Selasa, 18 April 2017

masyarakat kepulauan

Mengungkap Misteri Masyarakat Pulau

1.      Masyarakat Pulau
Masyarakat pulau (island society) adalah sebuah kategori sosial yang hidup dalam suatu daratan pulau atau benua yang tunggal. Masyarakat pulau menggambarkan adanya sebuah sosialitas daratan yang tungggal, sebuah daratan luas yang terpisah dari lautan, dimana kehidupan masyarakatnya hanya berfokus di darat, dengan ciri bahasa, budaya dan sejarah yang cenderung homogen (A.Watloly, 5:2013).
Sedangkan masyarakat pulau-pulau kecil memiliki perbedaan karakteristik sosial budaya dengan masyarakat di pulau-pulau besar. Masyarakat pulau-pulau kecil, dengan keunikan geografis, alam kosmos dan ruang sosialnya yang kha, telah mencetakan baginya sebuah tipologi sosial yang khas dengan keunikan tabiat sosial, tabiat intelektual dan tata nilai yang khas serta sarat perbedaan atau kemajemukan bila dihubungkan antara satu dengan yang lainnya. Bahkan, meskipun mereka telah mengidentifikasi diri dalam sebuah gugus atau rumpun kepulauan, dengan kesamaan ciri sosial, budaya, sejarah, ekonomi, maupun alam, namun mereka masih saja tetap memiliki keunikan dan perbedaan hakiki antara satu komunitas pulau kecil yang lainnya. Tipologi sosial masyarakat pulau-pulau kecil dicirikan oleh adanya dua realitas fundamental, yaitu realitas kodrati dan realitas kultural (A.Watloly, 115:2013).
Realitas kodrati adalah sebuah realitas alami yang hanya diterima dan di jalani oleh masing-masing masyarakat di pulau-pulau kecil. Beberapa unsur realitas kodrati yang alami pada masyarakat pulau-pulau kecil itu adalah: bahwa mereka hidup  dalam zona daratan yang terbatas dengan alam kepulauannya yang terjal, berbukit dan dengan keunikan ekologisnya yang beranekaragam, mereka memiliki seumberdaya alam yang terbatas dengan jasat lingkungan yang sangat potensial, meskipun terbatas dan tidak merata, juga memiliki keunikan ekosistem, karakteristik geografis, batu, pasir, jenis buah dan tanaman meskipun ada, tidak merata pada semua pulau. Hidup mereka diliputi laut yang luas, iklim yang sering ganas (ekstrim), rentan terhadap perubahan iklim (A.Watloly, 116:2013).
Relaitas budaya masyarakat pulau-pulau kecil adalah Konfigurasi kehidupan sosial budaya masyarakat pulau-pulau kecil dengan heterogenitas sosial budayanya yang tinggi telah membuat mereka mengembangkan kehidupan sosialnya secara terbuka dan dinamis. Masyarakat pulau-pulau kecil dengan keunikan ekologis, pahma kosmologis maupun sosial-kulturalnya, mempersonifikasikan mereka dalam sebuah totalitas diri yang utuh, padu, harmoni dan sistimik sehingga mereka dapat bertahan untuk dapat membangun keberlanjutan tugas sejarahnya yang konsisten. Meskipun pada sisi geo fisiknya, wilayah pulau-pulau kecil selalu bersifat segregatif namun, secara sosial-kultural selalu berada dalam kesatuan narasi tertentu yang mengikat masyarakt karena adanya faktor sejarah yang diwarisi secara turun-temurun (A.Watloly, 118-119:2013).

2.      Cerita Rakyat Pulau Tomia
Tomia yang berada dalam gugusan pulau-pulau karang wakatobi dikenal sebagai pulau yang memiliki penduduk  yang heterogen dengan aktivitasnya. Dalam sebuah kisah lisan para tetua sebelum Tomia dikuasai oleh kesultanan Buthon jauh pada tahun 1311 SM. Tomia masih dipimpin oleh seorang kuasa sakti mendraguna bernama “LA KANAMUA” yang memiliki kemampuan merobek-robek manusia. La Kanamua yang digambarkan seperti raksasa besarnya memiliki kesaktian pada bagian telunjuk.
La Kanamua bersekutu dengan penguma parang Binongko bernama “Kapiten Woloinali” dalam menjaga wilayah Tomia-Binongko. Namun mereka akhirnya di taklukan oleh penguasa perang dari kesultanan Buthon yang dipimpin oleh “Sapati La Baluali”. Dalam hikayat lisan wali-Binongko dapat di telusuri sejarah peperangan antara Sapati La Baluali dengan Kapiten Woloinali yang menggambarkan bahwa sesungguhnya penguasaan Tomia dan Binongko melalui peperangan yang sengit. Pada akhirnya dalam rangkaian kepulauan Wakatobi, Binongko yang terakhir ditemukan.
Konon Tanawolio sebagai tempat berpijaknya san putri “Kayangan Waliulah”. Di bawah tanah wali khayangan terdapat permandian sang putri Waliulah yang menyenangkan. Dalam pengertian bahasa daerah kata”Tomia” berarti “orang”. “Tamsil” kepala Sang Putri Kayangan dipulau Binongko telah berlalu dan seterusnya Sang Raja Wali “La Ptuah Sakti” mendayungkan perahu kora-koranya menuju arah Barat Laut ke utama. Menjelang fajar tibalah beliau. Ketika itu Sang Raja melihat orang (dalam  bahasa cia-cianya disebut “orang” atau “mia”) serta mendengar suara gaib “ Tomia” (bahasa mbedhambedha). Jadi paduan kedua bahasa (Hambu Epahasia) “omia” dan “Temia” itu, maka lahirlah nama Tomia yang berarti “ada orang”.
Konon Tomia berarti di Tanah Wali Khayangan yang rata dengan diri dengan menanpakkan “buah dadanya” yang mulus indah sehingga sang raja Wali La Patuah Sakti segera memalingkan wajahnya karena silau. Menurut kajian penulis dengan berdasarkan kenyataan di zaman modern ini bahwa “Tomia” yang berarti “ada Orang” telah menjadi kunjungan para wisata manca Negara. Karena Haebu yang terkandung di dalamnya. Itulah mungkin Haebu (rahasia) “buah dada Temia” yang asalnya menghidupkan. Merasakan dan menyenangkan hati semua orang. Sebagai bukti sejarah di pulau Tomia ada 2 (dua) tempat kenagan di masa lampau yaitu :
1)      Tanah Wali (Desa Tano Wali) dan
2)      Khayangan ( Desa Kahianga) sekarang ini.
Bisa disimpulkan bahwa pulau Tomia merupakan tamsila jadmaan (buah dada putri khayangan “Waliulah”) yang penuh rahasia[1].

3.      Tipelogi Masyarakat Tomia
Tentang cara hidup manusia pertama, belum banyak diketahui, selain mereka masih sederhana dengan makanan buah-buahan, umbi-umbian yang tumbuh dalam hutan serta binatang hasil buruan mereka. Di daerah ini, pemenuhan kebutuhan hidup primer tidak lain dari pada berburu, menangkap ikan dan meramu. Di daerah ini pula hidup berkelompok berdasarkan mata pencaharian yaitu :
1)      Kelompok manusia yang kebiasaan hidupnya bercocok tanam di sebut “Hekoranga”. Alat yang dipakai dan dibuat dari batu seperti kapak untuk menebang pohon kayu, alat untuk menanam jagung dan umbi-umbian terbuat dari kayu yang disebut “tutua” dan “yao”.
2)      Kelompok manusia yang kebiasaan hidupnya menangkap ikan disebut “parabala”. Waktu itu sistem menangkap ikan masih dengan cara “noloo” yaitu menyelam dalam air kemudian berusaha menangkap ikan dengan tangan, selain itu mereka menggunakan tombak yang disebut “hepana”.
Untuk keperluan rumah tangga, seperti perkakas tempat makan masih terbuat dari kayu, tempat minum dari bambu yang dipotong-potong, dan tempat memasak yaitu periuk belanga terbuat dari tanah liat[2].
Untuk melindungi diri mereka terhadap bahaya alam yang sewaktu-waktu dapat menyerang, biasanya mereka membuat rumah yang bertiang tinggi, bahkan ada ide yang masih hidup di atas pohon yang besar dan tinggi. Di daerah Tomia, p enduduknya sudah hidup secara berkelompok dan tiap kelompok hidup dalam sebuah rumah besar yang disebut “sapo tooge” untuk menjaga keamanan bila datang gangguan atau serangan musuh agar dapat dihadapi bersama. Alat bangunan rumah terbuat dari kayu dan bambu, sedangkan atapnya terbuat dari daun enau, daun rumbia, daun woka dan daun alang-alang. Alat perkakas  masih  sangat  sederhana, karena hanya terbuat dari batu dan kayu[3].
Pada umumnya kehidupan mereka berpindah secara bergelombang baik besar-besaran maupun kecil-kecilan. Perpindahan itu terjadi kira-kira tahun 1500-500 SM dengan mempergunakan alat yang masih sederhana seperti perahu yang disebut “koli-koli”[4]. Tentang alasan mereka pindah, terdapat bermacam-macam sebab seperti kebengisan dan penindasan dari pihak yang berkuasa, peperangan atau gangguan keamanan lainnya, wabah penyakit ataupun karena tempat tinggalnya sudah tidak subur lagi, sehingga terpaksa mencari tempat tinggal yang baru memungkinkan kehidupan lebih baik. Disamping itu di daerah Tomia, terdapat juga perpindahan penduduk secara berjalan kaki.
Di daerah Tomia, tiap-tiap kelompok dipimpin oleh seorang ketua yang disebut “Laioro” dan dibantu oleh seorang pembantu yang disebut “Kanine”. Ketua kelompok dipilih dan diangkat oleh anggota masyarakat dan syarat ia seorang berwibawa dan mempunyai kekuatan sakti.
Sedangkan masyarakat Pulau Tomia dahulu menganut aliran kepercayaan Animisme dan Dinamisme masih merupakan sebagian kecil penduduk pada masa ini. Mereka menganggap bahwa mendapat kekuatan dan berkat dari roh yang mendiami gunung atau tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat, dan untuk itu mereka biasa mengadakan upacara seperti :
1)      “Belai” upacara pembukaan hutan dimana “pakilola” seorang yang pandai melihat bintang, pada waktu musim tanam sebagai pemimpin untuk membuka hutan, mengadakan persiapan beberapa hari lebih dahulu untuk mencari ilham pada waktu tidur dengan menyajikan sirih pinang, kapur, tembakau kepada roh yang dianggap memberi berkat pada mereka. Sesudah upacara ini dijalankan, barulah penebangan kayu yang pertama dikerjakan oleh pakilola lebih dahulu.
2)      “Pabisa” pada waktu pabisa mengadakan penebangan pertama, maka pabisa harus mengikuti syarat-syarat tertentu yaitu pergi menebang diam-diam sesuai dengan ilham yang diperolehnya pada waktu pergi menebang sebatang kayu sebagai penebang pendahuluan kapak harus digantungkan selama satu hari dua puluh empat jam lebih dahulu. Bila ternyata kapak jatuh, hutan tidak boleh dibuka, tapi bila kapak tetap tergantung terus, maka hutan segera dibuka oleh masyarakat bersama-sama[5].
Dalam kehidupan sosial masyarakat Tomia, terdapat berbagai motto dalam persatuan seluruh masyarakat bekerjasama dalam kerja bakti, misalnya “Poasa-asa Pohamba-hamba” (Bersama-sama Bantu-membantu) atau “Ara Noassa na Haƌa Mou te Kabumbu no Dete” (Kalau Satu Tujuan Biar Bukit menjadi Rata). Motto ini secara langsung membuktikan bahwa kehidupan sosial masyarakat dalam bekerjasama sangat diutamakan. Dengan adanya persatuan dalam bekerjasama, maka segala pekerjaan yang berat akan terselesaikan dengan mudah. Di Tomia, terdapat adat yang mengharuskan masyarakatnya masing-masing membawa beras atau kayu bakar untuk disumbangkan kepada orang yang membuat hajatan pernikahan, khitanan, tujuh bulanan, atau kedukaan. Mereka akan saling bergantian menyumbang materi dan tenaga bagi tetangga atau saudara yang mengadakan acara hajatan. Sewaktu-waktu mereka akan sangat mengucilkan warga yang tidak berpartisipasi dalam hajatan orang lain dengan cara tidak menghadiri hajatannya atau menyumbangkan beras, kayu bakar, dan tenaga.

4.      Ence Sulaiman dan Masuknya Islam di Tomia
Cerita Ence Sulaiman merupakan cerita awal dan akhir. Cerita ini bermula pada peristiwa terdamparnya sebuah perahu di Pulau Lente’a yang berhadapan dengan Pulau Tomia. Salah satu penumpang perahu tesebut bernama  Ence Sulaiman yang berasal dari Sumatera.
Kebetulan pada saat itu penduduk Tomia sedang risau karena kedatangan perompak dari Tobelo yang suka menculik anakanak dan diambil kepalanya. Karena resah salah satu kepala kampung yang bernama Patih Pellong mengutus anak buahnya untuk mengecek para penumpang dalam perahu yang terdampar tersebut. Penumpang yang bernama Ence Sulaiman pun bermaksud untuk singgah sebentar di pulau Tomia setelah diajak oleh utusan Patih Pellong sambil menunggu perbaikan kapal. Setelah tinggal beberapa saat di Tomia, Ence Sulaiman dan Patih Pellong sudah saling mengenal.
Patih Pellong yang memiliki masalah karena kedua putrinya Wa Singku Zalima dan Wa Sironga terkena kusta yang menahun pun meminta tolong kepada Ence Sulaiman. Ence Sulaiman pun memberi tawaran kepada Patih Pellong dan seluruh penduduk Tomia untuk melepaskan kepercayaan mereka terhadap kekuatan batu, pohon, air dan benda-benda lainnya, dan segera masuk Islam.
Dengan begitu Ence Sulaiman bisa mengusir para perompak dan menyembuhkan kedua putri dari Patih Pellong dengan ilmu yang ia peroleh dari Al-Qur’an. Sebelumnya Ence Sulaiman juga menyarankan pembasmian babi yang ada di Tomia karena jika dikonsumsi oleh penganut Islam, maka haram hukumnya. Setelah berhasil mengusir para perompak Tobelo dan menyembuhkan penyakit kusta yang diderita oleh kedua putri Patih Pellong, maka Ence Sulaiman menikahi salah satu putri dari Patih Pellong yang bernama Wa Singku Zalima dan melahirkan seorang anak yang kelak diberi nama Sibatara, yang meneruskan ajaran Islam di Tomia[6].

5.      Ritual Lapambai
Lapambai merupakan sebuah istilah yang terdapat pada masyarakat Tomia. Lapambai pada awalnya adalah nama orang yang mengembangkan cara pengobatan tradisional, dimana dia datang dari luar Tomia. Pengobatan tersebut dilakukan melalui suatu upacara tradisional, dengan maksud meminta maaf pada leluhur agar seseorang atau masyarakat jangan ditimpa bencana atai malapetaka.
Biasanya ritual batata lapambai dipergunakan untuk anak-anak kecil agar dapat terlindungi dari berbagai macam ancaman penyakit yang datang menghampirinya serta selalu diberikan rahmat atau karunia Tuhan  pencipta alam semesta. Jika anak tersebut terserang penyakit maka selalu diduga anak tersebut belum dilampabaikan dan ketika anak tersebut tidak diserang penyakit orang tuanya akan tetap merasa was-was karena selalu dihantui jangan sampai suatu saat anaknya jatuh sakit karena belum dilampabaikan. Tetapi, ada kalanya     kita mendapatkan orang yang sudah dewasa dilampaibaikan yang dimana orang tua tersebut selama hidupnya selalu mendapat malapetaka maka analisis orang tua di kampung jangan sampai belum pernah dilapambaikan. Alasan orang tua melampabaikan anaknya supaya anak turunan mereka jangan ditimpa musibah sebagai akibat perbuatan dosa orang tuanya tersebut.
Ritual lampabai menjadi salah satu pengobatan tradisional yang sangat dipercaya oleh masayarakat Tomia. Masyarakat Tomia masih meyakini adanya penyakit yang disembuhkan dengan pengobatan biasa yang dimana dapat disembuhkan dengan cara-cara tradisional yaitu cukup dengan batata lapambai. Biasanya sesuatu penyakit atau wabah yang menimpa seseorang atau masyarakat selalu dianalisis akibat dari salah tingkah atau perbuatan dosa seseorang atau masyarakat terhadap leluhur atau para dewa.
Kebanyakan masyarakat Tomia perantau. Perantauan ke negeri bukanlah suatu hal yang mustahil. Karena bisa saja terjadi salah paham, salah tingkah ataupun perbuatan dosa lainnya dari  perjumpaan mereka. Maka atas kekeliruan dan sebagainya itu dimohon maaf pada leluhur, supaya orang tua tersebut atau anak turunan mereka jangan ditimpakan musibah sebagai akibat perbuatan dosa orang tuanya itu.
Upacara Tradisional Batata Lapambai merupakan budaya yang sangat sakral dalam pelaksanannya karena batata lapambai memiliki ritual dalam hal ini sesajen sebagai pelengkap dalam sebuah upacara.setelah sesajen sudah dipersiapkan oleh peserta upacara atau orang tua peserta upacara barulah batata lapambai dilaksanakan.
Upacara Tradisional Batata Lapambai masih selalu dilaksanakan oleh sekelompok masyarakat Tomia yang berdiam di desa Timu (desa Tiroau, desa Dete, desa Kulati, dan desa Lagole). Dengan tujuan untuk menormalisir keadaan masyarakat yang selalu dihantui oleh ancaman datangnya penyakit/wabah[7].

6.      Jejak Sejarah Kesultanan Buton di Tomia
PATUA, merupakan nama sebuah benteng di Tomia, Tepatnya di Desa Kollo Patua, Kecamatan Tomia, Kabupaten Wakatobi. Letaknya hanya sekitar 3 km dari Kelurahan waha. Benteng Patua diperkirakan berdiri abad ke-18. Sebelum pemerintahan dipusatkan di Benteng. Benteng pertahanan Patua menggambarkan adanya prajurit (militer) terorganisir ketika itu, prajurit salah satu negara di Jazirah Sulawesi Tenggara dengan pusat pimpinan di Wolio. Tomia masuk dalam wilayah Bharata Kaledupa (Kaledupa) daerah otonom di Bawah Pemerintahan Kesultanan Buton.
Hefafoa atau lazimnya disebut henangkara, kini tinggal sebuah bekas perkampungan tak berpenghuni karena sudah berabad-abad lamanya ditinggalkan. Pemimpin ketika itu La Ode Abu, memilih membangun benteng di bukit terjal di sebelah Timur Desa Kollo Patua. Benteng yang kira-kira seluas satu setengah lapangan sepak bola itu, berada di ketinggian kira-kira 100 meter di atas permukaan laut.
Sekedar untuk diketahui, La Ode Abu merupakan bontona Waha, putra kandung La Burukeni Taeni yang merupakan keturunan langsung dari La Ode Guntu asal Wolio dari golongan bangsawan Tanailandu. “Tahun 1830, distrik pertama dipimpin putra kandung La Ode Abu yang dikenal dengan nama La Mboge. La Mboge mempunyai lima orang anak dari hasil perkawinannya dengan Wa Ana, yakni La Hatibi, Tambusae, Lamasinae, La Taudu, dan Wa Tairu. Selanjutny a Kepala Distrik secara terus-menerus dijabat oleh keturunannya. Mulai dari La Masinae (H Ismail), dan H Muh Isa (anak La Hatibi).
Pulau Tomia yang terletak di Laut Banda, merupakan jalur menuju Barat dan Timur Nusantara menjadi salah satu tempat yang disinggahi oleh pelaut dan pedagang dari daerah lain ketika itu. Karena memiliki sebuah pemerintahan, maka didirikanlah benteng yang dijaikan sebagai fasilitas untuk mempertahankan eksistensi, sekaligus bisa dikatakan sebagai satu-satunya bangunan megah disana beberapa abad yang lalu.
Konstruksi Benteng Patua terdiri dari batu gunung yang disusun menyerupai dinding, ketebalan satu hingga 1,5 meter dengan ketinggian berfariasi dari 0,5 hingga 3 meter. Pintu masuk benteng menghadap Timur dengan bentuk zigzag. Jika anda datang tanpa dipandu, salah-salah anda masuk hutan dan tak dapat masuk ke bagian dalam benteng.
Bisa dikatakan kekuasaan ketika itu sudah tersentuh oleh Islam. Karena di salah satu bagian benteng, terdapat bekas masjid. Entah bagaimana arsitekturnya, namun bisa dibayangkan mesjidnya tidak terlalu megah, namun sisa lantai yang rata dari kapur masih ada. Menurut tokoh budaya, La Maode, yang secara sengaja saya berkunjung ke rumahnya tahun lalu, saya masih ingat ia mengatakan masjid di dalam benteng ketika itu konstruksinya sangat sederhana. Yakni beratapkan daun nipa serta berdinding jalaja (anyaman bambu).
Di dalam benteng juga terdapat kuburan keramat orang nomor satu ketika itu. Di bagian tengah, terdapat takhta raja yang terdiri dari lempengan batu yang licin dan terlihat sangat istimewa. Yang bisa dipastikan jika batu itu adalah altar raja yang membelakangi tebing dan gorong-gorong yang tampak aman untuk dijadikan tempat berlindung. Sejurus dengan takhta itu, terdapat jalan pintas berbentuk rongga tembus ke hutan belantara menuju arah selatan benteng[8].



[1] https://saratunarthur.wordpress.com/2012/03/04/cerita-hikayat-tomia-wakatobi/
[2] Moskee, Encyclopedia van Nederlandsch-Indie, Leiden, 1902, hal-14.
[3]   Oswald Spengler, Jahre der Entscheidung, Berlin, 1923, hal-28
[4]   Sejenis sampan yang terbuat dari kayu yang dipakai sebagai alat transportasi antar pulau
[5]   http://lapatuju.blogspot.co.id/2013/05/sejarah-singkat-wakatobi.html
[6] Aisah Susianti, 2015, "Nilai-Nilai Sosial yang Terkandung dalam Cerita Rakyat Ence Sulaiman pada Masyarakat Tomia”, Jurnal Humanika No. 15, Vol. 3
[7] Sukriman Muhammad, 2015, “Struktur Nilai dan Fungsi Batata dalam Ritual Lapambai pada Masyarakat Tomia Kabupaten Waktobi”, Jurnal Humanika No. 15, Vol. 3
[8] http://jelajahkhatulistiwa01.blogspot.co.id/2013/01/patua-benteng-peninggalan-kesultanan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar