Mengungkap
Misteri Masyarakat Pulau
1. Masyarakat Pulau
Masyarakat pulau
(island society) adalah sebuah kategori sosial yang hidup dalam suatu daratan
pulau atau benua yang tunggal. Masyarakat pulau menggambarkan adanya sebuah
sosialitas daratan yang tungggal, sebuah daratan luas yang terpisah dari
lautan, dimana kehidupan masyarakatnya hanya berfokus di darat, dengan ciri
bahasa, budaya dan sejarah yang cenderung homogen (A.Watloly, 5:2013).
Sedangkan masyarakat
pulau-pulau kecil memiliki perbedaan karakteristik sosial budaya dengan
masyarakat di pulau-pulau besar. Masyarakat pulau-pulau kecil, dengan keunikan
geografis, alam kosmos dan ruang sosialnya yang kha, telah mencetakan baginya
sebuah tipologi sosial yang khas dengan keunikan tabiat sosial, tabiat
intelektual dan tata nilai yang khas serta sarat perbedaan atau kemajemukan
bila dihubungkan antara satu dengan yang lainnya. Bahkan, meskipun mereka telah
mengidentifikasi diri dalam sebuah gugus atau rumpun kepulauan, dengan kesamaan
ciri sosial, budaya, sejarah, ekonomi, maupun alam, namun mereka masih saja tetap
memiliki keunikan dan perbedaan hakiki antara satu komunitas pulau kecil yang
lainnya. Tipologi sosial masyarakat pulau-pulau kecil dicirikan oleh adanya dua
realitas fundamental, yaitu realitas kodrati dan realitas kultural (A.Watloly,
115:2013).
Realitas kodrati adalah
sebuah realitas alami yang hanya diterima dan di jalani oleh masing-masing
masyarakat di pulau-pulau kecil. Beberapa unsur realitas kodrati yang alami
pada masyarakat pulau-pulau kecil itu adalah: bahwa mereka hidup dalam zona daratan yang terbatas dengan alam
kepulauannya yang terjal, berbukit dan dengan keunikan ekologisnya yang
beranekaragam, mereka memiliki seumberdaya alam yang terbatas dengan jasat
lingkungan yang sangat potensial, meskipun terbatas dan tidak merata, juga memiliki
keunikan ekosistem, karakteristik geografis, batu, pasir, jenis buah dan
tanaman meskipun ada, tidak merata pada semua pulau. Hidup mereka diliputi laut
yang luas, iklim yang sering ganas (ekstrim), rentan terhadap perubahan iklim
(A.Watloly, 116:2013).
Relaitas budaya
masyarakat pulau-pulau kecil adalah Konfigurasi kehidupan sosial budaya
masyarakat pulau-pulau kecil dengan heterogenitas sosial budayanya yang tinggi
telah membuat mereka mengembangkan kehidupan sosialnya secara terbuka dan
dinamis. Masyarakat pulau-pulau kecil dengan keunikan ekologis, pahma
kosmologis maupun sosial-kulturalnya, mempersonifikasikan mereka dalam sebuah totalitas
diri yang utuh, padu, harmoni dan sistimik sehingga mereka dapat bertahan untuk
dapat membangun keberlanjutan tugas sejarahnya yang konsisten. Meskipun pada
sisi geo fisiknya, wilayah pulau-pulau kecil selalu bersifat segregatif namun,
secara sosial-kultural selalu berada dalam kesatuan narasi tertentu yang
mengikat masyarakt karena adanya faktor sejarah yang diwarisi secara
turun-temurun (A.Watloly, 118-119:2013).
2. Cerita Rakyat Pulau Tomia
Tomia yang berada dalam
gugusan pulau-pulau karang wakatobi dikenal sebagai pulau yang memiliki
penduduk yang heterogen dengan aktivitasnya.
Dalam sebuah kisah lisan para tetua sebelum Tomia dikuasai oleh kesultanan Buthon
jauh pada tahun 1311 SM. Tomia masih dipimpin oleh seorang kuasa sakti
mendraguna bernama “LA KANAMUA” yang memiliki kemampuan merobek-robek manusia.
La Kanamua yang digambarkan seperti raksasa besarnya memiliki kesaktian pada
bagian telunjuk.
La Kanamua bersekutu
dengan penguma parang Binongko bernama “Kapiten Woloinali” dalam menjaga wilayah
Tomia-Binongko. Namun mereka akhirnya di taklukan oleh penguasa perang dari
kesultanan Buthon yang dipimpin oleh “Sapati La Baluali”. Dalam hikayat lisan
wali-Binongko dapat di telusuri sejarah peperangan antara Sapati La Baluali
dengan Kapiten Woloinali yang menggambarkan bahwa sesungguhnya penguasaan Tomia
dan Binongko melalui peperangan yang sengit. Pada akhirnya dalam rangkaian
kepulauan Wakatobi, Binongko yang terakhir ditemukan.
Konon Tanawolio sebagai
tempat berpijaknya san putri “Kayangan Waliulah”. Di bawah tanah wali khayangan
terdapat permandian sang putri Waliulah yang menyenangkan. Dalam pengertian
bahasa daerah kata”Tomia” berarti “orang”. “Tamsil” kepala Sang Putri Kayangan
dipulau Binongko telah berlalu dan seterusnya Sang Raja Wali “La Ptuah Sakti”
mendayungkan perahu kora-koranya menuju arah Barat Laut ke utama. Menjelang
fajar tibalah beliau. Ketika itu Sang Raja melihat orang (dalam bahasa cia-cianya disebut “orang” atau “mia”)
serta mendengar suara gaib “ Tomia” (bahasa mbedhambedha). Jadi paduan kedua
bahasa (Hambu Epahasia) “omia” dan “Temia” itu, maka lahirlah nama Tomia yang
berarti “ada orang”.
Konon Tomia berarti di
Tanah Wali Khayangan yang rata dengan diri dengan menanpakkan “buah dadanya”
yang mulus indah sehingga sang raja Wali La Patuah Sakti segera memalingkan
wajahnya karena silau. Menurut kajian penulis dengan berdasarkan kenyataan di zaman
modern ini bahwa “Tomia” yang berarti “ada Orang” telah menjadi kunjungan para
wisata manca Negara. Karena Haebu yang terkandung di dalamnya. Itulah mungkin
Haebu (rahasia) “buah dada Temia” yang asalnya menghidupkan. Merasakan dan
menyenangkan hati semua orang. Sebagai bukti sejarah di pulau Tomia ada 2 (dua)
tempat kenagan di masa lampau yaitu :
1)
Tanah Wali (Desa Tano Wali) dan
2)
Khayangan ( Desa Kahianga) sekarang ini.
Bisa disimpulkan bahwa
pulau Tomia merupakan tamsila jadmaan (buah dada putri khayangan “Waliulah”)
yang penuh rahasia[1].
3. Tipelogi Masyarakat Tomia
Tentang cara hidup
manusia pertama, belum banyak diketahui, selain mereka masih sederhana dengan
makanan buah-buahan, umbi-umbian yang tumbuh dalam hutan serta binatang hasil
buruan mereka. Di daerah ini, pemenuhan kebutuhan hidup primer tidak lain dari
pada berburu, menangkap ikan dan meramu. Di daerah ini pula hidup berkelompok
berdasarkan mata pencaharian yaitu :
1)
Kelompok manusia yang kebiasaan hidupnya
bercocok tanam di sebut “Hekoranga”. Alat yang dipakai dan dibuat dari batu seperti
kapak untuk menebang pohon kayu, alat untuk menanam jagung dan umbi-umbian
terbuat dari kayu yang disebut “tutua” dan “yao”.
2)
Kelompok manusia yang kebiasaan hidupnya
menangkap ikan disebut “parabala”. Waktu itu sistem menangkap ikan masih dengan
cara “noloo” yaitu menyelam dalam air kemudian berusaha menangkap ikan dengan
tangan, selain itu mereka menggunakan tombak yang disebut “hepana”.
