sosiologi dikenal dengan istilah human document, sedangkan dalam ilmu antropolgi budaya lebih sering dikenal dengan istilah individual’s life history untuk data tersebut, Koentjaraningrat (dalam Bungin 2006 : 93).
Dalam penulisan ini penulis mengumpulkan data dari 14 orang informan, yang terdiri dari 2 orang tokoh pemerintahan, yakni bapak Kepala Desa Poka dan Ketua RT/RW 006:003, 1 orang tokoh agama/bapak imam, 1 orang tokoh pemuda, yaitu bapak kepala pemuda, Kemudian di tambah dengan 10 orang peminat togel.

2)      Sejarah Latar Belakang dan Pribadi Subjek yang di Teliti.
Sebagaimana telah di telaah disebutkan bahwa sisi temporalitas di tekankan dalam penelitian ini. Perhatian utama dalam penelitian ini adalah menanyakan seseorang untuk menceritrakan riwayat dirinya sesuai caranya. Hal utama dalam tradisi oral adalah testimoni-testimoni verbal yang merupakan pernyataan-pernyataan yang di kemukakannya yang menyangkut masa lalu. Apa yang di kemukakan atau di ceritrakan oleh subjek penelitian tentang peristiwa-peristiwa masa lalunya menjadi perhatian utama. Dengan cara ini, di harapkan dapat di peroleh informasi tentang retensi dan protensi peristiwa serta interaksi subjek dengan peristiwa yang diceritrakan.
Berikut ini adalah sejarah latar belakang dan pribadi subjek yang di teliti :
1)   M. Serhalawan, S. Sos, Jenis Kelaminm Laki-laki, Umur 48 tahun, pendidkan terakhir S1, Kepala Desa Poka, sosok yang ramah merupakan ciri khas yang dimiliki beliau.
2)   Haris Jusuf, Jenis Kelamin Laki-laki, Umur 46 tahun, pendidikan terakhir D3, Sekertaris Desa Poka, mempunyai seorang isteri dan seorang anak perempuan. Kesehariannya mudah bergaul dengan masyarakat sekitar dan merupakan sosok yang sederhana.
3)   Boediono. Jenis kelamin laki-laki, umur 40 tahun, pendidikan terakhir SMA, pekerjaan wiraswasta. Boediono menyelesaikan pendidikan dasarnya di SMA Negri 3 Ambon. Karena katerbatasan ekonomi maka beliau tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Setelah itu beliau menikah dengan Aisya dan dikaruniai 1 orang anak, yaitu 1 orang anak laki-laki. Sebelum menikah Boediono bekerja sebagai kaum Buruh di Pelabuhan Yosoedarso Ambon setelah bertemu dengan Aisya Janda Beranak Satu Boediono memutuskan menikah dan beralih profesi sebagai seorang wiraswasta. Sosok Boediono pada lingkungan sosial sangatlah baik.
4)   Udin La Musa. Jenis kelamin laki-laki, umur 45 tahun, pendidikan terakhir S1, pekerjaan PNS. Udin La Musa menikah dengan Adima dan mereka dikaruniai 3 orang anak yang terdiri dari 1 orang anak perempuan dan 2 orang anak laki-laki. Udin La Musa sekarang bekerja di Balai Penelitian Pertanian Ambon dengan jabatan kepala tata usaha di instansi tersebut. Sehari-sehari beliau adalah sosok yang suka bersosialisai dengan masyarakat sekitar adapun juga dekat dengan kehidupan penulis dikarenakan ada hubungan kekeluargaan dengan beliau.
5)   Jon Budha, Jenis Kelamin Laki-Laki, Umur 36 Tahun, Pendidikan terakhir SMA, pekerjaan Satpam. Setelah menyelesaikan pendidikan SMA, beliau bekerja sebagai kuli bangunan dan sebagai seorang petani kemudian beliau menikah dan dianugerahi 3 orang anak, yaitu 1 orang anak laki-laki dan 2 orang anak perempuan. Setelah beberapa tahun menikah akhirnya beliau memutuskan beralih profesi sebagai Satpam.
6)   Samuel Patty, Jenis Kelamin Laki-Laki, Umur 45 tahun, Pendidikan terakhir SMA, pekerjaan Cleaning Servis. Setelah menyelesaikan SMA, beliau bekerja sebagai Cleaning Servis. Interaksinya dengan masyarakat sekitar sangatlah baik tapi beliau juga mempunyai hobi berjudi. Beliau sekarang hidup dengan seorang istri dengan seorang anak perempuannya.
7)   La Adjid, jenis kelamin laki-laki, umur 50 tahun, pria tamatan SD ini memulai jenjang karirnya sebagai sopir lalu kemudian menikah dengan Rapian dan dianugerhakan 5 orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Selain menjadi sopir beliau juga bertani dan berkat pengalamannya menjadi sopir beliau juga ahli di bidang perbenkelan. Selam masih hidupnya beliau dikenal dengan orang yang pendiam tetapi suka bersosialisasi.
8)   Dahlan, jenis kelamin laki-laki, umur 32 tahun, pendidikan terakhir SMA, pekerjaan tukang ojek, memiliki 2 orang anak, masing-masing perempuan dan laki-laki. Selama masa mudanya beliau mempunyai hobi menonton pesta, maka bisa dikatakan kehidupannya erat bersosiallisasi dengan pemuda. Sampai sekarang beliau sering bergabung dengan kegiatan pemuda di Desa Poka.
9)   Jimmy Angkotta.  Jenis kelamin laki-laki, umur 25 tahun, pendidikan terakhir D3, belum bekerja. Kegiatan sehari-hari biasanya sebagai kuli bangunan kadang beliau bertani membantu keluarga. Laki-laki yang sejak kecilnya bercita-cita sebagai tentara, akhirnya takdir berkata lain. Beliau senang bersosiallisasi dan dapat menjadi partner yang baik untuk diajak ngobrol.
10)          Marlan. Jenis kelamin laki-laki, umur 27 tahun, pendidikan terakhir SMA, pekerjaan pelaut. Menyelesaikan pendidikan dasarnya di SD Negeri 3 Poka dan melanjutkan ke SMP Negeri 16 Ambon setelah lulus pada tahun 2006 pada SMA Negri 9 Ambon. Setelah selesasi dalam pendidikannya dia mengikuti berbagai tes POLRI dan TNI namun gagal maka setelah dia menikah dengan Wa Sari dan dikaruniahi seorang anak perempuan dia memutuskan beralih profesi sebagai pelaut.
11)           Sina La Rawasih. Jenis kelamin Perempuan, umur 26 tahun, pendidikan terakhir SMA, Ibu Rumah Tangga. Beliau menyelesaikan pendidikan dasarnya di SD Inpres 44 Batu Koneng, setelah itu beliau melanjutkan SMP Negri 16 Ambon. setelah tamat dari SMP, beliau memutuskan untuk melanjutkan ke SMA Negri 3 Ambon, dan kemudian beliau menikah dengan Darwis Sulaiman dengan dikaruniai 2 orang anak Laki-Laki. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari beliau bekerja sebagai petani dan berwiraswasta.
12)          La Musa. Jenis kelamin laki-laki, umur 56 tahun, pendidikan terakhir SR, wiraswasta, beliau memenuhi kebutuhan sehar-harinya dengan membuka warung sembilan bahan pokok, selain itu beliau juga pernah menjadi salah satu agen togel namun telah berhenti dari profesinya setelah tertangkap berapa tahun yang lalu, sesosoknya selalu humoris di waktu usia senajanya.
13)          Margaritha Kilbaren, Jenis Kelamin perempuan, umur 22 tahun, pendidikan terakhir SMA, Mahasiswa. Saat ini sedang menempuh pendidikannya di Politeknik Negri Ambon.  
14)          Iwan, Jenis Kelamin laki-laki, umur 23 tahun, pendidikan terakhir SMA, Mahasiswa. Saat ini sedang menempuh pendidikan di Universitas Pattimura.

1.7.4        Teknik Pengumpulan Data.
Selama melakukan proses pengumpulan data, peneliti sering menemui para informan kunci pada waktu dan jam-jam di luar jam sibuk (kerja) informan kunci yaitu pada sore hari dan malam hari dan biasanya dilakukan di rumah-rumah (tempat tinggal) informan kunci. Informan penelitian yang didasarkan dari latar belakang yang berbeda-beda maka Setting penelitian memperhitungkan waktu dan ruang yang berbeda atau pertimbangan multi-site design, misalnya tempat ibadah, tempat kerja, warung, pada acara-acara tertentu dan aktivitas dan ritme kehidupan sehari-hari.
Disamping itu agar informasi yang di dapat oleh peneliti agar lebih bervariasi dalam mengkaji berbagai macam sudut pandang masalah. Peneliti memasukkan semua komponen yang terlibat dalam penelitian (laki-laki, perempuan, remaja dan orang dewasa di berbagai tempat dan situasi), untuk memenuhi pertimbangan sampling withim (contoh dari pada jumlah orang yang akan dijadikan sebagai informan).
Maka demikian berkaitan dengan tingkat analisis dan fokus fenomena lapangan yang dikaji, teknik pengumpulan data yang utama menyadarkan pada wawancara dan pengamatan. Penggunaan kedua teknik pengumpulan data tersebut mempertimbangkan bahwa fenomena yang konkret berbeda dengan yang abstrak. Fenomena yang  konkret dapat dipahami sebagai mana adanya suatu ciptaan yang di hasilkan dalam kondisi-kondisi tertentu. Dengan menggunakan kedua teknik pengumpulan data tersebut, peneliti dapat mengesplorasi interprestasi-interprestasi yang berbeda maupun yang berintekasi, serta pandangan-pandangan yang berlawanan atas suatu fakta tertentu, (dalam Bungin 2006 : 121).
1)      Teknik Wawancara.
Wawancara yang dilakukan peniliti dengan para informan kunci dilakukan secara berangsur-angsur, yaitu dengan mengadakan diskusi langsung dengan informan kunci dan apabila informasi dirasa belum cukup, peneliti mendatangi kembali para informan pada hari berikutnya.
Wawancara yang digunakan yaitu wawancara yang tak berstruktur. Dalam Day in The Field, Malliowski menunjukkan sangat pentingnya wawancara tak berstruktur dalam melakukan penelitian lapangan dibandingkan wawancara berstruktur yang memiliki dua kelemahan yang di istilahkannya Capital Offense. Di samping itu, apabila esensi interaksi dalam wawancara lebih berfungsi untuk mencari pemahaman dibanding menjelaskan, maka harus digunakan wawancara tak berstruktur, (dalam Bungin 2006 : 122).
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian di lapangan, maka peneliti menggunakan melakukan wawancara secara mendalam (indepth interview), yaitu dengan melakukan wawancara secara mendalam dalam dengan para informan dengan cara mengajukan pertanyaan serta mengembangkan pertanyaan lanjutan berdasarkan jawaban informan.
2)      Teknik Pengamatan.
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian di lapangan, maka peneliti menggunakan melakukan Observasi lapangan, yaitu pengamatan langsung di lokasi penelitian, untuk mengidentifikasikan serta menginventarisasikan berbagai fakta sosiologis yang ada di lapangan terkait dengan penafsiran mimpi terhadap judi togel di Desa Poka.
Kondisi dilapangan pada saat peneliti melakukan pengamatan ternyata realitas yang terjadi disana adalah sesuai dengan apa yang telah dibicarakan pada latar belakang masalah diatas. Kenyataan yang ada di lapangan bahwa perjudian togel yang dapat terus bereksistensi dan terus berkembang.
Untuk mengumpulkan informasi hasil pengamatan peniliti sering menggunakan catatan-catatan kecil agar peniliti dapat memonitoring aktivitas-aktivitas yang dilakukan para pelaku judi togel di lokasi penelitian.
Pertimbangan untuk digunakan teknik ini adalah bahwa apa yang di katakan orang sering kali berbeda dengan apa yang orang itu lakukan. Oleh karena itu, pemakaian alat bantu perekam (jika di perlukan) hanya di lakukan pada cara-cara tertentu yang melibatkan banyak orang, bukan pada aktivitas individual,  (dalam Bungin 2006 : 126).
Peristiwa yang konkrit yang peneliti temui di lapangan dari 2010 hingga sekarang permainan judi togel sudah meracuni masyarakat secara turun temurun. Bahkan sebelum penulis memasuki bangku kuliah permainan judi togel sudah marajalela dari kota-kota besar sampai dengan wilyah pedesaan dan mimpi merupakan bagian yang tak tergantikan dalam memainkan permainan judi ini.

1.7.5        Kongruensi dan Konsistensi Hasil Pengamatan Data.
Kongruensi identik dengan validitas internal dan konsistensi atau dependability untuk merehabilitas data penelitian kualitatif. Langkah-langkah untuk mencapai tingkat kongruensi dan konsistensi data agar mencapai tingkat kongruensi peneliti melakukan 3 (tiga) langkah yaitu:
1)      Langkah pertama adalah menggunakan strategi pengamatan (pengumpulan data) ganda pada objek yang sama untuk cross check tiap temuan dan pengeliminasian interprestasi-interprestasi yang tidak akurat.
2)      Langkah kedua adalah Menerapkan metode realistis induktif dengan menguji proposisi-proposisi yang muncul dalam kaitannya dengan kasus-kasus yang menghasilakan pernyataan-pernyataan yang dianggap mendasar dan universal. Maksudnya data dari berbagai waktu dan tempat yang berbeda menunjukkan rangkaian atau kesamaan.
3)      Langkah ketiga adalah langkah mendeskripsikan informasi fenomena lapangan yang sesuai dengan pandangan subjek penelitian yang di istilahkan verismulitude. Maka Langkah yang ditempuh pada langkah ketiga ini adalah sebagai berikut :
1.    Triangulasi : peneliti menggunakan berbagai teknik pengumpulan data (wawancara mendalam tak berstruktur, pengamatan dan dokumentasi) dari berbagai sumber (orang, waktu dan tempat) yang berbeda.
2.    Member Cheeks : peneliti melakukan cek interprestasi data dengan subjek penelitian dan informan dari mana data itu diperoleh.
3.    Multi-site Design: peneliti mengumpulkan data dari berbagai tempat kasus dan situasi penelitian. Disamping itu pengumpulan data juga memasukkan semua bagian komponen yang terlibat sebagian penelitian (sampling withim) baik dari laki-laki, perempuan, remaja, orang dewasa diberbagai tempat dan situasi. (dalam Bungin 2006 : 128,129,130).


1.7.6        Studi Kepustakaan.
Penulis melakukan upaya untuk memperoleh data melalui buku-buku, literatur dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian ini.

1.7.7        Analisa Data.
Menganalisa data, meliputi catatan lapangan untuk mencari simbol-simbol budaya dilokasi penelitian (yang biasanya dinyatakan dalam istilah asli) serta mencari hubungan dan simbol-simbol itu. Setelah data sudah dikumpulkan, kemudian penulis berusaha semaksimal mungkin untuk mengelolah dan menganalisa data secara kualitatif dengan cara:
1)      Mengumpulkan dan mengkategorikan data penelitian sesuai tujuan penelitian yang hendak penulis capai.
2)      Analisa data dan interprestasi data.
3)      Kegiatan verifikasi dan penarikan kesimpulan.



[1] Diakses pada http//armingsh.blogspot.com/2011/01/judi-togel-semakin-meraja-lelah.html?m=1 jam 13:45 WIT pada tanggal 11 Januari 2013
[2] Diakses pada www.bangkapos.com Jam 18:00 WIT, 22 Januari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar