Kamis, 16 Februari 2017

Reading Course

BAB  I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Manusia hidup dalam suatu lingkungan tanda-tanda. Manusia memberikan tanggapan terhadap tanda-tanda itu seperti juga ia memeberikan tanggapan terhadap rangsangan yang bersifat fisik, misalnya terhadap panas dan dingin. Pengertian dan penghayatan terhadap tanda-tanda yang tak terhitung jumlahnya itu merupakan hasil pelajaran dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Melalui komunikasi tanda-tanda manusia dapat dipelajari sejumlah besar arti dan nilai-nilai, dan karena itu dapat dipelajari cara-cara tindakan orang lain. Karena tanda adalah bagian sentral dari kehidupan manusia dan karena tanda-tanda adalah suatu pengertian yang dipelajari, maka manusia harus dan dapat mempelajari arti dari tanda-tanda yang tak terhitung jumlahnya. Begitu pula karena pengetahuan dapat dikomunikasikan melalui tanda-tanda maka manusia dapat memperoleh sejumlah besar informasi. Dalam mempelajari tanda dan memaknainya lalu manusia belajar melakukan tindakan tindakan secara bertahap. Tanda-tanda dapat divisualkan. Tetapi keistimewaan manusia terletak pada kemampuannya untuk mengkomunikasi tanda-tanda itu secara verbal melalui pemakaian bahasa. Komunikasi bukan hanya sebagai proses, melainkan komunikasi sebagai pembangkitan makna (the generation of meaning). Ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, setidaknya orang lain tersebut memahami maksud pesan kita, kurang lebih secara tepat. Supaya komunikasi dapat terlaksana, maka kita harus membuat pesan dalam bentuk tanda (bahasa, kata). Pesan-pesan yang kita buat, medorong orang lain untuk menciptakan makna untuk dirinya sendiri yang terkait dalam beberapa hal dengan makna yang kita buat dalam pesan kita. Semakin banyak kita berbagi kode yang sama, makin banyak kita menggunakan sistim tanda yang sama, maka makin dekatlah “makna” kita dengan orang tersebut atas pesan yang datang pada masing-masing kita dengan orang lain tersebut. Pikiran yang sama seperti di tuangkan dalam Interaksionisme Herbert Blumer. Teori Blumer bertumpu pada tiga premis utama yang melibatkan makna, yaitu:
  1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka.
  2. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain.
  3. Makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial berlangsung.
Kemampuan berkomunikasi, belajar, serta memahami makna dari berbagai tanda itu merupakan seperangkat kemampuan yang membedakan manusia dari binatang. Kemampuan inilah yang menjadi pokok perhatian analisa sosiologi dari Teori Interaksi Simbolik.
Melalui tanda-tanda manusia berkemampuan menstimulir orang lain dengan cara-cara yang mungkin berbeda dari stimuli yang diterimanya dari orang lain itu. Untuk memahami asumsi ini perlu di kemukakan pendapat oleh Herbert Mead yang membedakan antara: tanda-tanda alamiah (natural signs) dan simbol-simbol yang mengandung makna (significant symbol). Natural signs bersifat naluriah serta menimbulkan reaksi yang sama bagi setiap orang. Sedangkan significant simbol tidak harus menimbulkan reaksi yang sama bagi setiap orang. Artinya bahwa, aktor yang memakai simbol tertentu memberikan arti terhadap simbol tersebut dalam pikirannya, namun si penerima simbol belum tentu menghubungkannya dengan arti yang sama kepadanya. Olehnya itu, satu hal yang perlu menjadi perhatian disini adalah bahwa simbol komunikasi merupakan proses dua arah di mana kedua pihak saling memberikan makna atau arti terhadap simbol-simbol itu.
Iklan adalah wacana public dalam ruang sosiologi yang terus menerus diperdebatkan tanpa hentinya. Wacana iklan mengisyaratkan menguatnya peran media dalam kosntruksi realitas. Dimana media memindahkan realitas social kedalam pesan media atau setelah diubah citranya Sedang citra adalah suatu yang tampak oleh indera, akan tetapi tidak memiliki eksistensi substansial. akhirnya iklan membuat jarak kita menjadi sempit untuk memahami suatu masyarakat, hanya dengan iklan. Kita seperti apa yang digambarkan oleh jean boudlirad hidup dalam ekstasi komunikasi. Dan ekstasi ini carut marut. seiring dengan lenyapnya ruang public (public area), iklan menginvasi semuanya. hilangya ruang publik diikuti dengan lenyapnya ruang privat. Ruang publik tidak lagi menjadi tontonan dan ruang privat tidak lagi rahasia Tenggelam bersama virtual media dan parodi-parodinya.
Parodi adalah contoh kecil bagaimana kekuatan media iklan mengkonstruksi realitas sosial, di mana melalui kekuatan itu iklan memindahkan realitas sosial ke dalam bentuk pesan dengan atau setelah diubah citranya, kemudian media memindahkannya melalui replikasi citra ke dalam realitas sosial yang baru di masyarakat, seakan realitas itu sedang hidup di masyarakat.
Pada dasarnya iklan atau reklame telah ada pada zaman yunani kuno, walaupun masih dalam bentuk yang sangat sederhana. Disudut dan lorong-lorong kota tua yunani ketika itu bersebaran dimana-mana berbagai iklan, pamphlet yang ditulis diatas lembaran-lembaran daun papyrus, sebagai suatu pemberitahuan kepada khalayak bahwa ”filsuf Socrates ( 399 SM ) akan dihadapkan pada sebuah perdebatan dipengadilan (apology) atas tuduhan merusak pemuda dan memperkenalkan gagasan ketuhanan yang aneh. dikorbankan pada kegilaan dan hingga akhirnya dihukum mati meminum racun dari tumbuhan (hemlock) atau pada masa kekaisaran romawi kuno ketika para gladiator akan bertarung dengan penuh darah dan brutal diarena coloseum, pusat kota roma juga dibanjiri dengan berbagai macam iklan.
Iklan sebagai model penyampaian pesan baik ide, gagasan sekaligus propaganda kepada audiens adalah cara yang paling sederhana. Model penyampaian pesan seperti ini biasanya mudah dilakukan tapi juga mudah untuk dilupakan. Karena manusia pada dasarnya tidak bias berdialog dengan iklan apalagi baliho. Kita hanya dipaksa dan terjebak untuk mencari makna (hermeneutika) dalam tanda (semiotika) atas sihir (daya magis) dan liciknya sebuah iklan dengan menciptakan kebutuhan palsu. Meminjam terminology Frank jefkins iklan menciptakan  struktur-struktur makna dalam setiap diri individu.
Kehadiran iklan sebagai bagian dari budaya popular membuat sensasi dan cita rasa baru melalui realitas yang dimanipulatif melalui gambar dan bahasa (teks) yang puitis, propagandis bahkan eksplorasi bahasa yang erotis untuk merayu cara berpikir, prilaku, gaya hidup dalam masyarakat yang tidak dipertanyakan lagi yang mereproduksi masyarakat tertentu, atau dalam tafsiran yang lebih lunak adalah hegemoni. Secara sosial Iklan dikontrusksi terus menerus sampai saat ini. Konstruksi sosial menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya yang mana individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif.  Revolusi industri, sekaligus hubungannya dengan revolusi bidang komunikasi, secara fundamental mengubah sifat dasar iklan. ketika awal kehadiran suatu iklan hanya untuk kepentingan teknis promosi produk dan medium penyampaian pesan, dewasa ini telah melembaga secara baik, menjadi sistem ide yang mempunyai nilai-nilai secara mandiri. Dibawah imperium kapitalisme iklan akhirnya menjelma menjadi idiologi yang begitu menakutkan.
Dalam pandangan konstruksi sosial, iklan adalah cara bagaimana pengetahuan itu dibangun dalam dunia intersubjektif serta proses pelembagaan sosial baru. Frans. M. Parera, dalam pengantar buku tafsir atas  kenyataan social menjelaskan tugas utama sosiologi pengetahuan adalah menjelaskan dialektika antara diri dengan dunia sosio cultural. Dialektika ini berlangsung dalam satu proses dengan tiga momen simultan.
Pertama, eksternalisasi, (penyesuaian diri) dengan dunia sosio   cultural sebagai produk manusia.
Kedua, objektifikkasi, yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi.
Ketiga, internalisasi, yaitu proses dimana individu mengidentifikasi dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi social tempat individu menjadi anggotanya.
Semua kenyataan cultural termasuk iklan adalah tanda. Fakta bahwa sejak dahulu kala, hidap manusia selalu bergantung pada tanda-tanda, pada dasarnya manusia selalu memiliki perasaan cemas karena segala sesuatu dalam kehidupan adalah kegelapan dan ketidakpastian. Kita memang hidup di dunia yang penuh dengan tanda dan diri kitapun bagian dari tanda itu sendiri. Tanda-tanda tersebut kemudian dimaknai sebagai wujud dalam memahami kehidupan. Manusia melalui kemampuan akalnya berupaya berinteraksi dengan menggunakan tanda sebagai alat untuk berbagai tujuan, salah satu tujuan tersebut adalah untuk berkomunikasi dan mempengaruhi cara pikir dan bertindak orang lain.
Para teoritisi budaya mahzab Marxian memperlakukan industri budaya seperti televisi, jurnalisme, flim dan iklan sebagai wilayah ekonomis dan idiologis, yang melibatkan kesadaran, wacana dan konsumsi. Kritik para Begawan teori budaya Marxian dalam rangka kritik atas idiologi kapitalisme yang meninabobokan masyarakat melalui produksi kesadaran palsu. Agar ketidakadilan dalam struktur kapitalisme tidak bisa dikenali, digunakanlah media iklan sebagai sarana utamanya.
Peran media tentunya sangat dramatis mempercepat, mengintensifkan produksi dan distribusi idiologi “sehingga menyembunyikan kesan bahwa yang ada dalam sebuah iklan adalah bukanlah teks semata melainkan dunia. yang direpresentasikan tanpa bias atau melalui perspektif lensa kamera”. Hilangnya batas antara realitas dan fantasi. Sebagai fenomena budaya iklan kini memilik dasar yang kuat dan kompleksitasnya, berimajinasi namun kontekstual, penuh dengan fantasi namun nyata. Raymond Wiliams melihat dalam konteks modern iklan harus dipahami ulang karena peranannya sebagai ideologi cukup mencengkeram. Williams melihat produksi budaya kapitalisme hanya untuk sebuah politik konsumsi pasif, tidak eksploratif, apalagi kreatif.
  1. Tujuan dan Saran






BAB  II
ISI
LANDASAN TEORI
  1. Perbandingan Teori
Teori sederhana biasanya selalu terungkap di dalam kehidupan kita sehari-hari. Sering kali tanpa sadar kita sesungguhnya telah berteori. Teori muncul karena adanya suatu kebutuhan manusia untuk memberikan penjelasan akan berbagai kenyataan yang ada. Teori lahir karena manusia membutuhkan pengetahuan. Secara kategoris dapat dikatakan bahwa pengetahuan terdiri atas unsur experiental reality dan agreement reality. Experiental realitiy adalah pengetahuan yang kita dapat berdasar pengalaman kita sehari-hari, sedangkan agreement reality adalah pengetahuan yang kita dapat berdasar kesepakatan bersama. Jika dalam kehidupan sehari-hari kita bisa mendapatkan pengetahuan dari salah satu unsur yang ada, maka dalam ilmu pengetahuan, pengetahuan didapat dengan mengombinasikan kedua unsur tersebut. Dalam ilmu pengetahuan, pengembangan pengetahuan dilakukan bukan hanya dari pengamatan langsung pada kenyataan, namun melalui proses pengujian dalam pikiran manusia sendiri. Dalam konteks sosiologi, teori diklasifikasi ke dalam tiga paradigma utama, yaitu order paradigm, pluralist paradigm, serta conflict paradigm. Perbedaan dari masing-masing paradigma dilandaskan pada asumsi dasar yang menyertainya dalam hal hakikat dasar manusia, masyarakat, serta ilmu pengetahuan.
BUKU SATU
Ritzer, George, Sosiologi Berparadigma Ganda, terjemahan Alimandan, Jakarta: Rajawali Press, 1990”
Tulisan ini membahas dialog-dialog konseptual diantara beberapa grand-theory dalam ilmu sosial. Perdebatan-perdebatan teoritis-epistimologis serta pengelompokkan dalam bentuk paradigma dalam tradisi ilmu sosial, diantaranya Fakta Sosial, Defenisi Sosial, Individualisme, Perilaku Sosial, Interpretatif, Historisisme, Profetik.
Thomas Kuhn dalam karyanya berjudul The Structure of Scientific Revolution memperkenalkan istilah Paradigma. Menurutnya, paradigma adalah satu kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Dalam buku itu Kuhn mejelaskan tentang perubahan paradigma dalam ilmu, dan menurutnya disiplin ilmu lahir sebagai proses revolusi paradigma. Bisa jadi, suatu pandangan teori ditumbangkan oleh pandangan teori yang baru yang mengikutinya. Pandangan ini kemudian dikembangkan secara sistematis dan integrated oleh George Ritzer dalam bukunya yang bertitelkan Sociology: A Multiple Paradigm Science. Hanya saja, dalam penjelasan di bawah ini penulis tidak memakai buku asli versi Bahasa Inggrisnya, tapi cukup menggunakan buku hasil saduran Alimandan dalam versi terjemahan yang berjudul Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Dalam buku itu, Ritzer memetakan tiga paradigma besar dalam disiplin sosiologi.
  1. Paradigma Fakta Sosial
Paradigma pertama adalah Fakta Sosial. Paradigma ini dikembangkan oleh Emile Durkheim, seorang sosiolog “integrasi sosial” asal Perancis, melalui dua karyanya, The Rules of Sociological Method (1895) dan Suicide (1897). Durkheim mempertegas bahwa pendekatan sosiologinya berseberangan dengan Herbert Spencer, yang menekankan pada “individualisme”. Spencer lebih tertarik pada perkembangan evolusi jangka panjang dari masyarakat-masyarakat modern, dan baginya, kunci untuk memahami gejala sosial atau gejala alamiah lainnya adalah hukum evolusi yang universal.
Ada kemiripan pandangan Spencer dengan August Comte, “Bapak Sosiologi” dan pencetus “positivisme” dalam ilmu-ilmu sosial. Keduanya sama-sama ingin menerapkan teori evolusionisme pada alam dan biologi ke dalam wilayah kajian ilmu-ilmu sosial. Spencer lebih memperhatikan terhadap perubahan struktur sosial dalam masyarakat, dan tidak pada perkembangan intelektual.
Menurut paradigma ini, “Fakta sosial” menjadi pusat perhatian penyelidikan dalam sosiologi. Durkheim menyatakan bahwa fakta sosial itu dianggap sebagai barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Ia berangkat dari realitas (segala sesuatu) yang menjadi obyek penelitian dan penyelidikan dalam studi sosiologi. Titik berangkat dan sifat analisisnya tidak menggunakan pemikiran spekulatif (yang menjadi khas filsafat), tapi untuk memahami realitas maka diperlukan penyusunan data riil di luar pemikiran manusia. Dan penelitian yang dihasilkannya pun bersifat deskripstif dan hanya berupa pemaparan atas data dan realitas yang terjadi.
Fakta sosial terdiri atas dua tipe, yaitu struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social instistution). Menurut Ritzer, teori-teori yang mendukung paradigma fakta sosial ini adalah Teori Fungsionalisme Struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan Teori Sosiologi Makro. Teori Fungsionalisme Struktural dicetuskan oleh Robert K. Merton, yang menjadikan obyek analisa sosiologisnya adalah peranan sosial, pola-pola institusional, proses sosial, organisasi kelompok, pengendalian sosial, dan sebagainya. Penganut teori ini cenderung melihat pada sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadap sistem lain, dan secara ekstrim beranggapan bahwa semua peristiwa atau struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat.
Sedangkan Teori Konflik, yang tokoh utamanya adalah Ralp Dahrendorf, sebagai kebalikan dari teori pertama, menitikberatkan pada konsep tentang kekuasaan dan wewenang yang tidak merata pada sistem sosial sehingga bisa menimbulkan konflik. Dan tugas utama dalam menganalisa konflik adalah dengan mengidentifikasi berbagai peranan kekuasaan dalam masyarakat.
  1. Paradigma Defenisi Sosial
Paradigma kedua adalah Definisi Sosial, yang dikembangkan oleh Max Weber untuk menganalisa tindakan sosial (social action). Bagi Weber, pokok persoalan sosiologi adalah bagaimana memahami tindakan sosial antar hubungan sosial, dimana “tindakan yang penuh arti” itu ditafsirkan untuk sampai pada penjelasan kausal. Untuk mempelajari tindakan sosial, Weber menganjurkan metode analitiknya melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding) atau menurut terminologinya disebut dengan verstehen.
Paradigma ini dimasuki oleh tiga teori, yaitu Teori Aksi (dari Weber sendiri), Teori Fenomenologis yang dikembangkan oleh Alfred Schutz, dan Teori Interaksionalisme Simbolis yang tokoh populernya adalah G. H. Mead. Paradigma yang terakhir adalah Perilaku Sosial. Paradigma ini dikembangkan oleh B. F. Skiner dengan meminjam pendekatan behaviorisme dari ilmu psikologi. Ia sangat kecewa dengan dua paradigma sebelumnya karena dinilai tidak ilmiah, dan dianggap bernuansa mistis. Menurutnya, obyek studi yang konkret-realistik itu adalah perilaku manusia yang nampak serta kemungkinan perulangannya (behavioral of man and contingencies of reinforcement). Skinner juga berusaha menghilangkan konsep volunterisme Parson dari dalam ilmu sosial, khususnya sosiologi. Yang tergabung dalam paradigma ini adalah Teori Behavioral Sociology dan Teori Exchange.
Dari ketiga paradigma di atas, Ritzer mengusulkan sebuah paradigma integratif yang menggabungkan kesemua paradigma di atas, yang kemudian disebut dengan istilah “Multi-Paradigma”(multi-paradigm). Ritzer mengingatkan bahwa penggunaan paradigma fakta sosial akan memusatkan perhatian pada makro masyarakat, dan metode yang dipakai adalah interpiu/kuesioner dalam penelitiannya.
Sedangkan dalam paradigma definisi sosial lebih memusatkan perhatiannya kepada aksi dan interaksi sosial yang “ditelorkan” melalui proses berfikir, dan metodenya menggunakan model observasi dalam penelitian sosial. Dan jika paradigmanya adalah perilaku sosial maka perhatiannya dicurahkan pada “tingkah laku dan perulangan tingkah laku”, dan metode yang dipakai lebih menyukai model eksperimen. Ritzer kemudian menawarkan suatu exemplar paradigma yang terpadu, yang kuncinya adalah “tingkatan realitas sosial”, yaitu makro-obyektif, makro-subyektif, mikro-obyektif, dan mikro-subyektif.
BUKU DUA
”Susilo, Rachmad K. Dwi. 2008. 20 Tokoh Sosiologi Modern, Biografi para Peletak Sosiologi Modern. Yogyakata: AR-RUZZ MEDIA”
George Herbert Mead mengembangkan teori atau konsep yang dikenal sebagai Interaksionisme Simbolik. Berdasar dari beberapa konsep teori dari tokoh-tokoh yang mempengaruhinya beserta pengembangan dari konsep-konsep atau teori-teori tersebut, Mead mengemukakan bahwa dalam teori Interaksionisme Simbolik, ide dasarnya adalah sebuah symbol, karena symbol ini adalah suatu konsep mulia yang membedakan manusia dari binatang. Simbol ini muncul akibat dari kebutuhan setiap individu untuk berinteraksi dengan orang lain. Dan dalam proses berinteraksi tersebut pasti ada suatu tindakan atau perbuatan yang diawali dengan pemikiran. Dalam tinjauannya di buku Mind, Self and Society, Mead berpendapat bahwa bukan pikiran yang pertama kali muncul, melainkan masyarakatlah yang terlebih dulu muncul dan baru diikuti pemikiran yang muncul pada dalam diri masyarakat tersebut. Dan analisa George Herbert Mead ini mencerminkan fakta bahwa masyarakat atau yang lebih umum disebut kehidupan social menempati prioritas dalam analisanya, dan Mead selalu memberi prioritas pada dunia social dalam memahami pengalaman social karena keseluruhan kehidupan social mendahului pikiran individu secara logis maupun temporer. Individu yang berpikir dan sadar diri tidak mungkin ada sebelum kelompok sosial. Kelompok social hadir lebih dulu dan dia mengarah pada perkembangan kondisi mental sadar-diri.
Dalam teorinya yang dinamakan Interaksionisme Simbolik ini, George Herbert Mead mengemukakan beberapa konsep yang mendasari teori yang ada, yaitu:
  • Tindakan
Perbuatan bagi George Herbert Mead adalah unit paling inti dalam teori ini, yang mana Mead menganalisa perbuatan dengan pendekatan behavioris serta memusatkan perhatian pada stimulus dan respon. Mead mengemukakan bahwa stimulus tidak selalu menimbulkan respon otomatis seperti apa yang diperkirakan oleh actor, karena stimulus adalah situasi atau peluang untuk bertindak dan bukannya suatu paksaan.
Mead menjelaskan bahwa ada empat tahap yang masing-masing dari tahap tersebut saling berkaitan satu sama lain dalam setiap perbuatan.
  1. Impuls adalah tahap paling awal dalam keempat tahap diatas. Dia adalah reaksi yang paling awal dimana dia berfungsi untuk dirinya sendiri. Impuls melibatkan stimulasi inderawi secara langsung dimana respon yang diberikan oleh actor adalah bertujuan untuk kebutuhan dirinya sendiri. Contohnya adalah ketika seseorang mempunyai keinginan untuk menonton film di bioskop.
  2. Persepsi adalah tahapan kedua, dimana dia adalah pertimbangan, bayangan maupun pikiran terhadap bagaimana cara untuk bisa memenuhi impuls. Dalam tahapan ini, actor memberikan respon atau bereaksi terhadap stimulus yang berkaitan dengan impuls tadi. Misal, berkaitan dengan contoh impul diatas, ketika seseorang ingin menonton film di bioskop, maka dia akan mencariz.
  3. Manipulasi adalah tahapan selanjutnya yang masih berhubungan dengan tahap-tahap sebelum. Dalam tahapan ini actor mengambil tindakan yang berkaitan dengan obyek yang telah dipersepsikan. Bagi Mead, tahapan ini menciptakan jeda temporer dalam proses tersebut, sehingga suatu respon tidak secara langsung dapat terwujud.
  4. Konsumsi adalah upaya terakhir untuk merespon impuls. Dalam tahapan ini, dengan adanya pertimbangan maupun pemikiran secara sadar, actor dapat mengambil keputusan atau tindakan yang umumnya akan berorientasi untuk memuaskan impuls yang ada di awal tadi.
  • Gestur
Mead mempunyai pandangan bahwa gesture merupakan mekanisme dalam perbuatan social serta dalam proses social. Gestur adalah gerak organisme pertama yang bertindak sebagai stimulus yang menghasilkan respon dari pihak kedua sesuai dengan apa yang diinginkan.
  • Simbol
Simbol, dia adalah jenis gestur yang hanya bisa dilakukan dan diinterpretasikan oleh manusia. Gestur ini menjadi symbol ketika dia bisa membuat seorang individu mengeluarkan respon – respon yang diharapkan olehnya yang juga diberikan oleh individu yang menjadi sasaran dari gesturnya, karena hanya ketika simbol-simbol ini dipahami dengan makna juga respon yang samalah seorang individu dapat berkomunikasi dengan individu yang lainnya.
Dalam teori George Herbert Mead, fungsi symbol adalah memungkinkan terbentuknya pikiran, proses mental dan lain sebagainya.
  • Mind (Pikiran)
George Herbert Mead memandang akal budi bukan sebagai satu benda, melainkan sebagai suatu proses social. Sekali pun ada manusia yang bertindak dengan skema aksi reaksi, namun kebanyakan tindakan manusia melibatkan suatu proses mental, yang artinya bahwa antara aksi dan reaksi terdapat suatu proses yang melibatkan pikiran atau kegiatan mental.
Pikiran juga menghasilkan suatu bahasa isyarat yang disebut symbol. Simbol-simbol yang mempunyai arti bisa berbentuk gerak gerik atau gesture tapi juga bisa dalam bentuk sebuah bahasa. Dan kemampuan manusia dalam menciptakan bahasa inilah yeng membedakan manusia dengan hewan. Bahasa membuat manusia mampu untuk mengartikan bukan hanya symbol yang berupa gerak gerik atau gesture, melainkan juga mampu untuk mengartikan symbol yang berupa kata-kata. Kemampuan ini lah yang memungkinkan manusia menjadi bisa melihat dirinya sendiri melalui perspektif orang lain dimana hal ini sangatlah penting dalam mengerti arti-arti bersama atau menciptakan respon yang sama terhadap simbol-simbol suara yang sama. Dan agar kehidupan social tetap bertahan, maka seorang actor harus bisa mengerti simbol-simbol dengan arti yang sama, yang berarti bahwa manusia harus mengerti bahasa yang sama. Proses berpikir, bereaksi, dan berinteraksi menjadi mungkin karena simbol-simbol yang penting dalam sebuah kelompok sosial mempunyai arti yang sama dan menimbulkan reaksi yang sama pada orang yang menggunakan simbol-simbol itu, maupun pada orang yang bereaksi terhadap simbol-simbol itu.
Mead juga menekankan pentingnya fleksibilitas dari mind (akal budi). Selain memahami symbol-simbol yang sama dengan arti yang sama, fleksibilitas juga memungkinkan untuk terjadinya interaksi dalam situasi tertentu, meski orang tidak mengerti arti dari symbol yang diberikan. Hal itu berarti bahwa orang masih bisa berinteraksi walaupun ada hal-hal yang membingungkan atau tidak mereka mengerti, dan itu dimungkinkan karena akal budi yang bersifat fleksibel dari pikiran.
Simbol verbal sangat penting bagi Mead karena seorang manusia akan dapat mendengarkan dirinya sendiri meski orang tersebut tidak bisa melihat tanda atau gerak gerik fisiknya.
Konsep tentang arti sangat penting bagi Mead. Suatu perbuatan bisa mempunyai arti kalau seseorang bisa menggunakan akal budinya untuk menempatkan dirinya sendiri di dalam diri orang lain, sehingga dia bisa menafsirkan pikiran – pikirannya dengan tepat. Namun Mead juga mengatakan, bahwa arti tidak berasal dari akal budi melainkan dari situasi social yang dengan kata lain, situasi social memberikan arti kepada sesuatu.
  • Self (Diri)
Mead menganggap bahwa kemampuan untuk memberi jawaban pada diri sendiri layaknya memberi jawaban pada orang lain, merupakan situasi penting dalam perkembangan akal budi. Dan Mead juga berpendapat bahwa tubuh bukanlah riri, melinkan dia baru menjadi diri ketika pikran telah perkembang. Dalam arti ini, Self bukan suatu obyek melainkan suatu proses sadar yang mempunyai kemampuan untuk berpikir, seperti :
  • Mampu memberi jawaban kepada diri sendiri seperti orang lain yang juga memberi jawaban.
  • Mampu memberi jawaban seperti aturan, norma atau hokum yang juga memberi jawaban padanya.
  • Mampu untuk mengambil bagian dalam percakapan sendiri dengan orang lain.
  • Mampu menyadari apa yang sedang dikatakan dan kemampuan untuk menggunakan kesadaran untuk menentukan apa yang garus dilakukan pada fase berikutnya.
Bagi Mead, Self mengalami perkembangan melalui proses sosialisasi, dan ada tiga fase dalam proses sosialisasi tersebut. Pertama adalah Play Stage atau tahap bermain. Dalam fase atau tahapan ini, seorang anak bermain atau memainkan peran orang-orang yang dianggap penting baginya. Contoh ktika seorang anak laki-laki yang masih kecil suka akan bermain bola, maka dia meminta dibelikan atribut yang berhubungan degan bola dan brmain dengan atribut tersebut serta berpura-pura menjadi pesepak bola idolanya. Fase kedua dalam proses sosialisasi serta proses pembentukan konsep tentang diri adalah Game Stage atau tahap permainan, dimana dalam tahapan ini seorang anak mengambil peran orang lian dan terlibat dalam suatu organisasi yang lebih tinggi. Contoh Anak kecil yang suka bola yang tadinya hanya berpura-pura mengambil peran orang lain, maka dalam tahapan ini anak itu sudah berperan seperti idolanya dalam sebuah team sepak bola anak, dia akan berusaha untuk mengorganisir teamnya dan bekerjasama dengan teamnya. Dengan fase ini, anak belajar sesuatu yang melibatkan orang banyak, dan sesuatu yang impersonal yaitu aturan-aturan dan norma-norma. Sedang fase ketiga adalah generalized other, yaitu harapan-harapan, kebiasaan-kebiasaan, standar-standar umum dalam masyarakat. Dalam fase ini anak-anak mengarahkan tingkah lakunya berdasarkan standar-standar umum serta norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Contoh anak tadi dalam fase ini telah mengambil secara penuh perannya dalam masyarakat. Dia menjadi pesepak bola handal dan dalam menjalankan perannya sudah punya pemikiran dan pertimbangan. Jadi, dalam fase terakhir ini, seorang anak menilai tindakannya berdasarkan norma yang berlaku dalam masyarakat.
  • I and Me
Inti dari teori George Herbert Mead yang penting adalah konsepnya tentang “I” and “Me”, yaitu dimana diri seorang manusia sebagai subyek adalah “I” dan diri seorang manusia sebagai obyek adalah “Me”. “I” adalah aspek diri yang bersifat non-reflektif yang merupakan respon terhadap suatu perilaku spontan tanpa adanya pertimbangan. Dan ketika didalam aksi dan reaksi terdapat suatu pertimbangan ataupun pemikiran, maka pada saat itu “I” berubah menjadi “Me”.
Mead mengemukakan bahwa seseorang yang menjadi “Me”, maka dia bertindak berdasarkan pertimbangan terhadap norma-norma, generalized other, serta harapan-harapan orang lain. Sedangkan “I” adalah ketika terdapat ruang spontanitas, sehingga muncul tingkah laku spontan dan kreativitas diluar harapan dan norma yang ada.
  • Society (Masyarakat)
Masyarakat dalam konteks pembahasan George Herbert Mead dalam teori Interaksionisme Simbolik ini bukanlah masyarakat dalam artian makro dengan segala struktur yang ada, melainkan masyarakat dalam ruang lingkup yang lebih mikro, yaitu organisasi social tempat akal budi (mind) serta diri (self) muncul. Bagi Mead dalam pembahasan ini, masyarakat itu sebagai pola-pola interaksi dan institusi social yang adalah hanya seperangkat respon yang biasa terjadi atas berlangsungnya pola-pola interaksi tersebut, karena Mead berpendapat bahwa masyarakat ada sebelum individu dan proses mental atau proses berpikir muncul dalam masyarakat.
Jadi, pada dasarnya Teori Interasionisme Simbolik adalah sebuah teori yang mempunyai inti bahwa manusia bertindak berdasarkan atas makna-makna, dimana makna tersebut didapatkan dari interaksi dengan orang lain, serta makna-makna itu terus berkembang dan disempurnakan pada saat interaksi itu berlangsung.
BUKU  TIGA

“Marcel Danesi, JALASUTRA 2010. Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi, PESAN TANDA dan MAKNA”.
Teori tanda pertama yang sebenarnya diperkenalkan oleh Santo Agustinus(354-430 M) walau ia tidak menggunakan istilah semiotika untuk mengidentifikasikannya. Ia mendefinisikan tanda alami seabagai tanda yang ditemukan secara harafiah di alam. Gejala ragawi, pergesekan daun-daun, warna tumbuhan, dan seterusnya, kesemuanya merupakan tanda alami, seperti juga sinyal yang dikeluarkan binatang untuk merespon keadaan fisik dan emosional tertentu. Ia membedakan jenis tanda ini dengan tanda konvensional, yaitu tanda yang dibuat manusia. Kata, isyarat, dan symbol adalah contoh tanda konvensional. Dalam teori semiotika modern saat ini, tanda konvensional dibagi menjadi tanda verbal dan nonverbal-kata dan struktur linguistic lainnya(ekspresi, frasa, dan lain-lain)adalah contoh tanda verbal; gambar dan isyarat adalah contoh tanda nonverbal. Seperti yang ditekankan Santo Augustinus, tanda konvensional memenuhi kebutuhan psikologis fundamental-ia memungkinkan manusia untuk menguraikan dan, karenanya, mengingat dunia. Ia membuat proses berpikir dan pengenalan menjadi cair dan rutin. Artinya, Santon Augutinus mendevenisikan tanda suci seperti mukzizat, sebagai tanda yang memuat pesan dari Tuhan. Hal ini hanya dapat dimesngerti melalui keimanan. Ia juga menekankan bahwa keseluruhan proses memahami makna sebuah tanda, sebagiannya berdasar pada konvensi social, dan sebagian lainnya pada reaksi individual pada konvensi ini. Gagasan ini konsisten dengan tradisi vermeneotika yang telah dikembangkan oleh Clemet dari Alexsandria(150?-215? M), seorang teolog yunani dan pastor perintis gereja tersebut. Dulunya(dan hingga sekarang) ermeoniatika adalah studi tentang teks dengan mempertimbangkan sifat-sifat linguistic dan konteks histories saat teks tersebut ditulis.
Pandangan Santo Augustinus tidak dikenal hingga pada abad ke 11, ketika minat terhadap tanda manusia di bangkitakan kembali oleh sarjana arab yang selalu berpergian, yang telah menerjemahkan karya plato, aristoteles, dan pemikiran-pemikiran lainnya. Hasilnya adalah pergerakan yang dikenal sebagai sekolah stisiswi dengan menggunakan aristoteles sebagai symbol inspirasinya, para pe.ngikut sekolah stisisme menyatakan bahwa tanda mengangkat kebenaran dan bukannya menggonstruksi kebenaran. Namun, dalam pergerakan ini, ada beberapa pengikut-disebut kaum nominalis-yang berargumen bahwa “kebenaran” adalah persoalan pendapat subjektif, dan bahwa tanda hanya dapat menangkap versi kebenaran manusia yang ilusif dan sangat beragam. John Douns Scotus(1266-1308) dan William dari Ockham(1285-1349), misalnya, menekankan bahwa tanda hanya merujuk pada tanda lain bukan pada benda-benda nyata. Tetapi teolog ternama Samto Thomas Aguinas(1225-1234) menegaskan bahwa tanda merujuk pada benda nyata, karena ia diperolah dari impresi indrawi. Namun, seperti Santo Augustinus, Ia menyatakan bahwa tanda suci mengungkap kebenaran yang melampaui pemahaman rasional dan, karenanya, harus diterima dengan kemanan.
Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Istilah yang berasal dari kata Yunani semeion yang berarti ‘tanda’ atau ‘sign’ dalam bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. Semiotik didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta tactile dan olfactory [semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki] ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia).
Awal mulanya konsep semiotik diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui dikotomi sistem tanda:
         signified
         signifier
         signifie dan significant yang bersifat atomistis.
Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara ‘yang ditandai’ (signified) dan ‘yang menandai’ (signifier).Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001:180).
Louis Hjelmslev dikenal dengan teori metasemiotik (scientific semiotics). Sama halnya dengan Hjelmslev, Roland Barthes pun merupakan pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu.
Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader).
Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan tataran pertama.






Istilah teori komunikasi, seperti yang digunakan dalam buku ini, merujuk pada study  mengenai cara pesan diatur sehingga dapat ditukarkan secara efekttif. Sebagai akibatnya, teori komunikasi merupakan perpanjangan dari bidang semiotika, karena ia berkaitan dengan “negosiasi” maka dalam cara yang spesifik. Hal ini berdasarkan gagasan Jacobson bahwa komunikasi diregulasikan oleh faktor-faktor yang personal, social, dan murni semiotika.
Ahli semiotika mencari jawaban pada perihal, cara, dan alasan dari makna. Tetapi apakah makna? Dalam karya mereka pada 1923, berjudul kurang lebih The Meaning Of Meaning (makna sebuah makna), Ogden dan Rechards sampai pada 23 maka dari kata “ meaning”,hal ini menunjukan betapa problematic istilah tersebut.
Kapasitas otak untuk memproduksi dan memahami tanda disebut semiosis, sementara aktivitas membentuk ilmu pengetahuan yang di mungkinkan kapasitas otak untuk dilakukan oleh semua manusia disebut represetasi. Representasi dapat di devenisikan lebih jelasnya sebagai penggunaan tanda (gambar, bunyi, dan lain-lain) untuk menghubungkan, menggambarkan, memotret atau mereproduksi sesuatu yang dilihat, diindera , di babayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik tertentu. Dengan kata lain, proses menaruh X dan Y secarah berbarengan itu sendiri. Menentukan makna X=Y bukanlah pekerjaan yang mudah. Maksud dari peembuat pembentuk, konteks sejarah dan social saat representasi dibuat, tujuan opembuatanya, dan senagainya, merupakan faktor komplks yang masuk dalam sebuah lukisan. Sebenarnya, salah satu dari pelbagai tujuan utama semiotika adalah untuk mempelajari faktor-faktor tersebut. Charles Peirce, menyebut bentuk fisik actual dari representasi, X, sebagai representamen (secarah literal berarti”yang merepresentasikan”). Peirce, mengistilahkan Y yang dirujuknya sebagai objek representasi dan menyebut makna atau makna-makna yang dapat diekstrasi dari representasi (X=Y) sebagai interpretan. Keseluruhan  proses menentukan makna representamen, tentu saja, disebut interpretasi.


  1. Critical Priview
Epistemologi yang berbeda menjadikan setiap aliran memiliki metodologi pengetahuan yang berbeda. Secara kasar; positivis menggunakan teknik-teknik kuantitatif, interpretatif dengan kualitatif, dan teori kritis dengan kualitatif-emansipatorik. Dalam metodologi, ilmu sosial positivisme menggunakan metode empiris-analitis; menggunakan logika deduksi, teknik-teknik penelitian survai, statistika, dan berbagai teknis studi kuantitatif. Humanisme ilmu sosial menggunakan metode historis-hermeneutis; mencakup logika induktif, dan metode penelitian kualitatif. Ilmu sosial kritis mencakup pendekatan emansipatorik; penelitian partisipatorik dan metode kualitatif. Dengan demikian, secara spesifik masing-masing sosiolog memiliki penekanan yang berbeda-beda, walaupun masuk dalam satu aliran. Terlebih dalam humanisme ilmu sosial dan teori kritik. Walaupun sama-sama menekuni makna, Harold Garfinkel menggunakan etnometodologi yang memiliki perbedaan dengan fenomenologi Schutz. Peter Ludwig Berger, yang membidik makna dalam skala lebih luas, menggunakan studi pendekatan sejarah sebagai bagian dari metodologinya (historical approch as his methodology).
Pemosisian Teori Berger Perspektif Peter Ludwig Berger tak dapat dilepaskan dari situasi sosiologi Amerika pada tahun 1960an. Saat itu, dominasi fungsionalisme berangsur menurun, seiring mulai ditinggalkannya pendekatan fungsionalisme oleh para penstudi sosiolog muda. Sosiolog muda beralih ke perspektif konflik atau teori kritis dan humanisme. Karena itu, gagasan Peter L. Berger yang lebih humanis (Max Weber dan Schutz) akan mudah diterima, dan di sisi lain mengambil fungsionalisme (Emille Durkheim) dan konflik (dialektika Marx).
Berger mengambil sikap berbeda dengan sosiolog lain dalam menyikapi ‘perang’ antar aliran dalam sosiologi. Berger cenderung tidak melibatkan dalam pertentangan antar paradigma, namun mencari benang merah, atau mencari titik temu gagasan Marx, Durkheim dan Weber. Benang merah itu pada akhirnya bertemu pada tatanan sejarah. Selain itu, benang merah itu yang kemudian menjadikan Berger menekuni pemaknaan arti Schutz yang menghasilkan watak ganda masyarakat, dimana masyarakat sebagai kenyataan subyektif menurut Max Weber, dan juga masyarakat sebagai kenyataan obyektif menurut Emille Durkheim, yang terus berdialektika (Karl Marx). Lalu, dimana pemosisian teori Berger? Apakah masuk dalam positif, humanis, atau kritis?
Dalam bukunya, Peter Ludwig Berger secara tegas mengatakan bahwa Sosiologi, ”merupakan suatu disiplin yang humanistik”. Hal ini senada dengan Poloma yang menempatkan teori konstruksi sosial Berger dalam corak interpretatif atau humanis. Hanya saja, pengambilan Peter L. Berger terhadap paradigma fakta sosial Emille Durkheim menjadi kontroversi ke-humanisan-nya. Pengambilan itu pula yang membuat Douglas dan Johnson menggolongkan Peter L. Berger sebagai Durkheimian, dimana, ”Usaha Berger dan Luckmann merumuskan teori konstruksi sosial atas realitas, pada pokoknya merupakan usaha untuk memberi justifikasi gagasan Durkheim berdasarkan pada pandangan fenomenologi”. Selain itu, walaupun Berger mengklaim bahwa pendekatannya adalah non-positivistik, namun ia mengakui jasa positivisme, terutama dalam mendefinisikan kembali aturan penyelidikan empiris bagi ilmu-ilmu sosial.
Upaya yang paling aman dan lebih tepat dalam menggolongkan sosiolog tertentu, adalah dengan menempatkan sosiolog dalam pemosisian dirinya sendiri. Dengan mendasari dari pemikiran interaksionisme simbolik, bahwa setiap orang adalah spesifik dan unik. Demikian halnya sosiolog, sebagai seorang manusia, tentu memiliki pemikiran yang unik dan spesifik. Namun hal ini bukan menempatkan sosiolog terpisah dan tidak tercampuri oleh sosiolog lain. Karena itu yang lebih tepat dilakukan adalah dengan mencari jaringan pemikiran dan teori antar sosiolog, bukan menggolong-golongkannya. Dalam kasus Berger, maka pemikiran sosiolog sebelumnya yang begitu mempengaruhi teorinya sebagaimana digambarkan di atas adalah Max Weber, Emile Durkheim, Karl Marx, dan Schutz, serta George Herbert Mead. Pengaruh Weber nampak pada penjelasannya akan makna subyektif yang tak bisa diacuhkan ketika mengkaji gejala yang manusiawi. Tentang dialektika (individu adalah produk masyarakat, masyarakat adalah produk manusia), Peter L. Berger rupanya meminjam gagasan Marx. Sedangkan masyarakat sebagai realitas obyektif, yang mempunyai kekuatan memaksa, sekaligus sebagai fakta sosial, adalah sumbangan pemikiran Emille Durkheim. Schutz rupanya lebih mewarnai dari tokoh lainnya, terutama tentang makna dalam kehidupan sehari-hari (common sense). Secara umum, dalam masalah internalisasi, termasuk tentang ’I’ and ’Me’ dan significant others, Mead menjadi rujukan Peter L. Berger.
Pembahasan mengenai makna sangat nampak dalam Interaksionisme Blumer. Teori Blumer bertumpu pada tiga premis utama yang melibatkan makna, yaitu :
1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada   pada sesuatu itu bagi mereka
2. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain
3. Makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial berlangsung.
Bagi Harold Garfinkel, setiap orang bergulat untuk menangkap pengalaman sosialnya sedemikian rupa sehingga pengalaman itu “punya/memiliki arti”. Etnometodologi Harold Garfinkel menyangkut isu realitas common sense di tingkat individual. Hal itu berbeda dengan Berger, yang menganalisa pada tingkat kolektif.
Berger banyak “berhutang budi” pada fenomenologi Alfred Schutz, sebagaimana juga Harold Garfinkel, terlebih dalam hal “pengetahuan” dan ”pemaknaan arti”. Schutz menjelaskan tiga unsur pengetahuan yang membentuk pengertian manusia tentang masyarakat, yakni: dunia sehari-hari, sosialitas, dan makna. Dunia sehari-hari adalah orde tingkat satu dari kenyataan (the first order of reality). Ia menjadi dunia yang paling fundamental dan esensial bagi manusia. Sosialitas berpijak pada teori tindakan sosial Max Weber. Social action yang terjadi setiap hari selalu memiliki makna-makna. Atau, berbagai makna senantiasa mengiringi tindakan sosial, dimana di balik tindakan sosial pasti muncul dan ada berbagai makna yang bersembunyi atau melekat (hidden agenda).
Sumbangan Schutz yang utama bagi gagasan fenomenologi, terutama tentang makna dan bagaimana makna membentuk struktur sosial, adalah tentang “makna” dan “pembentukan makna”. Orde asasi dari masyarakat adalah dunia sehari-hari, sedangkan makna dasar bagi pengertian manusia adalah dunia akal sehat (common sense). Dunia akal sehat terbentuk dalam percakapan sehari-hari. Common sense merupakan pengetahuan yang ada pada setiap orang dewasa yang sadar. Pengetahuan ini didapatkan individu secara sosial melalui sosialisasi dari dan melalui orang-orang sebelumnya, terlebih dari orang-orang lain yang dikenalnya (significant others). Common sense terbentuk dari tipifikasi yang menyangkut pandangan dan tingkah laku, serta pembentukan makna. Hal ini terjadi karena individu-individu yang terlibat dalam komunikasi melalui bahasa dan interaksi sosial kemudian membangun semacam sistem relevansi kolektif.

















BAB III
PENUTUP
    1. Kesimpulan
Tanda adalah sesuatu yang dikaitkan pada seseorang untuk sesuatu  dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda menunjuk pada seseorang, yakni menciptakan di benak orang tersebut suatu tanda yang setara, atau barang kali suatu tanda yang lebih berkembang. Tanda yang diciptakannya saya namakan interpretant dari tanda yang pertama. Tanda itu menunjukan sesuatu, yakni objeknya”   Tanda :Tripologi tanda (ikon, indexs simbol) 
tanda mengacu pada sesuatu diluar dirnya sendiri—objek—dan ini dipahami oleh seseorang serta memiliki efek di benak penggunanya—interpretant—kita mesti menyadari bahwa interpretant bukanlah pengguna tanda, namun Pierce menyebutnya dimana-mana efek pertandaan yang tepat, yaitu konsep mental yang dihasilkan baik oleh tanda maupun pengalaman pengguna terhadap objek.
         Simbol, adalah tanda yang memiliki hubungan dengan objeknya berdasarkan konvensi, kesepakatan, atau aturan. Makna dari suatu simbol ditentukan oleh suatu persetujuan  bersama, atau diterima oleh umum sebagai suatu kebenaran. Lampu lalu lintas adalah simbol, warna merah berhenti, hujau berarti jalan, palang merah adalah simbol yang maknanya diterima sebagai suatu kebenaraan melalui konvensi atau aturan dalam kebudayaan yang telah disepakati. Katagori-katagori tersebut tidaklah terpisah dan berbeda. Satu tanda bisa saja kumpulan dari berbagai tipe tanda.
Jauh sebelum merebaknya model iklan politik yang membuat ruang publik kita semakin tidak nyaman, sebenarnya iklan-iklan komersial yang memenuhi hampir sebagian besar pemandangan keseharian kita patut dicurigai sebagai polusi ruang publik. Sayangnya, sebagian besar warga masyarakat kita menganggap bahwa merebaknya baliho-baliho raksasa di berbagai sudut strategis kota adalah bagian dari resiko perkembangan dan kemajuan sebuah kota. Tidak banyak dari warga masyarakat kita yang mencoba berpikir secara kritis dan mempertanyakan haknya sebagai warga kota untuk mendapatkan pemandangan yang membuat mata dan pikiran lebih nyaman.
Di mana kita dapat menemukan ujung jalan atau persimpangan lampu merah yang bebas dari iklan? Rasanya semakin mustahil kita menemukan tempat-tempat umum yang steril dari baliho dan berbagai bentuk iklan media luar ruang lainnya. Jika kita merujuk apa yang disebut Habermas sebagai ruang publik yang bebas (free public sphere), maka kenyataan tentang bebasnya siapa saja menggunakan ruang-ruang publik untuk mengaktualisasi dan mengagregasi kepentingan masing-masing, dugaan itu mendekati kebenaran. Tetapi jika kita mencermati lebih jauh, semrawutnya ruang-ruang kota dengan perkembangan baliho iklan yang semakin tidak terkendali, menjelaskan pada kita adanya relasi kuasa. Kondisi tersebut menurut Max Weber adalah Suatu tindakan perilaku manusia yang mempunyai makna subjektif bagi pelakunya.
Iklan, konsep awalnya adalah salah satu upaya menawarkan produk dan jasa kepada masyarakat luas dengan harapan akhir terjadi transaksi penjualan. Iklan melalui media utama seperti media cetak dan elektronik ternyata dianggap belum mampu membidik semua segmen pasar produk atau jasa yang ditawarkan oleh industri. Maka media luar ruang dirambah iklan dengan spanduk, baliho atau baner dengan berbagai ragam ukuran dan bentuk. Ragam terbaru, iklan media luar ruang menggunakan video elektronik (videotron). Dalam perkembangannya, media luar ruang menjadi tumbuh seperti tidak terkendali dan hampir semua ruang kosong yang dianggap strategis dan memiliki tangkapan mata (eye catch) yang kuat laris manis dimakan iklan.
Walaupun Peter L. Berger berangkat dari pemikiran Schutz, namun Berger jauh keluar dari fenomenologi Schutz, yang hanya berkutat pada makna dan sosialitas. Karena itu garapan Berger tak lagi fenomenologi, melainkan sosiologi pengetahuan. Namun demikian, Berger tetap menekuni makna, tapi dalam skala yang lebih luas, dan sekali lagi menggunakan studi sosiologi pengetahuan. Dalam studi ini, Berger juga memperhatikan makna tingkat kedua, yakni legitimasi. Legitimasi adalah pengetahuan yang diobyektivasi secara sosial yang bertindak untuk menjelaskan dan membenarkan tatanan sosial. Legitimasi merupakan obyektivasi makna tingkat kedua, dan merupakan pengetahuan yang berdimensi kognitif dan normatif, karena tidak hanya menyangkut penjelasan tetapi juga nilai-nilai moral (morality values). Legitimasi, dalam pengertian fundamental, memberitakan apa yang seharusnya ada atau terjadi dan mengapa terjadi. Berger mencontohkan, tentang moral-moral kekerabatan, “Kamu tidak boleh tidur dengan X”, karena “X adalah saudarimu, dan kamu adalah saudari X”. Jika dikaitkan dengan norma dalam Islam, maka legitimasi itu misalnya, “Kamu tidak boleh ‘berhubungan’ dengan X, karena dia bukan istrimu, dan jika engkau melakukan itu, maka engkau telah berzina, telah melakukan perbuatan dosa yang besar”.

    1. Daftar Pustaka
Ritzer, George, Sosiologi Berparadigma Ganda, terjemahan Alimandan, Jakarta: Rajawali Press, 1990”
”Susilo, Rachmad K. Dwi. 2008. 20 Tokoh Sosiologi Modern, Biografi para Peletak Sosiologi Modern. Yogyakata: AR-RUZZ MEDIA”
“Marcel Danesi, JALASUTRA 2010. Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi, PESAN TANDA dan MAKNA”.