Untuk keperluan rumah
tangga, seperti perkakas tempat makan masih terbuat dari kayu, tempat minum
dari bambu yang dipotong-potong, dan tempat memasak yaitu periuk belanga
terbuat dari tanah liat[2].
Untuk melindungi diri
mereka terhadap bahaya alam yang sewaktu-waktu dapat menyerang, biasanya mereka
membuat rumah yang bertiang tinggi, bahkan ada ide yang masih hidup di atas
pohon yang besar dan tinggi. Di daerah Tomia, p enduduknya sudah hidup secara berkelompok
dan tiap kelompok hidup dalam sebuah rumah besar yang disebut “sapo tooge”
untuk menjaga keamanan bila datang gangguan atau serangan musuh agar dapat
dihadapi bersama. Alat bangunan rumah terbuat dari kayu dan bambu, sedangkan
atapnya terbuat dari daun enau, daun rumbia, daun woka dan daun alang-alang.
Alat perkakas masih sangat
sederhana, karena hanya terbuat dari batu dan kayu[3].
Pada umumnya kehidupan
mereka berpindah secara bergelombang baik besar-besaran maupun kecil-kecilan.
Perpindahan itu terjadi kira-kira tahun 1500-500 SM dengan mempergunakan alat
yang masih sederhana seperti perahu yang disebut “koli-koli”[4]. Tentang
alasan mereka pindah, terdapat bermacam-macam sebab seperti kebengisan dan
penindasan dari pihak yang berkuasa, peperangan atau gangguan keamanan lainnya,
wabah penyakit ataupun karena tempat tinggalnya sudah tidak subur lagi,
sehingga terpaksa mencari tempat tinggal yang baru memungkinkan kehidupan lebih
baik. Disamping itu di daerah Tomia, terdapat juga perpindahan penduduk secara
berjalan kaki.
Di daerah Tomia,
tiap-tiap kelompok dipimpin oleh seorang ketua yang disebut “Laioro” dan
dibantu oleh seorang pembantu yang disebut “Kanine”. Ketua kelompok dipilih dan
diangkat oleh anggota masyarakat dan syarat ia seorang berwibawa dan mempunyai
kekuatan sakti.
Sedangkan masyarakat
Pulau Tomia dahulu menganut aliran kepercayaan Animisme dan Dinamisme masih
merupakan sebagian kecil penduduk pada masa ini. Mereka menganggap bahwa
mendapat kekuatan dan berkat dari roh yang mendiami gunung atau tempat-tempat
tertentu yang dianggap keramat, dan untuk itu mereka biasa mengadakan upacara
seperti :
1)
“Belai” upacara pembukaan hutan dimana
“pakilola” seorang yang pandai melihat bintang, pada waktu musim tanam sebagai
pemimpin untuk membuka hutan, mengadakan persiapan beberapa hari lebih dahulu
untuk mencari ilham pada waktu tidur dengan menyajikan sirih pinang, kapur,
tembakau kepada roh yang dianggap memberi berkat pada mereka. Sesudah upacara
ini dijalankan, barulah penebangan kayu yang pertama dikerjakan oleh pakilola
lebih dahulu.
2)
“Pabisa” pada waktu pabisa mengadakan
penebangan pertama, maka pabisa harus mengikuti syarat-syarat tertentu yaitu
pergi menebang diam-diam sesuai dengan ilham yang diperolehnya pada waktu pergi
menebang sebatang kayu sebagai penebang pendahuluan kapak harus digantungkan
selama satu hari dua puluh empat jam lebih dahulu. Bila ternyata kapak jatuh,
hutan tidak boleh dibuka, tapi bila kapak tetap tergantung terus, maka hutan
segera dibuka oleh masyarakat bersama-sama[5].
Dalam kehidupan sosial
masyarakat Tomia, terdapat berbagai motto dalam persatuan seluruh masyarakat
bekerjasama dalam kerja bakti, misalnya “Poasa-asa Pohamba-hamba” (Bersama-sama
Bantu-membantu) atau “Ara Noassa na Haƌa Mou te Kabumbu no Dete” (Kalau Satu
Tujuan Biar Bukit menjadi Rata). Motto ini secara langsung membuktikan bahwa
kehidupan sosial masyarakat dalam bekerjasama sangat diutamakan. Dengan adanya
persatuan dalam bekerjasama, maka segala pekerjaan yang berat akan
terselesaikan dengan mudah. Di Tomia, terdapat adat yang mengharuskan
masyarakatnya masing-masing membawa beras atau kayu bakar untuk disumbangkan
kepada orang yang membuat hajatan pernikahan, khitanan, tujuh bulanan, atau
kedukaan. Mereka akan saling bergantian menyumbang materi dan tenaga bagi
tetangga atau saudara yang mengadakan acara hajatan. Sewaktu-waktu mereka akan
sangat mengucilkan warga yang tidak berpartisipasi dalam hajatan orang lain
dengan cara tidak menghadiri hajatannya atau menyumbangkan beras, kayu bakar,
dan tenaga.
4. Ence Sulaiman dan Masuknya Islam di
Tomia
Cerita Ence Sulaiman
merupakan cerita awal dan akhir. Cerita ini bermula pada peristiwa terdamparnya
sebuah perahu di Pulau Lente’a yang berhadapan dengan Pulau Tomia. Salah satu
penumpang perahu tesebut bernama Ence
Sulaiman yang berasal dari Sumatera.
Kebetulan pada saat itu
penduduk Tomia sedang risau karena kedatangan perompak dari Tobelo yang suka
menculik anakanak dan diambil kepalanya. Karena resah salah satu kepala kampung
yang bernama Patih Pellong mengutus anak buahnya untuk mengecek para penumpang
dalam perahu yang terdampar tersebut. Penumpang yang bernama Ence Sulaiman pun
bermaksud untuk singgah sebentar di pulau Tomia setelah diajak oleh utusan Patih
Pellong sambil menunggu perbaikan kapal. Setelah tinggal beberapa saat di
Tomia, Ence Sulaiman dan Patih Pellong sudah saling mengenal.
Patih Pellong yang
memiliki masalah karena kedua putrinya Wa Singku Zalima dan Wa Sironga terkena
kusta yang menahun pun meminta tolong kepada Ence Sulaiman. Ence Sulaiman pun
memberi tawaran kepada Patih Pellong dan seluruh penduduk Tomia untuk
melepaskan kepercayaan mereka terhadap kekuatan batu, pohon, air dan
benda-benda lainnya, dan segera masuk Islam.
Dengan begitu Ence
Sulaiman bisa mengusir para perompak dan menyembuhkan kedua putri dari Patih
Pellong dengan ilmu yang ia peroleh dari Al-Qur’an. Sebelumnya Ence Sulaiman
juga menyarankan pembasmian babi yang ada di Tomia karena jika dikonsumsi oleh
penganut Islam, maka haram hukumnya. Setelah berhasil mengusir para perompak
Tobelo dan menyembuhkan penyakit kusta yang diderita oleh kedua putri Patih
Pellong, maka Ence Sulaiman menikahi salah satu putri dari Patih Pellong yang
bernama Wa Singku Zalima dan melahirkan seorang anak yang kelak diberi nama
Sibatara, yang meneruskan ajaran Islam di Tomia[6].
5. Ritual Lapambai
Lapambai
merupakan sebuah istilah yang terdapat pada masyarakat Tomia. Lapambai pada
awalnya adalah nama orang yang mengembangkan cara pengobatan tradisional,
dimana dia datang dari luar Tomia. Pengobatan tersebut dilakukan melalui suatu
upacara tradisional, dengan maksud meminta maaf pada leluhur agar seseorang
atau masyarakat jangan ditimpa bencana atai malapetaka.
Biasanya ritual batata lapambai dipergunakan untuk
anak-anak kecil agar dapat terlindungi dari berbagai macam ancaman penyakit
yang datang menghampirinya serta selalu diberikan rahmat atau karunia
Tuhan pencipta alam semesta. Jika anak
tersebut terserang penyakit maka selalu diduga anak tersebut belum dilampabaikan dan ketika anak tersebut
tidak diserang penyakit orang tuanya akan tetap merasa was-was karena selalu
dihantui jangan sampai suatu saat anaknya jatuh sakit karena belum dilampabaikan. Tetapi, ada kalanya kita
mendapatkan orang yang sudah dewasa dilampaibaikan
yang dimana orang tua tersebut selama hidupnya selalu mendapat malapetaka maka
analisis orang tua di kampung jangan sampai belum pernah dilapambaikan. Alasan orang tua melampabaikan
anaknya supaya anak turunan mereka jangan ditimpa musibah sebagai akibat perbuatan
dosa orang tuanya tersebut.
Ritual lampabai menjadi salah satu pengobatan
tradisional yang sangat dipercaya oleh masayarakat Tomia. Masyarakat Tomia
masih meyakini adanya penyakit yang disembuhkan dengan pengobatan biasa yang
dimana dapat disembuhkan dengan cara-cara tradisional yaitu cukup dengan batata lapambai. Biasanya sesuatu
penyakit atau wabah yang menimpa seseorang atau masyarakat selalu dianalisis
akibat dari salah tingkah atau perbuatan dosa seseorang atau masyarakat
terhadap leluhur atau para dewa.
Kebanyakan masyarakat
Tomia perantau. Perantauan ke negeri bukanlah suatu hal yang mustahil. Karena
bisa saja terjadi salah paham, salah tingkah ataupun perbuatan dosa lainnya
dari perjumpaan mereka. Maka atas kekeliruan
dan sebagainya itu dimohon maaf pada leluhur, supaya orang tua tersebut atau
anak turunan mereka jangan ditimpakan musibah sebagai akibat perbuatan dosa
orang tuanya itu.
Upacara Tradisional Batata Lapambai merupakan budaya yang
sangat sakral dalam pelaksanannya karena batata
lapambai memiliki ritual dalam hal ini sesajen sebagai pelengkap dalam
sebuah upacara.setelah sesajen sudah dipersiapkan oleh peserta upacara atau
orang tua peserta upacara barulah batata
lapambai dilaksanakan.
Upacara Tradisional Batata Lapambai masih selalu
dilaksanakan oleh sekelompok masyarakat Tomia yang berdiam di desa Timu (desa
Tiroau, desa Dete, desa Kulati, dan desa Lagole). Dengan tujuan untuk
menormalisir keadaan masyarakat yang selalu dihantui oleh ancaman datangnya
penyakit/wabah[7].
6. Jejak Sejarah Kesultanan Buton di
Tomia
PATUA, merupakan nama
sebuah benteng di Tomia, Tepatnya di Desa Kollo Patua, Kecamatan Tomia,
Kabupaten Wakatobi. Letaknya hanya sekitar 3 km dari Kelurahan waha. Benteng Patua
diperkirakan berdiri abad ke-18. Sebelum pemerintahan dipusatkan di Benteng. Benteng
pertahanan Patua menggambarkan adanya prajurit (militer) terorganisir ketika itu,
prajurit salah satu negara di Jazirah Sulawesi Tenggara dengan pusat pimpinan
di Wolio. Tomia masuk dalam wilayah Bharata Kaledupa (Kaledupa) daerah otonom
di Bawah Pemerintahan Kesultanan Buton.
Hefafoa atau lazimnya
disebut henangkara, kini tinggal sebuah bekas perkampungan tak berpenghuni karena
sudah berabad-abad lamanya ditinggalkan. Pemimpin ketika itu La Ode Abu,
memilih membangun benteng di bukit terjal di sebelah Timur Desa Kollo Patua.
Benteng yang kira-kira seluas satu setengah lapangan sepak bola itu, berada di
ketinggian kira-kira 100 meter di atas permukaan laut.
Sekedar untuk
diketahui, La Ode Abu merupakan bontona Waha, putra kandung La Burukeni Taeni yang
merupakan keturunan langsung dari La Ode Guntu asal Wolio dari golongan
bangsawan Tanailandu. “Tahun 1830, distrik pertama dipimpin putra kandung La
Ode Abu yang dikenal dengan nama La Mboge. La Mboge mempunyai lima orang anak
dari hasil perkawinannya dengan Wa Ana, yakni La Hatibi, Tambusae, Lamasinae,
La Taudu, dan Wa Tairu. Selanjutny a Kepala Distrik secara terus-menerus
dijabat oleh keturunannya. Mulai dari La Masinae (H Ismail), dan H Muh Isa
(anak La Hatibi).
Pulau Tomia yang
terletak di Laut Banda, merupakan jalur menuju Barat dan Timur Nusantara
menjadi salah satu tempat yang disinggahi oleh pelaut dan pedagang dari daerah
lain ketika itu. Karena memiliki sebuah pemerintahan, maka didirikanlah benteng
yang dijaikan sebagai fasilitas untuk mempertahankan eksistensi, sekaligus bisa
dikatakan sebagai satu-satunya bangunan megah disana beberapa abad yang lalu.
Konstruksi Benteng Patua
terdiri dari batu gunung yang disusun menyerupai dinding, ketebalan satu hingga
1,5 meter dengan ketinggian berfariasi dari 0,5 hingga 3 meter. Pintu masuk
benteng menghadap Timur dengan bentuk zigzag. Jika anda datang tanpa dipandu,
salah-salah anda masuk hutan dan tak dapat masuk ke bagian dalam benteng.
Bisa dikatakan
kekuasaan ketika itu sudah tersentuh oleh Islam. Karena di salah satu bagian
benteng, terdapat bekas masjid. Entah bagaimana arsitekturnya, namun bisa
dibayangkan mesjidnya tidak terlalu megah, namun sisa lantai yang rata dari
kapur masih ada. Menurut tokoh budaya, La Maode, yang secara sengaja saya
berkunjung ke rumahnya tahun lalu, saya masih ingat ia mengatakan masjid di
dalam benteng ketika itu konstruksinya sangat sederhana. Yakni beratapkan daun
nipa serta berdinding jalaja (anyaman bambu).
Di dalam benteng juga
terdapat kuburan keramat orang nomor satu ketika itu. Di bagian tengah,
terdapat takhta raja yang terdiri dari lempengan batu yang licin dan terlihat
sangat istimewa. Yang bisa dipastikan jika batu itu adalah altar raja yang
membelakangi tebing dan gorong-gorong yang tampak aman untuk dijadikan tempat
berlindung. Sejurus dengan takhta itu, terdapat jalan pintas berbentuk rongga
tembus ke hutan belantara menuju arah selatan benteng[8].
[1]
https://saratunarthur.wordpress.com/2012/03/04/cerita-hikayat-tomia-wakatobi/
[2]
Moskee, Encyclopedia van Nederlandsch-Indie, Leiden, 1902, hal-14.
[3]
Oswald Spengler, Jahre der Entscheidung,
Berlin, 1923, hal-28
[4]
Sejenis sampan yang terbuat dari kayu
yang dipakai sebagai alat transportasi antar pulau
[5] http://lapatuju.blogspot.co.id/2013/05/sejarah-singkat-wakatobi.html
[6]
Aisah Susianti, 2015, "Nilai-Nilai Sosial yang Terkandung dalam Cerita
Rakyat Ence Sulaiman pada Masyarakat
Tomia”, Jurnal Humanika No. 15, Vol. 3
[7]
Sukriman Muhammad, 2015, “Struktur Nilai
dan Fungsi Batata dalam Ritual Lapambai pada Masyarakat Tomia Kabupaten
Waktobi”, Jurnal Humanika No. 15, Vol. 3
[8]
http://jelajahkhatulistiwa01.blogspot.co.id/2013/01/patua-benteng-peninggalan-kesultanan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar