Selasa, 14 Februari 2017

korupsi (teori pertukaran sosial)


TEORI ANTROPOLOGI
“EXAM TAKE HOME”

O
L
E
H


RIDWAN BIN TAHER
1369216005


PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
PASCA SARJANA UNPATTI
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2017




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Deskripsi
Kata Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan,  dan merugikan kepentingan umum. Korupsi menurut Huntington (1968) adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi[1]. Maka dapat disimpulkan korupsi merupakan perbuatan curang yang merugikan Negara dan masyarakat luas dengan berbagai macam modus.
Banyak para ahli yang mencoba merumuskan korupsi, yang jka dilihat dari struktrur bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang sama. Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara[2]. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatankekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman. Wertheim (dalam Lubis, 1985) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah[3]. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiahdalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi. Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan yang demikian, jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi adalah tingkah laku pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi dengan masyarakat.
Korupsi adalah suatu tindak pidana yang memperkaya diri yang secara langsung merugikan negara atau perekonomian negara. Jadi, unsur dalam perbuatan korupsi meliputi dua aspek. Aspek yang memperkaya diri dengan menggunakan kedudukannya dan aspek penggunaan uang Negara untuk kepentingannya. Adapun penyebabnya antara lain, ketiadaan dan kelemahan pemimpin,kelemahan pengajaran dan etika, kolonialisme, penjajahan rendahnya pendidikan, kemiskinan, tidak adanya hukuman yang keras, kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku korupsi, rendahnya sumber daya manusia, serta struktur ekonomi.Korupsi dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu bentuk, sifat,dan tujuan. Dampak korupsi dapat terjadi di berbagai bidang diantaranya, bidang demokrasi, ekonomi, dan kesejahteraan negara.

B.     Masalah
Di Indonesia Korupsi dikenal sangat merugikan perekonomian Negara, korupsi menjadi salah satu   penyakit masyarakat sangat sulit diberantas. Hal ini dikarenakan korupsi menjadi jalan pintas sebagian orang untuk memiliki kekayaan secara instan.
Dalam kesempatan ini penulis akan menganalisi mengapa korupsi selalu menjadi kejahatan yang sulit diberantas berdasarkan kacamata teori sosial diantaranya:
a.       Teori Pertukaran
b.      Teori Jaringan

C.    Kajian Teori
a.      Teori Pertukaran
George C. Homans dan Peter M. Blau merupakan seorang pemikir yang memberikan sumbangan pemikiran sosiologis yang paling terkenal pada teori pertukaran sosial. Walaupun Blau terlihat menerima banyak psikologi-perilaku dari Homans sebagai dasar karyanya, tapi dari pengamatan yang mendalam bahwa perbedaan antara mereka jauh lebih besar daripada kesamaan yang terlihat di permukaan. Blau juga berusaha mengembangkan sebuah teori yang menggabungkan tingkah laku sosial dasar manusia dengan struktur masyarakat yang lebih luas, yakni antara kelompok, organisasi atau Negara. Konsep Blau mengenai pertukaran sosial “terbatas kepada tingkah laku yang menghasilkan ganjaran atau imbalan, yang artinya tingkah laku akan berhenti bila pelaku tersebut berasumsi bahwa dia tidak akan mendapat imbalan lagi”[4].
Menurut Blau, banyak orang tertarik pada satu sama lain karena banyak alasan yang memungkinkan mereka membangun sebuah asosiasi sosial atau sebuah organisasi sosial. Begitu ikatan awal sudah terbentuk maka ganjaran yang mereka berikan kepada sesamanya dapat berfungsi untuk mempertahankan dan menguatkan ikatan itu. Blau menekankan tentang adanya perbedaan yang mendasar antara jenis dua bentuk pertukaran, yakni dunia mikro dan dunia makro yang kemudian digarisbawahi tentang ketidakseimbangan kekuasaan yang menyebakan terjadinya pembagian tugas
Dalam masyarakat luas, ketiadaan interaksi secara langsung antara anggota-anggota asosiasi menyebabkan harus dibuatnya sebuah sarana atau mekanisme yang menengahi atau mengantarai interaksi mereka. Menurut Blau, sarana atau mekanisme yang tepat adalah norma-norma dan nilai-nilai yang ada dalam kehidupan masyarakat itu sendiri[5]
Norma dalam hal ini digunakan sebagai alat tukar yang menggantikan pertukaran secara tidak langsung menjadi pertukaran yang langsung, seperti yang dilakukan oleh seseorang dalam masyarakat, dia harus melakukan konformitas agar ia mendapat pengakuan dari masyarakat. Bila norma digunakan sebagai sarana pertukaran antara individu dengan masyarakat, maka nilai digunakan sebagai alat pertukaran antara kelompok dengan kelompok, dalam contoh negative sepert halnya suporter sepak bola, bila di kandang lawan mereka mendapat respon yang buruk maka hal itu juga akan terjadi saat suporter lawan bertandang ke markas mereka.
Blau mendefinisikan 4 tipe dasar nilai, yaitu nilai yang bersifat khusus sebagai media untuk berintegrasi dan solidaritas, dan berfungsi menyatukan kelompok ke dalam, kedua yaitu nilai yang bersifat universal, dan berstandard umum untuk terjadinya pertukaran secara tidak langsung dan memunculkan adanya imbalan yang seimbang, ketiga yaitu nilai yang melegitimasi otoritas yang berfungsi sebagai alat control sosial, dan nilai yang bersifat oposisi yang menginginkan sebuah kemajuan yang lebih efektif dengan cara kontak pribadi atau dengan orang-orang untuk melawan kemapanan yang sudah ada.
Pada intinya, konsep yang diungkapkan Blau membawa kita jauh dari teori pertukaran Homans yang menitikberatkan hubungan tingkah laku individu. Blau menggunakan istilah masyarakat, kelompok, norma-norma, dan nilai-nilai untuk menjelaskan masalah apa yang dapat membagi dan mempersatukan masyarakat dengan bertolak pada keprihatinan yang ada dalam paradigma fakta sosial yang telah dibahas dalam teori fungsionalisme struktural.
b.      Teori Jaringan
Jaringan sosial memiliki konsep menunjukan suatu hubungan sosial yang diikat oleh adanya kepercayaan dan kepercayaan itu dipertahankan dan dijaga oleh norma-norma yang ada. Pada dasarnya jaringan sosial terbentuk karena adanya rasa saling tahu, saling menginformasikan, saling mengingatkan, dan saling membantu dalam melaksanakan ataupun mengatasi sesuatu[6].
Teori jaringan sosial menilai bahwa setiap aktor (individual atau kelompok) memiliki akses berbeda terhadap sumber daya (kekayaan, kekuasaan, informasi).
Beberapa pakar antropologi maupun sosiologi dari beberapa literatur mengatakan, jaringan sosial dapat di bedakan dalam tiga jenis yaitu :
a)      Pertama, Jaringan interest (kepentingan), terbentuk dari hubungan-hubungan sosial yang bermuatan kepentingan.
b)      Kedua, Jaringan power, hubungan-hubungan sosial yang membentuk jaringan bermuatan power. Power disini merupakan kemampuan seseorang atau unit sosial untuk mempengaruhi perilaku dan pengambil keputusan orang atau unit sosial lainnya melalui pengendalian.
c)      Ketiga, Jaringan sentiment (emosi), jaringan ini terbentuk atas dasar hubungan-hubungan sosial yang bermuatan emosi, misalnya; percintaan, pertemanan atau hubungan kerabat, dan sejenisnya. Struktur sosial yang terbentuk dari hubungan-hubungan emosi pada umumnya lebih mantap atau permanen.
Ketiga tipe jaringan sosial ini dalam kehidupan nyata sering kali berpotongan. Pertemuan-pertemuan tersebut membangkitkan suatu ketegangan bagi pelaku yang bersangkutan karena logika situasional atau struktur sosial dari masing-masing tipe jaringan berbeda atau belum. sesuai satu sama lain. Oleh karena itu, seringkali terlihat kontradiksi antara tindakan-tindakan dengan sikap yang pelaku wujudkan.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Korupsi dalam Prespektif Teori Pertukaran
Blau menyatakan bahwa terjadi tarik menarik yang mendasar antara pelaku-pelaku sosial tersebut yang menyebabkan terjadinya teori pertukaran sosial, dan dia menggunakan paradigma yang terdapat dalam karya Homans untuk menjelaskan mengenai ketimpangan kekuasaan. Ketimpangan kekuasaan terjadi karena ketidakseimbangan ganjaran yang diberikan antara pihak satu dengan pihak lain. Blau mengatakan bahwa ‘sementara yang lain dapat diganjar dengan cara yang memadai melalui pengungkapan kepuasan telah menolongnya, maka pihak yang ditolong itu tidak harus memaksa dirinya dan menghabiskan waktunya untuk membahas pertolongan dari penolongnya’[7]
Namun dibalik itu, ganjaran yang tidak seimbang juga dapat memperlemah atau bahkan menghancurkan asosiasi itu sendiri yang akan melahirkan sebuah eksploitasi kekuasaan. Ganjaran yang dimaksud dalam ini pertama adalah ganjaran yang bersifat Intrinsik, seperti cinta, kasih sayang, afeksi, dan lain-lain. Ganjaran yang kedua adalah ganjaran yang bersifat ekstrinsik, seperti uang, barang, dan bahan material lainnya, karena setiap kelompok tidak dapat memberikan ganjaran secara seimbang, maka disitulah ketimpangan kekuasaan terjadi.
Berbicara tentang Korupsi identik dengan kekuasaan, penyalahgunaan wewenang ataupun kekayaan. Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mendapatkan keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara.
Menurut Teori pertukaran sosial korupsi merupakan buah dari terjadinya ketimpangan sosial di dalam proses bermasyarakat. Seseorang dalam kehidupan bermasyarakat wajib melakukan interaksi dengan manusia yang lain apabila ingin menjaga kelangsungan hidupnya di masa mendatang. Begitu juga dalam tindakan seseorang individu untuk memiliki kekuasaan ataupun memiliki kekuatan dalam hal ini wewenang dan kekayaan.
Teori Pertukaran Sosial adalah teori yang memandang hubungan interpersonal sebagai suatu transaksi dagang. Jadi, orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Perumusan tersebut mengasumsikan bahwa interaksi manusia melibatkan pertukaran barang dan jasa, dan bahwa biaya atau suatu elemen dalam hubungan yang bersifat negatif (cost), pengambilan keputusan antara akan melanjutkan hubungan atau mengakhirinya (outcome), dan imbalan, atau elemen dalam hubungan yang bersifat positif (reward), dipahami dalam situasi yang akan disajikan untuk mendapatkan respon dari individu-individu selama interaksi sosial.
Jika imbalan dirasakan tidak cukup atau lebih banyak dari biaya, maka interaksi kelompok akan diakhiri atau individu-individu yang terlibat akan mengubah perilaku mereka untuk melindungi imbalan apa pun yang mereka cari. Pendekatan pertukaran sosial ini penting karena berusaha menjelaskan fenomena kelompok dalam lingkup konsep-konsep ekonomi dan perilaku mengenai biaya dan imbalan. Makin tinggi nilai hasil suatu perbuatan bagi seseorang, makin besar pula kemungkinan perbuatan itu diulanginya kembali. Asumsi Teori Pertukaran Sosial mengenai keadaan manusia (human nature)[8]:
1)      manusia mencari keuntungan dan menghindari hukuman;
2)      manusia sebagai mahluk rasional;
3)      standar-standar manusia menggunakan evaluasi biaya dan keuntungan dari waktu ke waktu    dan dari orang per orang.
Misalnya, pihak pertama membutuhkan jasa pihak kedua, dan pihak kedua tidak memberikan bantuan sebagaimana mestinya maka pihak pertama akan memiliki tiga alternatif pilihan, antara lain pihak pertama akan menekan pihak kedua untuk memberikan bantuannya, lalu pihak pertama akan mencari bantuan agar mendapatkan bantuan dari pihak yang lain, dan pihak pertama akan berusaha semaksimal mungkin dengan berbagai cara walau tanpa bantuan dari pihak manapun. Namun, bila semua pilihan itu tidak juga berhasil, maka pihak pertama hanya memiliki satu pilihan terakhir, yaitu menyerahkan diri kepada pihak yang mampu memberikan bantuan kepada pihak pertama tersebut yang akhirnya dapat menimbulkan sebuah perbedaan antara pihak-pihak yang memberi bantuan dengan pihak-pihak yang diberikan bantuan dengan persentase kekuasaan terbesar ada pada pihak yang memberi bantuan.
Contoh Kasus : Gartifikasi Lurah menerima suap dari pihak  pemilik modal.
·         Seorang calon lurah atau kepala desa pada saat kampanye memberikan visi- misinya atau janji kepada masyarakat akan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat desa yang akan dipimpinnya.
·         Setelah menjabat jadi lurah atau kepala desa, dia mengingkari janjinya untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat dan memajukan desa.
·         Lurah tersebut melakukan tindakan penyalahgunaan jabatan dengan cara membuat keputusan yang merugikan warga masyarakat yakni menyetujui pembanguan proyek ditanah milik masyarakat, yang menyebabkan sebagian penduduk kehilangan tempat tinggalnya atau diusir.
·         Salah satu masyarakat yang terusir atau dirugikan adalah selingkuhan lurah.
·         Pemilik proyek memberikan suap kepada lurah dalam pengambilan keputusan persetujuan.
Berdasarkan kasus tersebut, hal yang dapat disimpulkan adalah Janji politik yang disampaikan Calon Lurah kepada masayarakat sebagai syarat  untuk dipilih menjadi Lurah. Akan tetapi terjadi ketimpangan perilaku setelah individu tersebut mempunyai wewenang dan kekuasaan sebagai seorang Lurah, yakni mengeluarkan kebijakan yang merugikan kepentingan masyarakat. Maka terjadilah suatu pertukaran sosial yang negatif dimana Jasa masyarakat (dalam hal ini suara) yang mengangkatnya sebagai Lurah tidak sesuai dengan perilaku sang Lurah terhadap msayarakat.
Transaksi politik dianggap lumrah terjadi di Indonesia, hal tersebut adalah salah satu pemicu terjadinya Korupsi. Bayang-bayang kekuasaan dan kekayaan seakan-akan memaksa individu untuk melakukan transaksi politik demi menduduki suatu jabatan. Ketimpangan sosial pun terjadi ketika individu tersebut terjebak dalam tindakan balas jasa yang membawa dia kepada pemegang kekuasaan tertentu.

B.     Korupsi dalam Prespektif Teori Jaringan
Teori jaringan termasuk bagian dasarnya kapital sosial, terdiri dari tiga dimensi utama yakni kepercayaan (trust), norma, dan jaringan (network). Berdasar sifatnya, kapital sosial dapat bersifat mengikat (bonding), menyambung (bridging), dan bisa pula bersifat mengait (linking).
Jaringan sosial merupakan suatu jaringan tipe khusus, dimana ikatan yang menghubungkan satu titik ke titik lain dalam jaringan adalah hubungan sosial. Hubungan sosial bisa dipandang sebagai sesuatu yang seolah-olah merupakan sebuah jalur atau saluran yang menghubungkan antara satu orang (titik) dengan orang-orang lain dimana melalui jalur atau saluran tersebut bisa dialirkan sesuatu, misalnya barang, jasa, dan informasi. Hubungan sosial antara dua orang mencerminkan adanya pengharapan peran dari masing-masing lawan interaksinya.
Jaringan sosial menjadi penting di dalam masyarakat karena di dunia ini bisa dikatakan tidak ada manusia yang tidak menjadi bagian dari jaringan-jaringan hubungan sosial. Walaupun begitu manusia tidak selalu menggunakan semua hubungan sosial yang dimilikinya dalam mencapai tujuan-tujuannya, tetapi disesuaikan dengan ruang dan waktu atau konteks sosialnya[9].
Sedangkan dalam usaha individu untuk mencapai tujuan perlu adanya jaringan yang kuat agar peran dari jaringan yang si individu bangun, dapat menjamin keinginannya untuk memiliki kekuasaan dan wewenang.
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Menurut Robert M.Z. Lawang (2004:50-54), jaringan merupakan terjemahan dari network, yang berasal dari dua suku kata yaitu net dan work. Net diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai jaring, yaitu tenunan seperti jala, erdiri dari banyak ikatan antar simpul yang saling terhubung antara satu dengan yang lain. Sedangkan kata work berarti makana sebagai kerja. Gabungan kata net dan work, sehingga menjadi network, yaitu penekanannya terlettak pada kerja bukan jaring, dimengeti sebagai kerja (bekerja) dalam hubungannya antara simpul-simpuk seperti halnya jaring (net).
Organisasi adalah kumpulan manusia yang saling berhubungan satu sama lain sehingga membentuk suatu jaringan. Manusia adalah makhluk yang tidak bisa mencukupi kebutuhannya sendiri. Manusia memerlukan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu manusia hidup berorganisasi untuk saling bekerjasama memenuhi kebutuhan hidupnya. Jaringan di dalam organisasi bertujuan untuk menganalisis perilaku manusia karena manusia satu akan mempengaruhi yang lainnya.
Menurut A.H. Maslow, situasi-situasi organisasi baik secara langsung maupun tidak langsung berasal dari hierarki kebutuhan manusia. Inti dari teori Maslow adalah bahwa kebutuhan itu tersusun dalam sebuah hierarki. Kebutuhan manusia dibagi menjadi dua, yaitu kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder. Kebutuhan primer yairu kebutuhan Psikologis seperti rasa haus, lapar dan seksual. Kemudian jika kebutuhan tersebut telah terpenuhi maka muncullah kebutuhan tingkat ordo yaitu kebutuhan psikologis, sosial atau kebutuhan sekunder. Kebutuhan sekunder seperti kebutuhan akan keamanan, kesetiakawanan, pengakuan, harga diri dan aktualisasidiri. Teori Maslow mengemukakan bahwa manusia akan berusaha memenuhi kebutuhan yang lebih pokok (primer) sebelum memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi (sekunder). Hal terpenting dalam pemikiran Maslow adalah bahwa kebutuhan yang telah dipenuhi terhenti daya motivasinya. Apabila orang memutuskan bahwa upahnya dari organisasi sudah cukup tinggi maka uang tidak mempunyai daya motivasi lagi.
Dalam literatur sosiologi lazim disebutkan bahwa tindakan korupsi sedikitnya melibatkan empat komponen penting yaitu: birokrat, politisi, pelaku bisnis, dan masyarakat. Mereka melakukan tindakan terencana dan sistematis memindahkan harta publik (milik rakyat) menjadi harta privat. Mereka juga memanfaatkan harta publik untuk kepentingan pribadi, baik dengan memfaatkan kelemahan regulasi maupun dengan melanggar peraturan-peraturan yang berlaku. Jaringan sosial yang mereka beragam, bergantung pada asal inisiatif korupsi (inisiatif siapa), pihak-pihak yang ditempatkan sebagai perantara, dan mekanisme yang dipergunakan untuk memindahakan atau memanfaatkan harta publik yang dikorupsi.
Di negara berkembang seperti Indonesia, inisiatif korupsi sesungguhnya tidak hanya datang dari birokrat atau politisi. Tetapi bisa juga dari agen-agen berbagai lembaga donor. Agen-agen ini muncul bersamaan dengan praktek-praktek korporasi multinasional (transnational practices) yang secara sistematis mempengaruhi arah kebijakan publik di negara-negara berkembang. Kebijakan publik diarahkan sedemikian rupa sehingga sesuai dengan skenario besar mereka
Banyak pengamat menengarai bahwa besaran korupsi dan jumlah koruptor di negara-negara berkembang sejajar dengan besaran dana dan jumlah lembaga donor yang masuk ke negara-negara tersebut. Artinya kehadiran lembaga donor sesungguhnya ikut menyuburkan korupsi, terutama ketika lembaga-lembaga peradilan tidak memiliki kapasitas dan integritas yang kuat dalam mencegah dan memberantas tindakan korupsi[10].
Contoh Kasus
Kejari Sidoarjo Konfrontasi Belasan Kades dengan Penerima Dana Bansos
Metrotvnews.com, Sidoarjo: Kejaksaan Negeri Sidoarjo, Jawa Timur, memeriksa dua orang terkait kasus korupsi dana bantuan sosial (bansos) 2013. Keduanya disebut-sebut sebagai koordinator penerimaan dana bansos.
Pemeriksaan berlangsung di Kantor Kejari Sidoarjo, Senin 23 Januari. Penyidik mengkonfrontasi mereka dengan 15 kepala desa yang menjadi saksi dalam kasus tersebut.
Kepala Kejari Sidoarjo M Sunarto menyebutkan dua orang itu bernama drg Anang dan Sugik. Anang merupakan mantan Kepala Desa Kepatihan, Kecamatan Tulangan. "Kami konfrontasi untuk mempercepat proses penyidikan," kata Sunarto.
Sebelumnya, penyidik Kejaksaan Negeri Sidoarjo menaikkan status pemeriksaan dari penyelidikan menjadi penyidikan. Sebanyak 32 kepala desa dan anggota kelompok masyarakat yang diperiksa. (RRN)[11]
Berdasarkan panggalan kasus korupsi di atas, diduga adanya usaha korupsi yang dilakukan secara bersam-sama. Hal tersebut membuktikan adanya hubungan sosial yang dibangun antara pemangku kekuasaan, dalam hal ini Kepala Desa dalam usaha menyalahgunakan bantuan sosial yang bertujuan meningkatkan pundi-pundi kekayaan masing-masing.
Jaringan korupsi masal ini, dicurigai bukan hanya berasal dari pemilik kekuasaan saja akan tetapi melibatkan anggota masyarakat yang ikut bekerjasama dalam suatu jaringan sosial demi mendapatkan keuntungan masing-masing pelaku korupsi. Maka demikian korupsi bukan hanya bisa dilakukan secara inividu tetapi bisa dilakukan secara bersama-sama demi menyembunyikan perbuatan mereka. Maka perlu adanya jaringan sosial yang kuat antar sesama pelaku korupsi demi memudahkan keinginan mereka memiliki kekayaan.



DAFTAR PUSTAKA

George Ritzer & Douglas J. Goodman, 2004, Teori Sosiologi Modern, Jakarta:Prenada Media
Kartono, Kartini, 1983, Pathologi Sosial, Edisi Baru, Jakarta:CV. Rajawali Press.
Lubis, Mochtar, 1985, Bunga Rampai Korupsi, Jakarta:LP3ES
Poloma, Margaret M, 1994, Sosiologi Kontemporer, Jakarta:PT. Raja Grafindo
Raho, Bernard, 2007, Teori Sosiologi Modern, Jakarta:Prestasi Pustaka
R.M.Z Lawang, 2005, Kapital Sosial Dalam Perspektif Sosiologi, Jakarta:FISIP UI Press
Ruddy Agusyanto, 2007, Jaringan Sosial Dalam Organisasi, Jakarta:Raja Grafindo
Zeitlin, Irving, 1995, Memahami Kembali Sosiologi, Yogyakarta:UGM Press




[1] Huntington, Samuel P. 1968, “Gelombang Demokratisasi Ketiga”.  PT. Pustaka Utama Grafiti:Jakarta
[2] Kartono, Kartini. 1983. Pathologi Sosial. Jakarta. Edisi Baru. CV. Rajawali Press.
[3] Lubis, Mochtar, 1985. Bunga Rampai Korupsi, LP3ES, Jakarta
[5] Irving M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi, Yogyakarta : UGM Press, 1995, hlm 121.
[6] Diakses Pada http://ensiklo.com/2015/10/teori-jaringan-sosial/ Tgl 30/1/2017 Jam 22:23
[7] Irving M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi, Yogyakarta : UGM Press, 1995, hlm 121.
[9] Di akses pada : http://ensiklo.com/2015/10/teori-jaringan-sosial/ tgl 31/1/2017 Jam 5:56

Tidak ada komentar:

Posting Komentar