Selasa, 18 April 2017

sistem sosial masyarakat kepulauan

A.    Pendahuluan
Sistem sosial dan sistem budaya tidak bisa dipisahkan jika membicarakan sistem suatu masyarakat. Sistem sosial budaya merupakan suatu keseluruhan dari unsur-unsur tata nilai, tata sosial, dan tata laku manusia yang saling berkaitan dan masing unsur bekerja secara mandiri serta bersama-sama satu sama lain saling mendukung untuk mencapai tujuan hidup manusia dalam masyarakat[1].
Edward B. Tylor berpendapat bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya termuat  kepercayaan, pengetahuan, kesenian, moral, adat istiadat, hukum, dan kemampuan-kemampuan lain yang diperoleh seseorang sebagai bagian dari masyarakat[2].
Sistem sosial budaya merupakan konsep untuk menelaah asumsi-asumsi dasar dalam kehidupan masyarakat. Pemberian makna konsep sistem sosial budaya dianggap penting karena tidak hanya untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan sistem social budaya itu sendiri tetapi memberikan eksplanasi deskripsinhya melalui kenyataan di dalam kehidupan masyarakat[3].
Suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem-sistem tata kelakuan manusia lain yang tingkatnya lebih konkrit, seperti aturan-aturan khusus, hukum dan norma-norma, semuanya berpedoman pada sistem nilai budaya itu (Levine, 1968; Boulding, 1964; Koentjaraningrat, 2002).
Hakikat intergrasi pada lingkungan komunitas melalui cara membangun solidaritas sosial pada tingkat inidividu maupun kelompok untuk menjalani kehidupan bersama. Fenomena terintergrasinya berbagai kelompok yang berbeda melalui teori Vervei dn Jonker (1973:10f) bahwa tingkat intergrasi yang dicapai yaitu dimulai dari intergrasi individual yang berarti sejauh mana anggota-anggota individu dari kelompok minoritas ikut ambil bagian dalam masyarakat penerima, dan intergrasi kolektif yaitu sejauh anggota-anggota individu masih memperlihatkan patisipasi mereka dalam kelompok etnisnya. Teori tersebut menunjukkan bahwa proses intergrasi yang dicapai karena lahir dari pemahaman bersama di antara individu maupun kelompok, maupun komunitas sebagai orang satu asal.
Dalam studi tentang intergrasi pada lingkungannya masyarakat yang berbeda latar belakang socio-cultural (Usman, 1996), Geertz menyebut masyarakat yang dapat terintergrasi di atas kesepatan sebagian besar anggotanya terhadap nilai-nilai sosial tertentu yang bersifat fundamental. Intergrasi semacam itu lebih sering tercipta dalam kehidupan masyarakat yang tergolong majemuk atau lazim disebut poly-communal, yakni suatu masyarakat yang ditandai oleh segmentasi berbagai macam kelompok sosial dengan sub kebudayaan sendiri yang unik.
Komunitas masyarakat Indonesia adalah komunitas masyarakat kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil yang terhubung oleh berbagai selat dan laut.  Saat ini pulau yang terdaftar dan berkoordinat berjumlah 13.466 pulau. Informasi tersebut ini dikatakan Kepala Badan Informasi Geospasial Asep Karsidi kepada Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu, saat serah terima perangkat pendukung infrastruktur informasi geospasial di Gedung Sapta Pesona Kemenparekraf Jakarta, pada 7 Mei 2014. Banyak masyarakat berpendapat bahwa Indonesia memiliki pulau lebih yang disebutkan di atas, yaitu lebih 17.000 lebih. Namun Asep Karsidi mengatakan bahwa jumlah 17.000  itu mungkin benar, karena masyarakat menganggap bahwa “gosong”, daratan yang hanya ada pada saat laut surut juga dianggap pulau oleh masyarakat. Selain “gosong” pulau tidak bernama pun juga masuk dalam hitungan masyarakat, hal itu juga yang membuat masyarakat berpendapat Indonesia mempunyai pulau lebih 17.000[4].
Manusia kepulauan adalah aku sesama dan pulau yang tidak dapat dipisahkan, sedangkan masayarakat kepulauan adalah suatu kesatuan hidup (sekumpulan) manusia yang menempati satu wilayah kepulauan dan yang saling berinteraksi. Masyarakat kepulauan terdiri dari, Individu/person/otonom/bebas, sosial/masyarakat/interaksi, dunia/kepulauan/pulau dan laut.
Masyarakat pulau (island society) adalah sebuah kategori sosial yang hidup dalam suatu daratan pulau atau benua yang tunggal. Masyarakat pulau menggambarkan adanya sebuah sosialitas daratan yang tungggal, sebuah daratan luas yang terpisah dari lautan, dimana kehidupan masyarakatnya hanya berfokus di darat, dengan ciri bahasa, budaya dan sejarah yang cenderung homogen (A.Watloly, 5:2013).
Masyarakat kepulauan dibedakan dari masyarakat lain atas identitas tempat yaitu laut, pulau dan kepualauan yang merupakan unsur pengikat yang penting yang membedakan satuan sosial  yang lain, berbicara tentang masyarakat kepulauan maka laut, pulau atau kepulauan sebagai lingkungan fisik dari masayarakat harus diletakan sebagai bagian yang turut mempengaruhi perkembangan kebudayaan masyarakat kepulauan, setiap pulau memberikan karakter tersendiri pada manusia atau masyarakat yang mendiaminya, makin kecil satu pulau makin kuat keterikatan antar individu dan antar masyarakat yang mendiami pulau tersebut dan makin tinggi tingkat keterhubungan dan ketergantungan mereka dengan laut, sebaliknya semakin besar satu pulau ketrikatan antar individu dan antar masyarakat pulau makin longgar dan ketergantungan pada darat dan laut berimbang atau hanya pada satu wilayah saja.
Alam atau dunia masyarakat kepulauan dilihat sebagai satu perpaduan antara dua unsur utama pemberi kehidupan yaitu unsur laki-laki dan perempuan, yaitu: secara vertikal antara langit yang laki-laki dan tanah atau pulau yang perempuan dan secara horisontal antara laut yang laki-laki dan pulau yang perempuan. Pada poros tengah tempat pertemuan antara elemen laki-laki dan perempuan baik vertikal maupun horisontal berkedudukan negeri atau desa dan masyarakat yang merupakan anak-anak dari apa yang dinamakan Upu Lanite (Tuan Langit) dan Ina Ume (Ibu Tanah) di satu pihak dan laut yang laki-laki dan pulau yang perempuan di pihak yang lain. Keharmonisan kosmos terjaga apabila berbagai elemen pembentuk berada dalam satu keseimbangan dan hubungan yang harmonis (pengertian harmonis tidak saling merusak karena satu dengan yang lain saling tergantung). Keberadaan Negeri atau Desa dan masyarakat karena ada pulau dan laut, “karena ada langit dan tanah” tanpa itu Negeri dan masyarakatnya tidak ada begitu sebaliknya langit dan pulau “laut dan pulau tidak berarti tanpa Negeri dan manusia (masyarakat)” .
Masyarakat kepulauan cenderung memperlihatkan adanya tipologi-tipologi sosial yang berbeda-beda karena masing-masing memiliki tatanan-tatanan kehidupan sosial budaya yang berbeda-beda. Misalnya, masyarakat kepulauan di pulau-pulau besar cenderung homogen dengan narasi-narasi sosial budayanya. Mereka umumnya memiliki pusat penyebaran (radiasi) kemanusiannya yang tunggal dan sama (homogen). Kenyataan mana berbeda dengan masyarakat kepulauan di pulau-pulau kecil dengan narasi-narasi sosial budaya  serta pusat penyebaran (radiasi) kemanusiaannya yang cenderung bersifat majemuk (heterogen), partikular dan spesifik (A.Watloly, 311:2013).
Kepulauan Maluku adalah sekelompok pulau di Indonesia yang merupakan bagian dari Nusantara. Kepulauan Maluku terletak dilempeng Australia. Ia berbatasan dengan Pulau Sulawesi di sebelah barat, Nugini di timur, dan Timor Leste di sebelah selatan, Palau di timur laut. Pada zaman dahulu, bangsa Eropa menamakannya “Kepulauan rempah-rempah” istilah ini juga merujuk kepada Kepulauan Zanzibar. Sejak 1950 – 1999, Kepulauan Maluku Utara secara administratif merupakan bagian dari Provinsi Maluku. Kabupaten Maluku Utarakemudian ditetapkan sebagai Provinsi Maluku Utara. Secara geografis batas-batas antara Maluku Utara dan Provinsi Maluku di bagian Bagian Utara, barat papua provinsi di timur, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah di Barat, dan The Republik Demokratik Timor-Leste dan Australia di Selatan. Sementara secara total 581 daerah 376 km2 yang terdiri dari 527 191 km2 wilayah laut laut, dan 54 185 km2 wilayah laut, atau dengan kata lain sekitar 90% Provinsi Maluku merupakan daerah laut. Sebagai Provinsi Kepulauan, Maluku memiliki 559 pulau yang memiliki pulau-pulau yang relatif besar beberapa, antara lain: pulau Seram (18 625 km2), Pulau Buru (9000 km2) Yamdena (5085 km2) dan Pulau Wetar (3624 km2). Dengan kondisi dominan perairan daerah, Provinsi Maluku sangat terbuka untuk berinteraksi dengan yang lain Provinsi dan negara-negara sekitarnya[5].

B.     Pembahasan
a.      Deskripsi
System social adalah suatu pola interaksi social yang terdiri dari komponen-komponen social yang teratur dan melembaga (institutionalized). Adapun sistem social budaya menurut Talcot Parson dalam Teori Fungsionalisme structuralnya adalah sebagai berikut :
1.      Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistim dari pada bagian-bagian yang saling berhubungan satu dengan yang lain;
2.      Hubungan pengaruh mempengaruhi diantara bagian-bagian tersebut adalah bersifat ganda dan timbal balik (resiprositas); sekalipun integrasi social tidak terjadi secara sempurna, namun secara fundamental sistem social selalu cenderung bergerak kearah equilibrium yang bersifat dinamis.
3.      Perubahan-perubahan yang terjadi didalam system hanya akan mencapai derajat yang minimal, sekalipun terjadi disfungsi, ketegangan-ketegangan dan penyimpangan-penyimpangan senantiasa terjadi juga, akan tetapi dalam jangka panjang keadaan tersebut pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya melalui penyesuaian-penyesuaian dan proses institusionalisasi;
4.      Perubahan-perubahan di dalam system social pada numumnya terjadi secara gradual melalui penyesuaian dan tidak secara revolusioner.
5.      Perubahan-perubahan secara drastis hanya terjadi pada bentuk luarnya saja, akan tetapi unsur-unsur sosial yang menjadi bangunan dasarnya tidak seberapa mengalami perubahan;
6.      Pada dasarnya perubahan social timbul atau terjadi karena; penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan oleh system social tersebut terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar; pertumbuhan melalui differensiasi structural dan fungsional ; dan penemuan- penemuan baru oleh anggota masyarakat.
7.      Faktor paling penting yang memiliki daya mengintegrasikan sistim social adalah consensus diantara anggota massyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan tertentu. Jadi sistem nilai meruapakan sumber berkembangnya integrasi social.
8.      Menurut Talcot Parson bahwa kehidupan social itu harus dipandang sebagai sebuah system, dalam artian bahwa kehidupan tersebut harus dilihat sebagai suatu keseluruhan atau totalitas dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berhubungan satu sama lain, saling tergantung dan berada dalam suatu kesatuan[6].
Adapun karateristik dari system social memperlihatkan bahwa adanya unsur-unsur atau komponen-komponen system itu saling berhubungan satu sama lain dan saling bergantung, dapat ditemukan dalam setiap kehidupan bermasyarakat dimana peran-peran social sebagai komponen sistim social itu saling berhubungan dan saling tergantung. Karakteristik dari sistem social cenderung selalu mempertahankan ekuilibrium (keseimbangan), dalam artian bahwa bila dalam sebuah sistim social terjadi penyimpangan atau ketidak teraturan dari norma, maka sistim akan berusaha menyesuaikan diri dan mencoba untuk kembali kepada keadaan semula[7].
Dalam kehidupan masyarakat; masyarakat yang dinamis selalu mengalami perubahan, dan perubahan social memperlihatkan transformasi budaya dan pergeseran institusi sosial terus menerus tanpa henti. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan persentuhan nilai baru dalam kehidupan masyarakat, maka akan sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat, maka akan sangat berpengaruh pada perubahan masyarakat tersebut.
Hal ini sebagaimana dikonstatir oleh Peter Berger dalam mengungkapkan empat karakteristik modernisasi (perubahan social), bahwa:
1.      Modernisasi telah merusak ikatan solidaritas yang melekat pada kehidupan masyarakat tradisional. Kebersamaan dan kehidupan bersamas, sepenanggungan telah mengalami kehancuran. Nilai-nilai primordial yang membangun masyarakat telah bergeser kearah masyarakat yang berkarakter individual. Solidaritas mekanik seperti yang dikemukakan oleh Durkheim telah bergeser ke solidaritas organic, hubungan-hubungan impersonal berubah menjadi hubungan personal.
2.      Terjadi ekpansi pilihan personal (personal choice), modernisasi telah merubah masyarakat tradisional yang pada mulanya dibingkai oleh kekuatan diluar control manusia kini diwarnai menjadi pilihan individual. Misalnya ditandai dengan selera masing-masing individu untuk melakukan pilihan-pilihan.
3.      Terjadi peningkatan keragaman keyakinan, terjadi peluang adanya rekonstruksi nilai dan norma. Nilai-nilai baru terbentuk oleh berbagai hasil dari masyarakat;
4.      Terjadi orientasi ke depan dan kesadaran akan waktu, artinya modernisasi telah menggeser kehidupan masyarakat tradisional yang semula ditandai oleh orientasi kini dan disini (aposteriori) kepada orientrasi ke depan (apriori)[8].
Dari perspektif teori-teori tersebut, dapat dikatakan bahwa apabila terjadi penetrasi sistim nilai menjadi nilai baru panutan berbenturan dengan nilai lama pada masyarakat tertentu, maka akan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat tersebut. Menurut Hilmes dan More ada tiga dimensi perubahan social akibat terjadinya perubahan nilai pada suatu masyarakat; yaitu :
1.      Dimensi Struktural;
Dimensi Struktural yaitu sistim nilai berpengaruh pada perubahan dalam sturuktur masyarakat, seperti perubahan peranan, munculnya peranan baru, perubahan strata dan peranan, munculnya peranan baru, perubahan strata dan lembaga social. Jelasnya dimensi-dimensi berpengaruh pada terjadinya perubahan tersebut adalah seperti; bertambah atau berkurangnya kadar peranan, berpengaruh pada perubahan aspek prilaku dan kekuasaan, berpengaruh pada perubahan peningkatan dan penurunan sejumlah peranan atau pengkategorian peranan, terjadinya pergeseran dari wadah peranan, terjadinya modifikasi saluran komunikasi diantara peranan-peranan, terjadinya perubahan dari sejumlah tipe dan daya fungsi sebagai akibat dari struktur. Dalam dimensi structural ini, pengaruh sistim nilai baru, sangat mempengaruhi bagi perubahan-perubahan atau pergeseran status dan peranan individu-individu masyarakat pada lembaga-lembaga, institusi; seperti terjadinya perampingan struktur pemerintahan pada lembaga pemerintah daerah. Pada situasi seperti itu akan terjadi konflik kopentingan. Dari perspektif teori konflik, Dahrendorf menyatakan bahwa masyarakat mempunyai dua wajah, yaitu konflik (berkaitan dengan kepentingan) dan consensus (berkaitan dengan nilai integrasi)[9].
Dengan demikian ada dua kelompok yang berkonflik menyangkut kepentingan; yaitu kelompok superordinat yang berusaha mempertahankan status-quo, dan kelompok sub-ordinat yang berusaha mengadakan perubahan. Namun sebagaimana konsep equilibrium Talcot Parson, maka konfllik tersebut akan berujung pada consensus untuk menerima perubahan-perubahan nilai tersebut.
2.      Dimensi Cultural Dimensi Cultural yaitu sistem nilai berpengaruh kepada kebudayaan di dalam masyarakat, seperti: adanya penemuan (discovery) dalam berpikir, penemuan dan pembaharuan hasil teknologi (invention), kontak dengan kebudayaan lain yang mengakibatkan terjadinya difusi dan peminjaman kebudayaan (budaya lama diganti dengan budaya baru). Dengan demikian pengaruh perubahan pada kebudayaan meliputi:
(a)    Inovasi budaya; penemuan, peniruan atau peminjaman alat-alat;
(b)   Difusi; penyebaran alat-alat dari suatu tempat ke tempat lain;
a.       Integrasi; duplikasi, cara hidup yang lama dan baru dalam variable pola-pola.
3.      Dimensi Interaksional; yaitu perubahan pada frekwensi hubungan sosial dan perubahan arah yang bertentangan; seperti perubahan jumlah kebiasaan interaksi para petani di ladang menjadi berkurang disebabkan terjadinya pergantian alat pemotong padi (ani2) di ladang ke alat mesin, yang juga sekaligus mengurangi jumlah pekerja di ladang.

b.      Struktur Sosial Masyarakat Maluku
Dalam kehidupan Orang Maluku sejak zaman dahulu sampa saat ini masih teridentifikasi berbagai struktur sosial. Keragaman struktur sosial dapat dikemukakan sebagai berikut (dalam Pelupessy, 2013:73) ;
1.      Rumautau atau Lumatau (mata rumah)
Rumautau atau Luamatau adalah kesatuan kelompok genealogis yang lebih besar sesudah keluarga (dalam Effendi, 1987:25). Rumautau atau Luamatau terdiri atas beberapa keluarga dengan kepala keluarganya masing-masing, dan merupakan struktur dasar bagi pembentukan struktur sosial di kalangan masayarakat Ambon dan Lease (Saparua, Haruku dan Nusalaut), karena setiap orang mesti berada dalam salah satu Rumautau. Orang yang tergabung dalam Rumautau adalah orang asal, yang lawannya adalah orang dagang atau bukan orang asli yang berasal dari salah satu Rumautau.
Dikemukakan lebih lanjut oleh Effendi (1987:26) bahwa setiap orang senantiasa tergabung dalam salah satu Rumautau. Untuk mengatur suatu Rumautau, baik dalam hubungan ke dalam Rumautau, maupun terhadap pihak luar seperti Ruma-tau lain, maka diangkatlah salah seorang dari anggota Rumautau yang bersangkutan menjadi pemimpin dengan gelar “upu”. Biasanya dipilih yang tertua atau yang dituakan di antara anggota Rumautau itu. Senioritas generasi seseorang memegang peranan penting untuk diangkat menjadi upu. Ini dimaksudkan supaya diperoleh seorang pemimpin yang berwibawa.
2.      Uku
Dalam Effendi  (1987 : 28) bahwa uku atau Huku itu merupakan suatu persekutuan genealogis. Dalam perkembangannya, uku sebagai persekutuan genealogis berganti dengan persekutuan teritorial atau teritorial genealogis. Namun yang terjadi kemudian yaitu uku tersebut hanya tinggal nama saja. Riedel menyamakan uku ini dengan soa (dalam Pelupessy, 2013:74).
3.      Soa
Persekutuan dalam soa lebih luas. Suatu soa biasanya terdiri dari mata rumah atau rumatau (lumatau). Artinya di dalam satu soa terdapat marga-marga atau fam (family) yang berbeda-beda. Effendi (1987:29) mengemukakan bahwa soa adalah sesuatu persekutuan teritorial genealogis. Di dalam administrasi pemerintahan, sekarang ini soa merupakan suatu wilayah yang menjadi bagian dari suatu petuanan atau negeri.
Dalam suatau soa terdapat satu rumatau asli, tetapi dapat dijumpai juga bahwa dalam satu soa terdapat beberapa rumatau, maupun marga-marga pendatang. Pada umunya pemimpin yang terdapat dalam satu soa berasal dari rumatau asli yang dinamakan “Kepala Soa”, dan memiliki fungsi dan peran untuk mengkoordinir seluruh anggota yang terdapat dalam soa tersebut (dalam Pelupessy, 2013:75).
4.      Hena dan Aman
Hena dan Aman merupakan persekutuan hidup yang lebih besar dari soa. Artinya gabungan dari beberapa soa kemudian terbentuknya Hena atau Aman. Menurut G A Wilken dan Van Ossenbruggen dalam Effendi (1987:30) menuliskan Hena dengan “hena” yang bentuknya sama dengan yang di pulau Buru “Fenna”. Henna atau Fenna berarti daerah atau wilayah (landstreek) atau daerah suatu suku (stamgebied). Jadi Hena adalah suatu kesatuan masyarakat yang berunsurkan teritorial (dalam Pelupessy, 2013:75).
5.      Negeri
Negeri merupakan penamaan yang saat ini umumnya digunakan oleh orang Maluku untuk mengidentifikasi temapat asal-usul, tanah kelahiran, tampa putus pusa, dan lainnya yang identik dengan itu pada seseorang. Menurut Effendi (1987:31) istilah negeri bukan berasal dari bahasa asli daerah ini atau bahasa tanah. Suatu negeri adalah persekutuan teritorial yang terdiri atas beberapa soa yang pada umumnya berjumlah paling sedikit tiga. Kepala Negeri yang disebut Pemerentah dan sehari-hari dipanggil “Raja”. Dalam Ordonansi S. 1824-19a disebut regent.
6.      Uli dan Pata
Mengenai pengertian Uli itu sendiri menurut Effendi (1987:31) adalah suatu persekutuan yang terbentuk atau tersusun atas beberapa Hena atau Aman. Uli adalah lembaga masyarakat yang khusus terdapat di Ambon Lease. Dalam Effendi (1987:32) walaupun Uli dan Pata terdapat kesamaan, namun ada perbedaannya yaitu Uli lebih cenderung bersifat genealogis, sedangkan Pata  lebih cenderung kepada pengertian teritorial. Sistem pengkelompokan sosial tersebut dapat dijumpai pada orang-orang yang mendiami negeri-negeri (adat) di Ambon Lease yang menampakan ciri sebagai Ulisiwa maupun Ulilima. Ada juga yang menyebut Pata Siwa dan Pata Lima yang memiliki ciri khas berbeda pada bentuk kedudukan negeri, rumah adat (baileu), perahu, lilitan rotan pada parang (golok) dan sebagainya (dalam Pelupessy, 2013:78).

c.       Sejarah  Negeri Morella
Asal mula Negeri Morella adalah penggabungan dari beberapa Hena atau Aman atau Negeri Lama yakni Negeri Lama Kapahaha, Negeri Iyaluli, Negeri Lama Puttulesy dan Negeri Lama Ninggareta. Ke empat Hena atau Aman inilah yang membentuk suatu Hena atau Aman atau Negeri Hausihu Morella.
Menurut penuturan dari Tua-tua adat setempat, Negeri-negeri Lama tersebut berasal dari Ulapokol. Ulapokol merupakan pusat negeri pertama sejak Morella karena di percayai sebagai tempat hunian Roh-roh Gaib (Rijalal Gaib).
Ulapokol terletak di pegunungan Salahutu mula-mula yang hidup di tempat tersebut adalah Ukalatu Tapil beliau berasal dari Timur Tengah, Ukalatu datang di tempat tersebut dengan membawa sesekor Burung Manulatu (Burung Raja).
Dikishkan juga setelah Ukalatu Tapil berada di Ualpokol muncul tiga orang yang masing-masing mengkalim dirinya sebagai pendahulu atau penemu daerah baru tersebut di tengah perdebatan sengit itu tiba-tiba mereka mendengar kicauan burung Manulatu tersebut. Akhirnya mereka menyadari ternyata daerah itu telah berpenghuni dan mereka bertiga-pun bersepakat untuk menemukan pemilik Manulatu tersebut, ketiga orang tersebut adalah Tuhe, Meten, dan Tliti. Orang tersebut di temukan saat Ia sedang duduk bersemedi (Bersembahyang) di Ulapokol.
Di hadapan orang tersebut kemudia mereka berikrar Upu atau Ame, yang bermakna tuanku pelindung atau junujungan kami, beliaulah Ukalatu Tapil Meten dan Hiti dan dukukuhkanlah beliau sebagai Hulubalang atau Pegawai Ukalatu Tapil. Selanjutnya Ukalatu Tapil kemudian meletakan Tiga buah batu di Gunung Salahutu sebagai Hatu Manuai Telu atau batu tiga tuan tanah karena di sinilah tempat pertemuan Tuhe, Meten, dan Tliti.
Dalam perkembangannya Tuhe, Meten, dan Tliti meminang seseorang Putri yang bernama Hatuatina yang berasal dari Nusa Ina (Pulau Seram) tepatnya di pusat tiga aliran sungai Ety , Talla dan Sapalewa di Nunusaku Salahula untuk menjadi isteri Ukalatu Tapil. Selanjutnya Ukalatu Tapil kemudian dari pernikahan tersebut¸ Ukalatu Tapil dan Isterinya memperoleh 7 (tujuh) orang anak laki-laki dan 1 (satu) orang anak perempuan dan dari ke 7 (tujuh) orang anak laki-laki tersebut hanya anak yang bernama Tuharela /Umarella yang menjalani hidup sebagai Sufisme Tulen (gaib) kemudian Tuharea beristrikan seorang perempuan yang bernama Alungnusa dari Pulau Seram dan dari perkawinan inilah melahirkan/beranak pinak sebagian besar warga Morella sekarang.
Melalui proses perkawinan maka semakin banyak manusia di tempat itu (Ulapokol) dan karena keadaan alam, mereka-pun mengadakan perpindahan ke beberapa tempat di daerah pegunungan yaitu Amaela (Gunung Kukusan) kemudian berpindah lagi ke Kapahaha dan sebagian ke Iyaluli, Ninggareta dan Putulessy. Walaupun ke empat negeri ini terpisah dengan yang lain namun kehidupan mereka bersatu dalam sistem khidupan sosial kemasyarakatan di mana pusat pemerintahan adatnya berada di Kapaha yang saat itu pimpinan adat tertinggi di pegang oleh Tuhe, Meten, dan Hiti (Salamoni) sementara pelaksanaan keagamannya di pustakan di Iyaluii.
Pada abad ke 6 (enam) ketika bangsa penjajah becokol di Maluku ke 4 (empat) negeri lama ini bersatu untuk mempertahankan wilayahnya masing-masing dari serangan kaum penjajah. Kapahaha kemudian dijadikan sebagai pusat pertahanan untuk melawan kaum penjajah.
Hal ini dikarenakan letaknya yang sangat strategis dengan Kapitan Telukabessy, (Ahmat Leikawa) sebagai panglima perang. Pada saai itu benteng pertahanan di Maluku sudah ditaklukan oleh Belanda sehingga para Kapitan dan Malesi dari daerah-daerah lain bergabung di Benteng Kapahaha seperti dari kerjaan Ternate, Goa, Tuban, Alaka, Huamual, Iha, Buru, Nusalaut, Banda dan lain-lain. Mereka melakukan perlawanan terhadap kaum Kompeni yang berlangsung dari tahun 1637 sampai dengan tahun 1646.
Pada tahun 1646 Kapahaha berhasil di taklukkan oleh kaum penjajah Belanda maka semua rakyat Kapahaha para Kapitan dan Malesi serta seluruh personil bantuan tersebut di turunkan dari Benteng Kapahaha dan ditawan di Teluk Pantai Sawaletu (Telepuan).
Setelah adanya pengumuman pembebasan tawanan Kapahaha oleh Gubernur Van Deiner, maka mereka mengadakan acara perpisahan itu dengan lagu-lagu dan tarian adat serta sekelompok Pemuda Kapahaha mengadakan atrakasi Pukul Sapu Lidi yang bertepatan pada tanggal 27 Oktober 1646.

d.      Struktur Pemerintahan Negeri Morella
Negeri Morella terbagi dalam 3 soa,  masing-masing terdiri dari beberapa rumah tau dan dipimpin  oleh seorang  kepala soa. Pembagian mata rumah tau untuk setiap soa berdasarkan negeri lama asal. Negeri lama asal tersebut antara lain: Negeri Lama Kapahaha, Negeri Lama Iyal Uli, Negeri Lama Ninggareta dan Negeri Lama Putulesi. Uraian ketiga soa tersebut antara lain:
1.      Soa Kapahaha atau biasa disebut Soa Tomasiwa terdiri atas Enam Marga dengan kepala soa disebut Ela Helu dari Marga Sasole, yaitu:
1)      Sasole
2)      Sialana
3)      Leikawa
4)      Manilet
5)      Ameth
6)      Mony
2.      Soa Ninggareta Putulesi atau biasa disebut Soa Pisi Hatu terdiri atas Tiga Marga dengan kepala soa disebut Ela Henahuhui dari marga Latukau, Yaitu :
1)      Latukau
2)      Ulath
3)      Thenu
3.      Soa Iyal Uli  atau biasa disebut Soa Hatalesy terdiri atas Lima Marga Dengan kepala soa disebut Ela Hatumena dari Marga Tawainlatu, yaitu :
1)      Tawainlatu
2)      Latulanit
3)      Wakang
4)      Lauselang
5)      Pical
Pemerintahan Negeri Hausihu Morella terdiri dari beberapa perangkat yaitu :
1.      Badan Saniri Raja, dengan keanggotaan : Raja dan Kepala Soa Akte (Soa Tomasiwa, Soa Pisihatu, dan Soa Hatalesy). Badan saniri ini bertugas sebagai badan Eksekutif. Ditambah dengan Juru Tulis dan Marinyo.
2.      Badan Saniri Adat, dengan keanggotaan : Tiga Tuan Tanah Uka Tuhe, Uka Meten, dan Uka Hiti dari Luma Tau Sasole; Lembaga Adat Manu Saliwangi yang terdiri dari Salamoni (Sasole), Roto dan Umar (Sialana), Sekapuan (Latukau), Telapuan (Sasole), Tuni dan Tuhepopu (Latukau), Hatumena dan Tumban (Tawainlatu), Tenu Peha Pelu (Leikawa dan Thenu), Mahu Manu; Mahina Soa Tau Lua (Soa Malua) yaitu Dewan Wanita Adat Turunan dari Luma Tau Sasole dan Sialana. Mereka semua dikenal dengan sebutan “Tamulu Kau” (orang-orang yang berikat kepala merah). Mereka mempunyai tugas melantik raja secara adat dan memimpin upacara-upaca adat sekaligus Penasehat Raja. Badan Saniri ini memegang kekuasaan Legislatif.
3.      Badan Saniri Mesjid dengan pimpinan Uka Pesy (Wakang) dan Uka Hosong (Latukau). Uka Pesy membawahi empat Luma Tau Guru yaitu Luma Guru Lauselang (Uka Selang), Luma Guru Mony (Uka Anggodo Mony), Luma Guru Manilet (Uka Manilet), Luma Guru Ulath (Uka Maaling), dan Kasisi Mesjid yang terdiri dari Imam, Khatib dan Modin, yang diangkat dari Empat Luma Tau Guru tersebut di Bantu oleh dua orang penjaga dan pemegang kunci masjid dari Marga Thenu dan Malawat, mereka dikenal dengan sebutan ”Tamulu Putih”(orang-orang yang berikat kepala putih). Badan Saniri ini, selain bertugas dalam aktifitas di Masjid, juga bertugas membantu Raja dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan Syariat Islam.
Badan Saniri Besar keanggotaannya adalah : Badan Saniri Raja, Badan Saniri Adat, Badan Saniri Adat Masjid, Kepala-Kepala Keluarga dan Semua Orang Laki-laki Dewasa.   



DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Ziwar. 1987. Hukum Adat Ambon-Lease, Cetakan Pertama, Jakarta : Pradnya Paramita.
Narwoko, J.Dewi dan Suyanto, Bagong. 2004. Sosiologi Teks Pengantar Dan Terapan, Jakarta : PrenadaMedia
Paul Johnson, Doyle. 1994 . Teori Sosiologi Klasik Dan Modern, Jakarta  : Gramedia
Pelupessy, Pieter Jacob. 2013. Esuriun Orang Bati. Cetakan Pertama, Bogor : Kekal Press
Ritzer, George, dan Goodman, Douglas J. 2005 .Teori Sosiologi Modern, Jakarta : Prenada Media
Watloly, Aholiab. 2013. Cermin eksistensi Masyarakat Kepulauan Dalam Perkembangan Bangasa. Perspektif Indigenous Orang Maluku, Jakarta : PT Intimedia Cipta Nusantara



[1] http://sosiatristudyclub.blogspot.co.id/2013/11/pengertian-sistem-sosial-budaya.html
[2] http://sistempemerintahan-indonesia.blogspot.co.id/2013/06/sistem-sosial-budaya-indonesia.html
[3] http://rivalhariyadi.blogspot.co.id/2013/01/sistem-sosial-budaya-indonesia.html
[4] http://www.bakosurtanal.go.id/berita-surta/show/indonesia-memiliki-13-466-pulau-yang-terdaftar-dan-berkoordinat
[5] https://norhayati099.wordpress.com/2015/06/08/geografi-regional-provinsi-maluku/
[6] George Ritzer, dan Douglas J Goodman, Teori Sosiologi Modern, PT. Prenada Media, Jakarta, 2005, halaman 123
[7] David Berry , Pokok-pokok Pikiran Dalam Sosiologi, Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta, Tahun 2003, halaman 15-17
[8] J.W. Ajawaila; Ringkasan Kuliah Sosiologi Kepulauan (Konflik dan Perubahan Sosial, 2006)
[9] George Ritzer, dan Douglas J,Goodman, Op Cit, Halaman 153 Bagian I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar