A. Pendahuluan
Sistem sosial dan sistem budaya tidak bisa
dipisahkan jika membicarakan sistem suatu masyarakat. Sistem sosial budaya
merupakan suatu keseluruhan dari unsur-unsur tata nilai, tata sosial, dan tata
laku manusia yang saling berkaitan dan masing unsur bekerja secara mandiri
serta bersama-sama satu sama lain saling mendukung untuk mencapai tujuan hidup
manusia dalam masyarakat[1].
Edward B. Tylor berpendapat bahwa kebudayaan adalah
keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya termuat kepercayaan, pengetahuan, kesenian, moral,
adat istiadat, hukum, dan kemampuan-kemampuan lain yang diperoleh seseorang
sebagai bagian dari masyarakat[2].
Sistem sosial budaya merupakan konsep untuk menelaah
asumsi-asumsi dasar dalam kehidupan masyarakat. Pemberian makna konsep sistem
sosial budaya dianggap penting karena tidak hanya untuk menjelaskan apa yang
dimaksud dengan sistem social budaya itu sendiri tetapi memberikan eksplanasi
deskripsinhya melalui kenyataan di dalam kehidupan masyarakat[3].
Suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai
pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem-sistem tata kelakuan manusia
lain yang tingkatnya lebih konkrit, seperti aturan-aturan khusus, hukum dan
norma-norma, semuanya berpedoman pada sistem nilai budaya itu (Levine, 1968; Boulding,
1964; Koentjaraningrat, 2002).
Hakikat intergrasi pada lingkungan komunitas melalui
cara membangun solidaritas sosial pada tingkat inidividu maupun kelompok untuk
menjalani kehidupan bersama. Fenomena terintergrasinya berbagai kelompok yang
berbeda melalui teori Vervei dn Jonker (1973:10f) bahwa tingkat intergrasi yang
dicapai yaitu dimulai dari intergrasi individual yang berarti sejauh mana
anggota-anggota individu dari kelompok minoritas ikut ambil bagian dalam
masyarakat penerima, dan intergrasi kolektif yaitu sejauh anggota-anggota
individu masih memperlihatkan patisipasi mereka dalam kelompok etnisnya. Teori
tersebut menunjukkan bahwa proses intergrasi yang dicapai karena lahir dari
pemahaman bersama di antara individu maupun kelompok, maupun komunitas sebagai
orang satu asal.
Dalam studi tentang intergrasi pada lingkungannya
masyarakat yang berbeda latar belakang socio-cultural
(Usman, 1996), Geertz menyebut masyarakat yang dapat terintergrasi di atas
kesepatan sebagian besar anggotanya terhadap nilai-nilai sosial tertentu yang
bersifat fundamental. Intergrasi semacam itu lebih sering tercipta dalam
kehidupan masyarakat yang tergolong majemuk atau lazim disebut poly-communal, yakni suatu masyarakat
yang ditandai oleh segmentasi berbagai macam kelompok sosial dengan sub
kebudayaan sendiri yang unik.
Komunitas masyarakat Indonesia adalah komunitas
masyarakat kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil yang
terhubung oleh berbagai selat dan laut.
Saat ini pulau yang terdaftar dan berkoordinat berjumlah 13.466 pulau. Informasi
tersebut ini dikatakan Kepala Badan Informasi Geospasial Asep Karsidi kepada
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu, saat serah terima
perangkat pendukung infrastruktur informasi geospasial di Gedung Sapta Pesona
Kemenparekraf Jakarta, pada 7 Mei 2014. Banyak masyarakat
berpendapat bahwa Indonesia memiliki pulau lebih yang disebutkan di atas, yaitu
lebih 17.000 lebih. Namun Asep Karsidi mengatakan bahwa jumlah 17.000 itu mungkin benar, karena masyarakat
menganggap bahwa “gosong”, daratan yang hanya ada pada saat laut surut juga
dianggap pulau oleh masyarakat. Selain “gosong” pulau tidak bernama pun juga
masuk dalam hitungan masyarakat, hal itu juga yang membuat masyarakat
berpendapat Indonesia mempunyai pulau lebih 17.000[4].
Manusia kepulauan adalah aku sesama dan pulau yang
tidak dapat dipisahkan, sedangkan masayarakat kepulauan adalah suatu kesatuan
hidup (sekumpulan) manusia yang menempati satu wilayah kepulauan dan yang
saling berinteraksi. Masyarakat kepulauan terdiri dari,
Individu/person/otonom/bebas, sosial/masyarakat/interaksi,
dunia/kepulauan/pulau dan laut.
Masyarakat pulau (island society) adalah sebuah
kategori sosial yang hidup dalam suatu daratan pulau atau benua yang tunggal.
Masyarakat pulau menggambarkan adanya sebuah sosialitas daratan yang tungggal,
sebuah daratan luas yang terpisah dari lautan, dimana kehidupan masyarakatnya
hanya berfokus di darat, dengan ciri bahasa, budaya dan sejarah yang cenderung
homogen (A.Watloly, 5:2013).
Masyarakat kepulauan dibedakan dari masyarakat lain
atas identitas tempat yaitu laut, pulau dan kepualauan yang merupakan unsur
pengikat yang penting yang membedakan satuan sosial yang lain, berbicara tentang masyarakat
kepulauan maka laut, pulau atau kepulauan sebagai lingkungan fisik dari
masayarakat harus diletakan sebagai bagian yang turut mempengaruhi perkembangan
kebudayaan masyarakat kepulauan, setiap pulau memberikan karakter tersendiri
pada manusia atau masyarakat yang mendiaminya, makin kecil satu pulau makin
kuat keterikatan antar individu dan antar masyarakat yang mendiami pulau
tersebut dan makin tinggi tingkat keterhubungan dan ketergantungan mereka
dengan laut, sebaliknya semakin besar satu pulau ketrikatan antar individu dan
antar masyarakat pulau makin longgar dan ketergantungan pada darat dan laut
berimbang atau hanya pada satu wilayah saja.
Alam atau dunia masyarakat kepulauan dilihat sebagai
satu perpaduan antara dua unsur utama pemberi kehidupan yaitu unsur laki-laki
dan perempuan, yaitu: secara vertikal antara langit yang laki-laki dan tanah
atau pulau yang perempuan dan secara horisontal antara laut yang laki-laki dan
pulau yang perempuan. Pada poros tengah tempat pertemuan antara elemen
laki-laki dan perempuan baik vertikal maupun horisontal berkedudukan negeri atau
desa dan masyarakat yang merupakan anak-anak dari apa yang dinamakan Upu Lanite
(Tuan Langit) dan Ina Ume (Ibu Tanah) di satu pihak dan laut yang laki-laki dan
pulau yang perempuan di pihak yang lain. Keharmonisan kosmos terjaga apabila
berbagai elemen pembentuk berada dalam satu keseimbangan dan hubungan yang
harmonis (pengertian harmonis tidak saling merusak karena satu dengan yang lain
saling tergantung). Keberadaan Negeri atau Desa dan masyarakat karena ada pulau
dan laut, “karena ada langit dan tanah” tanpa itu Negeri dan masyarakatnya
tidak ada begitu sebaliknya langit dan pulau “laut dan pulau tidak berarti
tanpa Negeri dan manusia (masyarakat)” .
Masyarakat kepulauan cenderung memperlihatkan adanya
tipologi-tipologi sosial yang berbeda-beda karena masing-masing memiliki
tatanan-tatanan kehidupan sosial budaya yang berbeda-beda. Misalnya, masyarakat
kepulauan di pulau-pulau besar cenderung homogen dengan narasi-narasi sosial
budayanya. Mereka umumnya memiliki pusat penyebaran (radiasi) kemanusiannya
yang tunggal dan sama (homogen). Kenyataan mana berbeda dengan masyarakat
kepulauan di pulau-pulau kecil dengan narasi-narasi sosial budaya serta pusat penyebaran (radiasi)
kemanusiaannya yang cenderung bersifat majemuk (heterogen), partikular dan spesifik
(A.Watloly, 311:2013).
Kepulauan Maluku adalah sekelompok pulau di
Indonesia yang merupakan bagian dari Nusantara. Kepulauan Maluku terletak
dilempeng Australia. Ia berbatasan dengan Pulau Sulawesi di sebelah barat,
Nugini di timur, dan Timor Leste di sebelah selatan, Palau di timur laut. Pada
zaman dahulu, bangsa Eropa menamakannya “Kepulauan rempah-rempah” istilah ini
juga merujuk kepada Kepulauan Zanzibar. Sejak 1950 – 1999, Kepulauan Maluku
Utara secara administratif merupakan bagian dari Provinsi Maluku. Kabupaten
Maluku Utarakemudian ditetapkan sebagai Provinsi Maluku Utara. Secara geografis
batas-batas antara Maluku Utara dan Provinsi Maluku di bagian Bagian Utara,
barat papua provinsi di timur, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah di Barat,
dan The Republik Demokratik Timor-Leste dan Australia di Selatan. Sementara
secara total 581 daerah 376 km2 yang terdiri dari 527 191 km2 wilayah laut
laut, dan 54 185 km2 wilayah laut, atau dengan kata lain sekitar 90% Provinsi
Maluku merupakan daerah laut. Sebagai Provinsi Kepulauan, Maluku memiliki 559
pulau yang memiliki pulau-pulau yang relatif besar beberapa, antara lain: pulau
Seram (18 625 km2), Pulau Buru (9000 km2) Yamdena (5085 km2) dan Pulau Wetar
(3624 km2). Dengan kondisi dominan perairan daerah, Provinsi Maluku sangat
terbuka untuk berinteraksi dengan yang lain Provinsi dan negara-negara
sekitarnya[5].
B. Pembahasan
a.
Deskripsi
System social adalah suatu pola interaksi social
yang terdiri dari komponen-komponen social yang teratur dan melembaga
(institutionalized). Adapun sistem social budaya menurut Talcot Parson dalam Teori
Fungsionalisme structuralnya adalah sebagai berikut :
1.
Masyarakat haruslah dilihat sebagai
suatu sistim dari pada bagian-bagian yang saling berhubungan satu dengan yang
lain;
2.
Hubungan pengaruh mempengaruhi diantara
bagian-bagian tersebut adalah bersifat ganda dan timbal balik (resiprositas);
sekalipun integrasi social tidak terjadi secara sempurna, namun secara
fundamental sistem social selalu cenderung bergerak kearah equilibrium yang
bersifat dinamis.
3.
Perubahan-perubahan yang terjadi didalam
system hanya akan mencapai derajat yang minimal, sekalipun terjadi disfungsi,
ketegangan-ketegangan dan penyimpangan-penyimpangan senantiasa terjadi juga,
akan tetapi dalam jangka panjang keadaan tersebut pada akhirnya akan teratasi
dengan sendirinya melalui penyesuaian-penyesuaian dan proses institusionalisasi;
4.
Perubahan-perubahan di dalam system
social pada numumnya terjadi secara gradual melalui penyesuaian dan tidak
secara revolusioner.
5.
Perubahan-perubahan secara drastis hanya
terjadi pada bentuk luarnya saja, akan tetapi unsur-unsur sosial yang menjadi
bangunan dasarnya tidak seberapa mengalami perubahan;
6.
Pada dasarnya perubahan social timbul
atau terjadi karena; penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan oleh system social
tersebut terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar; pertumbuhan melalui
differensiasi structural dan fungsional ; dan penemuan- penemuan baru oleh
anggota masyarakat.
7.
Faktor paling penting yang memiliki daya
mengintegrasikan sistim social adalah consensus diantara anggota massyarakat
mengenai nilai-nilai kemasyarakatan tertentu. Jadi sistem nilai meruapakan
sumber berkembangnya integrasi social.
8.
Menurut Talcot Parson bahwa kehidupan
social itu harus dipandang sebagai sebuah system, dalam artian bahwa kehidupan
tersebut harus dilihat sebagai suatu keseluruhan atau totalitas dari
bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berhubungan satu sama lain, saling
tergantung dan berada dalam suatu kesatuan[6].
Adapun karateristik dari system social
memperlihatkan bahwa adanya unsur-unsur atau komponen-komponen system itu
saling berhubungan satu sama lain dan saling bergantung, dapat ditemukan dalam
setiap kehidupan bermasyarakat dimana peran-peran social sebagai komponen
sistim social itu saling berhubungan dan saling tergantung. Karakteristik dari
sistem social cenderung selalu mempertahankan ekuilibrium (keseimbangan), dalam
artian bahwa bila dalam sebuah sistim social terjadi penyimpangan atau ketidak
teraturan dari norma, maka sistim akan berusaha menyesuaikan diri dan mencoba
untuk kembali kepada keadaan semula[7].
Dalam kehidupan masyarakat; masyarakat yang dinamis
selalu mengalami perubahan, dan perubahan social memperlihatkan transformasi
budaya dan pergeseran institusi sosial terus menerus tanpa henti. Oleh karena
itu, dalam kaitannya dengan persentuhan nilai baru dalam kehidupan masyarakat,
maka akan sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat, maka akan sangat
berpengaruh pada perubahan masyarakat tersebut.
Hal ini sebagaimana dikonstatir oleh Peter Berger
dalam mengungkapkan empat karakteristik modernisasi (perubahan social), bahwa:
1.
Modernisasi telah merusak ikatan
solidaritas yang melekat pada kehidupan masyarakat tradisional. Kebersamaan dan
kehidupan bersamas, sepenanggungan telah mengalami kehancuran. Nilai-nilai
primordial yang membangun masyarakat telah bergeser kearah masyarakat yang
berkarakter individual. Solidaritas mekanik seperti yang dikemukakan oleh
Durkheim telah bergeser ke solidaritas organic, hubungan-hubungan impersonal
berubah menjadi hubungan personal.
2.
Terjadi ekpansi pilihan personal
(personal choice), modernisasi telah merubah masyarakat tradisional yang pada
mulanya dibingkai oleh kekuatan diluar control manusia kini diwarnai menjadi
pilihan individual. Misalnya ditandai dengan selera masing-masing individu
untuk melakukan pilihan-pilihan.
3.
Terjadi peningkatan keragaman keyakinan,
terjadi peluang adanya rekonstruksi nilai dan norma. Nilai-nilai baru terbentuk
oleh berbagai hasil dari masyarakat;
4.
Terjadi orientasi ke depan dan kesadaran
akan waktu, artinya modernisasi telah menggeser kehidupan masyarakat
tradisional yang semula ditandai oleh orientasi kini dan disini (aposteriori)
kepada orientrasi ke depan (apriori)[8].
Dari perspektif teori-teori tersebut, dapat
dikatakan bahwa apabila terjadi penetrasi sistim nilai menjadi nilai baru
panutan berbenturan dengan nilai lama pada masyarakat tertentu, maka akan
berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat tersebut. Menurut Hilmes dan More ada
tiga dimensi perubahan social akibat terjadinya perubahan nilai pada suatu
masyarakat; yaitu :
1.
Dimensi Struktural;
Dimensi Struktural yaitu sistim nilai berpengaruh
pada perubahan dalam sturuktur masyarakat, seperti perubahan peranan, munculnya
peranan baru, perubahan strata dan peranan, munculnya peranan baru, perubahan
strata dan lembaga social. Jelasnya dimensi-dimensi berpengaruh pada terjadinya
perubahan tersebut adalah seperti; bertambah atau berkurangnya kadar peranan,
berpengaruh pada perubahan aspek prilaku dan kekuasaan, berpengaruh pada
perubahan peningkatan dan penurunan sejumlah peranan atau pengkategorian
peranan, terjadinya pergeseran dari wadah peranan, terjadinya modifikasi
saluran komunikasi diantara peranan-peranan, terjadinya perubahan dari sejumlah
tipe dan daya fungsi sebagai akibat dari struktur. Dalam dimensi structural
ini, pengaruh sistim nilai baru, sangat mempengaruhi bagi perubahan-perubahan
atau pergeseran status dan peranan individu-individu masyarakat pada
lembaga-lembaga, institusi; seperti terjadinya perampingan struktur
pemerintahan pada lembaga pemerintah daerah. Pada situasi seperti itu akan
terjadi konflik kopentingan. Dari perspektif teori konflik, Dahrendorf
menyatakan bahwa masyarakat mempunyai dua wajah, yaitu konflik (berkaitan
dengan kepentingan) dan consensus (berkaitan dengan nilai integrasi)[9].
Dengan demikian ada dua kelompok yang berkonflik
menyangkut kepentingan; yaitu kelompok superordinat yang berusaha
mempertahankan status-quo, dan kelompok sub-ordinat yang berusaha mengadakan
perubahan. Namun sebagaimana konsep equilibrium Talcot Parson, maka konfllik
tersebut akan berujung pada consensus untuk menerima perubahan-perubahan nilai
tersebut.
2.
Dimensi Cultural Dimensi Cultural yaitu
sistem nilai berpengaruh kepada kebudayaan di dalam masyarakat, seperti: adanya
penemuan (discovery) dalam berpikir, penemuan dan pembaharuan hasil teknologi
(invention), kontak dengan kebudayaan lain yang mengakibatkan terjadinya difusi
dan peminjaman kebudayaan (budaya lama diganti dengan budaya baru). Dengan
demikian pengaruh perubahan pada kebudayaan meliputi:
(a)
Inovasi budaya; penemuan, peniruan atau
peminjaman alat-alat;
(b)
Difusi; penyebaran alat-alat dari suatu
tempat ke tempat lain;
a.
Integrasi; duplikasi, cara hidup yang
lama dan baru dalam variable pola-pola.
3.
Dimensi Interaksional; yaitu perubahan
pada frekwensi hubungan sosial dan perubahan arah yang bertentangan; seperti
perubahan jumlah kebiasaan interaksi para petani di ladang menjadi berkurang
disebabkan terjadinya pergantian alat pemotong padi (ani2) di ladang ke alat
mesin, yang juga sekaligus mengurangi jumlah pekerja di ladang.
b.
Struktur
Sosial Masyarakat Maluku
Dalam kehidupan Orang Maluku sejak zaman dahulu
sampa saat ini masih teridentifikasi berbagai struktur sosial. Keragaman
struktur sosial dapat dikemukakan sebagai berikut (dalam Pelupessy, 2013:73) ;
1.
Rumautau atau Lumatau (mata rumah)
Rumautau atau Luamatau adalah kesatuan kelompok
genealogis yang lebih besar sesudah keluarga (dalam Effendi, 1987:25). Rumautau atau Luamatau terdiri atas beberapa keluarga dengan kepala keluarganya
masing-masing, dan merupakan struktur dasar bagi pembentukan struktur sosial di
kalangan masayarakat Ambon dan Lease (Saparua, Haruku dan Nusalaut), karena
setiap orang mesti berada dalam salah satu Rumautau.
Orang yang tergabung dalam Rumautau adalah
orang asal, yang lawannya adalah orang dagang atau bukan orang asli yang
berasal dari salah satu Rumautau.
Dikemukakan lebih lanjut oleh Effendi (1987:26)
bahwa setiap orang senantiasa tergabung dalam salah satu Rumautau. Untuk mengatur suatu Rumautau,
baik dalam hubungan ke dalam Rumautau,
maupun terhadap pihak luar seperti Ruma-tau
lain, maka diangkatlah salah seorang dari anggota Rumautau yang bersangkutan menjadi pemimpin dengan gelar “upu”.
Biasanya dipilih yang tertua atau yang dituakan di antara anggota Rumautau itu. Senioritas generasi
seseorang memegang peranan penting untuk diangkat menjadi upu. Ini dimaksudkan supaya diperoleh seorang pemimpin yang
berwibawa.
2.
Uku
Dalam Effendi
(1987 : 28) bahwa uku atau Huku itu merupakan suatu persekutuan
genealogis. Dalam perkembangannya, uku sebagai persekutuan genealogis berganti
dengan persekutuan teritorial atau teritorial genealogis. Namun yang terjadi
kemudian yaitu uku tersebut hanya
tinggal nama saja. Riedel menyamakan uku ini
dengan soa (dalam Pelupessy, 2013:74).
3.
Soa
Persekutuan dalam soa lebih luas. Suatu soa biasanya
terdiri dari mata rumah atau rumatau (lumatau). Artinya di dalam satu soa terdapat marga-marga atau fam
(family) yang berbeda-beda. Effendi (1987:29) mengemukakan bahwa soa adalah sesuatu persekutuan teritorial
genealogis. Di dalam administrasi pemerintahan, sekarang ini soa merupakan suatu wilayah yang menjadi
bagian dari suatu petuanan atau negeri.
Dalam suatau soa
terdapat satu rumatau asli,
tetapi dapat dijumpai juga bahwa dalam satu soa
terdapat beberapa rumatau, maupun
marga-marga pendatang. Pada umunya pemimpin yang terdapat dalam satu soa berasal dari rumatau asli yang dinamakan “Kepala
Soa”, dan memiliki fungsi dan peran untuk mengkoordinir seluruh anggota
yang terdapat dalam soa tersebut (dalam Pelupessy, 2013:75).
4.
Hena dan Aman
Hena dan Aman merupakan persekutuan hidup yang lebih
besar dari soa. Artinya gabungan dari beberapa soa kemudian terbentuknya Hena
atau Aman. Menurut G A Wilken dan
Van Ossenbruggen dalam Effendi (1987:30) menuliskan Hena dengan “hena” yang
bentuknya sama dengan yang di pulau Buru “Fenna”.
Henna atau Fenna berarti daerah
atau wilayah (landstreek) atau daerah suatu suku (stamgebied). Jadi Hena adalah suatu kesatuan masyarakat
yang berunsurkan teritorial (dalam Pelupessy, 2013:75).
5.
Negeri
Negeri merupakan penamaan yang saat ini umumnya
digunakan oleh orang Maluku untuk mengidentifikasi temapat asal-usul, tanah
kelahiran, tampa putus pusa, dan
lainnya yang identik dengan itu pada seseorang. Menurut Effendi (1987:31)
istilah negeri bukan berasal dari bahasa asli daerah ini atau bahasa tanah.
Suatu negeri adalah persekutuan teritorial yang terdiri atas beberapa soa yang pada umumnya berjumlah paling
sedikit tiga. Kepala Negeri yang disebut Pemerentah
dan sehari-hari dipanggil “Raja”. Dalam Ordonansi S. 1824-19a disebut regent.
6.
Uli dan Pata
Mengenai pengertian Uli itu sendiri menurut Effendi (1987:31) adalah suatu persekutuan
yang terbentuk atau tersusun atas beberapa Hena
atau Aman. Uli adalah lembaga
masyarakat yang khusus terdapat di Ambon Lease. Dalam Effendi (1987:32)
walaupun Uli dan Pata terdapat kesamaan, namun ada perbedaannya yaitu Uli lebih
cenderung bersifat genealogis, sedangkan Pata
lebih cenderung kepada pengertian teritorial. Sistem pengkelompokan
sosial tersebut dapat dijumpai pada orang-orang yang mendiami negeri-negeri
(adat) di Ambon Lease yang menampakan ciri sebagai Ulisiwa maupun Ulilima. Ada
juga yang menyebut Pata Siwa dan Pata Lima yang memiliki ciri khas berbeda pada
bentuk kedudukan negeri, rumah adat (baileu), perahu, lilitan rotan pada parang
(golok) dan sebagainya (dalam Pelupessy, 2013:78).
c.
Sejarah Negeri Morella
Asal mula Negeri Morella adalah penggabungan dari
beberapa Hena atau Aman atau Negeri Lama yakni Negeri Lama
Kapahaha, Negeri Iyaluli, Negeri Lama
Puttulesy dan Negeri Lama Ninggareta.
Ke empat Hena atau Aman inilah yang membentuk suatu Hena atau Aman atau Negeri Hausihu
Morella.
Menurut penuturan dari Tua-tua adat setempat,
Negeri-negeri Lama tersebut berasal dari Ulapokol.
Ulapokol merupakan pusat negeri
pertama sejak Morella karena di percayai sebagai tempat hunian Roh-roh Gaib
(Rijalal Gaib).
Ulapokol
terletak di pegunungan Salahutu mula-mula yang hidup di tempat tersebut adalah Ukalatu Tapil beliau berasal dari Timur
Tengah, Ukalatu datang di tempat tersebut dengan membawa sesekor Burung
Manulatu (Burung Raja).
Dikishkan juga setelah Ukalatu Tapil berada di Ualpokol
muncul tiga orang yang masing-masing mengkalim dirinya sebagai pendahulu
atau penemu daerah baru tersebut di tengah perdebatan sengit itu tiba-tiba
mereka mendengar kicauan burung Manulatu tersebut.
Akhirnya mereka menyadari ternyata daerah itu telah berpenghuni dan mereka
bertiga-pun bersepakat untuk menemukan pemilik Manulatu tersebut, ketiga orang tersebut adalah Tuhe, Meten, dan Tliti. Orang tersebut di temukan saat Ia sedang duduk bersemedi
(Bersembahyang) di Ulapokol.
Di hadapan orang tersebut kemudia mereka berikrar Upu atau Ame, yang bermakna tuanku pelindung atau junujungan kami, beliaulah
Ukalatu Tapil Meten dan Hiti dan dukukuhkanlah beliau sebagai Hulubalang atau Pegawai Ukalatu Tapil. Selanjutnya Ukalatu Tapil kemudian meletakan Tiga buah batu di Gunung Salahutu
sebagai Hatu Manuai Telu atau batu
tiga tuan tanah karena di sinilah tempat pertemuan Tuhe, Meten, dan Tliti.
Dalam perkembangannya Tuhe, Meten, dan Tliti meminang
seseorang Putri yang bernama Hatuatina yang
berasal dari Nusa Ina (Pulau Seram) tepatnya di pusat tiga aliran sungai Ety , Talla dan Sapalewa di Nunusaku Salahula untuk menjadi isteri Ukalatu Tapil. Selanjutnya Ukalatu Tapil kemudian dari pernikahan
tersebut¸ Ukalatu Tapil dan Isterinya
memperoleh 7 (tujuh) orang anak laki-laki dan 1 (satu) orang anak perempuan dan
dari ke 7 (tujuh) orang anak laki-laki tersebut hanya anak yang bernama Tuharela /Umarella yang menjalani hidup
sebagai Sufisme Tulen (gaib) kemudian Tuharea
beristrikan seorang perempuan yang bernama Alungnusa dari Pulau Seram dan dari perkawinan inilah
melahirkan/beranak pinak sebagian besar warga Morella sekarang.
Melalui proses perkawinan maka semakin banyak
manusia di tempat itu (Ulapokol) dan
karena keadaan alam, mereka-pun mengadakan perpindahan ke beberapa tempat di
daerah pegunungan yaitu Amaela (Gunung
Kukusan) kemudian berpindah lagi ke Kapahaha
dan sebagian ke Iyaluli, Ninggareta dan
Putulessy. Walaupun ke empat negeri
ini terpisah dengan yang lain namun kehidupan mereka bersatu dalam sistem
khidupan sosial kemasyarakatan di mana pusat pemerintahan adatnya berada di Kapaha yang saat itu pimpinan adat
tertinggi di pegang oleh Tuhe, Meten,
dan Hiti (Salamoni) sementara
pelaksanaan keagamannya di pustakan di Iyaluii.
Pada abad ke 6 (enam) ketika bangsa penjajah becokol
di Maluku ke 4 (empat) negeri lama
ini bersatu untuk mempertahankan wilayahnya masing-masing dari serangan kaum
penjajah. Kapahaha kemudian dijadikan
sebagai pusat pertahanan untuk melawan kaum penjajah.
Hal ini dikarenakan letaknya yang sangat strategis
dengan Kapitan Telukabessy, (Ahmat
Leikawa) sebagai panglima perang. Pada saai itu benteng pertahanan di
Maluku sudah ditaklukan oleh Belanda sehingga para Kapitan dan Malesi dari
daerah-daerah lain bergabung di Benteng Kapahaha seperti dari kerjaan Ternate,
Goa, Tuban, Alaka, Huamual, Iha, Buru, Nusalaut, Banda dan lain-lain. Mereka
melakukan perlawanan terhadap kaum Kompeni yang berlangsung dari tahun 1637
sampai dengan tahun 1646.
Pada tahun 1646 Kapahaha berhasil di taklukkan oleh
kaum penjajah Belanda maka semua rakyat Kapahaha para Kapitan dan Malesi serta
seluruh personil bantuan tersebut di turunkan dari Benteng Kapahaha dan ditawan
di Teluk Pantai Sawaletu (Telepuan).
Setelah adanya pengumuman pembebasan tawanan
Kapahaha oleh Gubernur Van Deiner, maka mereka mengadakan acara perpisahan itu
dengan lagu-lagu dan tarian adat serta sekelompok Pemuda Kapahaha mengadakan
atrakasi Pukul Sapu Lidi yang bertepatan pada tanggal 27 Oktober 1646.
d.
Struktur
Pemerintahan Negeri Morella
Negeri Morella terbagi dalam 3 soa, masing-masing terdiri dari beberapa rumah tau
dan dipimpin oleh seorang kepala soa. Pembagian mata rumah tau untuk
setiap soa berdasarkan negeri lama asal. Negeri lama asal tersebut antara lain:
Negeri Lama Kapahaha, Negeri Lama Iyal Uli, Negeri Lama Ninggareta dan Negeri
Lama Putulesi. Uraian ketiga soa
tersebut antara lain:
1.
Soa Kapahaha atau biasa disebut Soa
Tomasiwa terdiri atas Enam Marga dengan kepala soa disebut Ela Helu dari Marga
Sasole, yaitu:
1)
Sasole
2)
Sialana
3)
Leikawa
4)
Manilet
5)
Ameth
6)
Mony
2.
Soa Ninggareta Putulesi atau biasa
disebut Soa Pisi Hatu terdiri atas Tiga Marga dengan kepala soa disebut Ela
Henahuhui dari marga Latukau, Yaitu :
1)
Latukau
2)
Ulath
3)
Thenu
3.
Soa Iyal Uli atau biasa disebut Soa Hatalesy terdiri atas
Lima Marga Dengan kepala soa disebut Ela Hatumena dari Marga Tawainlatu, yaitu
:
1)
Tawainlatu
2)
Latulanit
3)
Wakang
4)
Lauselang
5)
Pical
Pemerintahan Negeri Hausihu Morella terdiri dari
beberapa perangkat yaitu :
1.
Badan Saniri Raja, dengan keanggotaan :
Raja dan Kepala Soa Akte (Soa Tomasiwa, Soa Pisihatu, dan Soa Hatalesy). Badan
saniri ini bertugas sebagai badan Eksekutif. Ditambah dengan Juru Tulis dan
Marinyo.
2.
Badan Saniri Adat, dengan keanggotaan :
Tiga Tuan Tanah Uka Tuhe, Uka Meten, dan Uka Hiti dari Luma Tau Sasole; Lembaga
Adat Manu Saliwangi yang terdiri dari Salamoni (Sasole), Roto dan Umar
(Sialana), Sekapuan (Latukau), Telapuan (Sasole), Tuni dan Tuhepopu (Latukau),
Hatumena dan Tumban (Tawainlatu), Tenu Peha Pelu (Leikawa dan Thenu), Mahu
Manu; Mahina Soa Tau Lua (Soa Malua) yaitu Dewan Wanita Adat Turunan dari Luma
Tau Sasole dan Sialana. Mereka semua dikenal dengan sebutan “Tamulu Kau”
(orang-orang yang berikat kepala merah). Mereka mempunyai tugas melantik raja
secara adat dan memimpin upacara-upaca adat sekaligus Penasehat Raja. Badan
Saniri ini memegang kekuasaan Legislatif.
3.
Badan Saniri Mesjid dengan pimpinan Uka
Pesy (Wakang) dan Uka Hosong (Latukau). Uka Pesy membawahi empat Luma Tau Guru
yaitu Luma Guru Lauselang (Uka Selang), Luma Guru Mony (Uka Anggodo Mony), Luma
Guru Manilet (Uka Manilet), Luma Guru Ulath (Uka Maaling), dan Kasisi Mesjid
yang terdiri dari Imam, Khatib dan Modin, yang diangkat dari Empat Luma Tau
Guru tersebut di Bantu oleh dua orang penjaga dan pemegang kunci masjid dari
Marga Thenu dan Malawat, mereka dikenal dengan sebutan ”Tamulu
Putih”(orang-orang yang berikat kepala putih). Badan Saniri ini, selain
bertugas dalam aktifitas di Masjid, juga bertugas membantu Raja dalam
masalah-masalah yang berhubungan dengan Syariat Islam.
Badan Saniri Besar keanggotaannya adalah : Badan
Saniri Raja, Badan Saniri Adat, Badan Saniri Adat Masjid, Kepala-Kepala
Keluarga dan Semua Orang Laki-laki Dewasa.
DAFTAR
PUSTAKA
Effendi, Ziwar. 1987. Hukum Adat Ambon-Lease, Cetakan Pertama,
Jakarta : Pradnya Paramita.
Narwoko, J.Dewi dan Suyanto, Bagong.
2004. Sosiologi Teks Pengantar Dan Terapan,
Jakarta : PrenadaMedia
Paul Johnson, Doyle. 1994 . Teori
Sosiologi Klasik Dan Modern, Jakarta : Gramedia
Pelupessy, Pieter Jacob. 2013. Esuriun Orang Bati. Cetakan Pertama,
Bogor : Kekal Press
Ritzer, George, dan Goodman, Douglas J.
2005 .Teori Sosiologi Modern, Jakarta
: Prenada Media
Watloly,
Aholiab. 2013. Cermin eksistensi
Masyarakat Kepulauan Dalam Perkembangan Bangasa. Perspektif Indigenous Orang
Maluku, Jakarta : PT Intimedia Cipta Nusantara
[1]
http://sosiatristudyclub.blogspot.co.id/2013/11/pengertian-sistem-sosial-budaya.html
[2]
http://sistempemerintahan-indonesia.blogspot.co.id/2013/06/sistem-sosial-budaya-indonesia.html
[3]
http://rivalhariyadi.blogspot.co.id/2013/01/sistem-sosial-budaya-indonesia.html
[4]
http://www.bakosurtanal.go.id/berita-surta/show/indonesia-memiliki-13-466-pulau-yang-terdaftar-dan-berkoordinat
[5]
https://norhayati099.wordpress.com/2015/06/08/geografi-regional-provinsi-maluku/
[6]
George Ritzer, dan Douglas J Goodman, Teori Sosiologi Modern, PT. Prenada
Media, Jakarta, 2005, halaman 123
[7]
David Berry , Pokok-pokok Pikiran Dalam Sosiologi, Penerbit Raja Grafindo
Persada, Jakarta, Tahun 2003, halaman 15-17
[8]
J.W. Ajawaila; Ringkasan Kuliah Sosiologi Kepulauan (Konflik dan Perubahan Sosial,
2006)
[9]
George Ritzer, dan Douglas J,Goodman, Op Cit, Halaman 153 Bagian I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar