TEORI
ANTROPOLOGI
“EXAM
TAKE HOME”
O
L
E
H
RIDWAN
BIN TAHER
1369216005
PROGRAM
STUDI SOSIOLOGI
PASCA
SARJANA UNPATTI
UNIVERSITAS
PATTIMURA
AMBON
2017
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Deskripsi
Kata
Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk,
rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Menurut Dr. Kartini Kartono,
korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna
mengeduk keuntungan, dan merugikan
kepentingan umum. Korupsi menurut Huntington (1968) adalah perilaku pejabat
publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan
perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi[1].
Maka dapat disimpulkan korupsi merupakan perbuatan curang yang merugikan Negara
dan masyarakat luas dengan berbagai macam modus.
Banyak
para ahli yang mencoba merumuskan korupsi, yang jka dilihat dari struktrur
bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai
makna yang sama. Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku
individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan
pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara[2].
Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi
keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan
menggunakan wewenang dan kekuatankekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum
dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Korupsi
terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki
oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan
pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman. Wertheim (dalam Lubis, 1985)
menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia
menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil
keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah[3].
Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiahdalam bentuk balas jasa juga termasuk
dalam korupsi. Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak
ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada
keluarganya atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai
hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan
yang demikian, jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi adalah
tingkah laku pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan pribadi
dengan kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi dengan masyarakat.
Korupsi
adalah suatu tindak pidana yang memperkaya diri yang secara langsung merugikan
negara atau perekonomian negara. Jadi, unsur dalam perbuatan korupsi meliputi
dua aspek. Aspek yang memperkaya diri dengan menggunakan kedudukannya dan aspek
penggunaan uang Negara untuk kepentingannya. Adapun penyebabnya antara lain,
ketiadaan dan kelemahan pemimpin,kelemahan pengajaran dan etika, kolonialisme,
penjajahan rendahnya pendidikan, kemiskinan, tidak adanya hukuman yang keras,
kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku korupsi, rendahnya sumber daya
manusia, serta struktur ekonomi.Korupsi dapat diklasifikasikan menjadi tiga
jenis, yaitu bentuk, sifat,dan tujuan. Dampak korupsi dapat terjadi di berbagai
bidang diantaranya, bidang demokrasi, ekonomi, dan kesejahteraan negara.
B. Masalah
Di
Indonesia Korupsi dikenal sangat merugikan perekonomian Negara, korupsi menjadi
salah satu penyakit masyarakat sangat
sulit diberantas. Hal ini dikarenakan korupsi menjadi jalan pintas sebagian
orang untuk memiliki kekayaan secara instan.
Dalam
kesempatan ini penulis akan menganalisi mengapa korupsi selalu menjadi
kejahatan yang sulit diberantas berdasarkan kacamata teori sosial diantaranya:
a.
Teori Pertukaran
b.
Teori Jaringan
C. Kajian Teori
a.
Teori
Pertukaran
George
C. Homans dan Peter M. Blau merupakan seorang pemikir yang memberikan sumbangan
pemikiran sosiologis yang paling terkenal pada teori pertukaran sosial.
Walaupun Blau terlihat menerima banyak psikologi-perilaku dari Homans sebagai
dasar karyanya, tapi dari pengamatan yang mendalam bahwa perbedaan antara
mereka jauh lebih besar daripada kesamaan yang terlihat di permukaan. Blau juga
berusaha mengembangkan sebuah teori yang menggabungkan tingkah laku sosial
dasar manusia dengan struktur masyarakat yang lebih luas, yakni antara kelompok,
organisasi atau Negara. Konsep Blau mengenai pertukaran sosial “terbatas kepada tingkah laku yang
menghasilkan ganjaran atau imbalan, yang artinya tingkah laku akan berhenti
bila pelaku tersebut berasumsi bahwa dia tidak akan mendapat imbalan lagi”[4].
Menurut
Blau, banyak orang tertarik pada satu sama lain karena banyak alasan yang
memungkinkan mereka membangun sebuah asosiasi sosial atau sebuah organisasi
sosial. Begitu ikatan awal sudah terbentuk maka ganjaran yang mereka berikan
kepada sesamanya dapat berfungsi untuk mempertahankan dan menguatkan ikatan
itu. Blau menekankan tentang adanya perbedaan yang mendasar antara jenis dua
bentuk pertukaran, yakni dunia mikro dan dunia makro yang kemudian
digarisbawahi tentang ketidakseimbangan kekuasaan yang menyebakan terjadinya
pembagian tugas
Dalam
masyarakat luas, ketiadaan interaksi secara langsung antara anggota-anggota
asosiasi menyebabkan harus dibuatnya sebuah sarana atau mekanisme yang
menengahi atau mengantarai interaksi mereka. Menurut Blau, sarana atau
mekanisme yang tepat adalah norma-norma dan nilai-nilai yang ada dalam
kehidupan masyarakat itu sendiri[5]
Norma
dalam hal ini digunakan sebagai alat tukar yang menggantikan pertukaran secara
tidak langsung menjadi pertukaran yang langsung, seperti yang dilakukan oleh
seseorang dalam masyarakat, dia harus melakukan konformitas agar ia mendapat
pengakuan dari masyarakat. Bila norma digunakan sebagai sarana pertukaran
antara individu dengan masyarakat, maka nilai digunakan sebagai alat pertukaran
antara kelompok dengan kelompok, dalam contoh negative sepert halnya suporter
sepak bola, bila di kandang lawan mereka mendapat respon yang buruk maka hal
itu juga akan terjadi saat suporter lawan bertandang ke markas mereka.
Blau
mendefinisikan 4 tipe dasar nilai, yaitu nilai yang bersifat khusus sebagai
media untuk berintegrasi dan solidaritas, dan berfungsi menyatukan kelompok ke
dalam, kedua yaitu nilai yang bersifat universal, dan berstandard umum untuk
terjadinya pertukaran secara tidak langsung dan memunculkan adanya imbalan yang
seimbang, ketiga yaitu nilai yang melegitimasi otoritas yang berfungsi sebagai
alat control sosial, dan nilai yang bersifat oposisi yang menginginkan sebuah
kemajuan yang lebih efektif dengan cara kontak pribadi atau dengan orang-orang
untuk melawan kemapanan yang sudah ada.
Pada
intinya, konsep yang diungkapkan Blau membawa kita jauh dari teori pertukaran
Homans yang menitikberatkan hubungan tingkah laku individu. Blau menggunakan
istilah masyarakat, kelompok, norma-norma, dan nilai-nilai untuk menjelaskan
masalah apa yang dapat membagi dan mempersatukan masyarakat dengan bertolak
pada keprihatinan yang ada dalam paradigma fakta sosial yang telah dibahas
dalam teori fungsionalisme struktural.
b.
Teori Jaringan
Jaringan
sosial memiliki konsep menunjukan suatu hubungan sosial yang diikat oleh adanya
kepercayaan dan kepercayaan itu dipertahankan dan dijaga oleh norma-norma yang
ada. Pada dasarnya jaringan sosial terbentuk karena adanya rasa saling tahu,
saling menginformasikan, saling mengingatkan, dan saling membantu dalam
melaksanakan ataupun mengatasi sesuatu[6].
Teori
jaringan sosial menilai bahwa setiap aktor (individual atau kelompok) memiliki
akses berbeda terhadap sumber daya (kekayaan, kekuasaan, informasi).
Beberapa
pakar antropologi maupun sosiologi dari beberapa literatur mengatakan, jaringan
sosial dapat di bedakan dalam tiga jenis yaitu :
a)
Pertama, Jaringan interest (kepentingan),
terbentuk dari hubungan-hubungan sosial yang bermuatan kepentingan.
b)
Kedua, Jaringan power, hubungan-hubungan
sosial yang membentuk jaringan bermuatan power. Power disini merupakan
kemampuan seseorang atau unit sosial untuk mempengaruhi perilaku dan pengambil
keputusan orang atau unit sosial lainnya melalui pengendalian.
c)
Ketiga, Jaringan sentiment (emosi),
jaringan ini terbentuk atas dasar hubungan-hubungan sosial yang bermuatan
emosi, misalnya; percintaan, pertemanan atau hubungan kerabat, dan sejenisnya.
Struktur sosial yang terbentuk dari hubungan-hubungan emosi pada umumnya lebih
mantap atau permanen.
Ketiga
tipe jaringan sosial ini dalam kehidupan nyata sering kali berpotongan.
Pertemuan-pertemuan tersebut membangkitkan suatu ketegangan bagi pelaku yang
bersangkutan karena logika situasional atau struktur sosial dari masing-masing
tipe jaringan berbeda atau belum. sesuai satu sama lain. Oleh karena itu,
seringkali terlihat kontradiksi antara tindakan-tindakan dengan sikap yang
pelaku wujudkan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Korupsi dalam Prespektif Teori
Pertukaran
Blau
menyatakan bahwa terjadi tarik menarik yang mendasar antara pelaku-pelaku
sosial tersebut yang menyebabkan terjadinya teori pertukaran sosial, dan dia
menggunakan paradigma yang terdapat dalam karya Homans untuk menjelaskan
mengenai ketimpangan kekuasaan. Ketimpangan kekuasaan terjadi karena
ketidakseimbangan ganjaran yang diberikan antara pihak satu dengan pihak lain.
Blau mengatakan bahwa ‘sementara yang lain dapat diganjar dengan cara yang
memadai melalui pengungkapan kepuasan telah menolongnya, maka pihak yang
ditolong itu tidak harus memaksa dirinya dan menghabiskan waktunya untuk
membahas pertolongan dari penolongnya’[7]
Namun
dibalik itu, ganjaran yang tidak seimbang juga dapat memperlemah atau bahkan
menghancurkan asosiasi itu sendiri yang akan melahirkan sebuah eksploitasi
kekuasaan. Ganjaran yang dimaksud dalam ini pertama adalah ganjaran yang
bersifat Intrinsik, seperti cinta, kasih sayang, afeksi, dan lain-lain.
Ganjaran yang kedua adalah ganjaran yang bersifat ekstrinsik, seperti uang,
barang, dan bahan material lainnya, karena setiap kelompok tidak dapat
memberikan ganjaran secara seimbang, maka disitulah ketimpangan kekuasaan
terjadi.
Berbicara
tentang Korupsi identik dengan kekuasaan, penyalahgunaan wewenang ataupun
kekayaan. Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu
yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mendapatkan keuntungan pribadi,
merugikan kepentingan umum dan negara.
Menurut
Teori pertukaran sosial korupsi merupakan buah dari terjadinya ketimpangan
sosial di dalam proses bermasyarakat. Seseorang dalam kehidupan bermasyarakat
wajib melakukan interaksi dengan manusia yang lain apabila ingin menjaga
kelangsungan hidupnya di masa mendatang. Begitu juga dalam tindakan seseorang
individu untuk memiliki kekuasaan ataupun memiliki kekuatan dalam hal ini
wewenang dan kekayaan.
Teori
Pertukaran Sosial adalah teori yang memandang hubungan interpersonal sebagai
suatu transaksi dagang. Jadi, orang berhubungan dengan orang lain karena
mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Perumusan tersebut mengasumsikan
bahwa interaksi manusia melibatkan pertukaran barang dan jasa, dan bahwa biaya
atau suatu elemen dalam hubungan yang bersifat negatif (cost), pengambilan
keputusan antara akan melanjutkan hubungan atau mengakhirinya (outcome), dan
imbalan, atau elemen dalam hubungan yang bersifat positif (reward), dipahami
dalam situasi yang akan disajikan untuk mendapatkan respon dari
individu-individu selama interaksi sosial.
Jika
imbalan dirasakan tidak cukup atau lebih banyak dari biaya, maka interaksi
kelompok akan diakhiri atau individu-individu yang terlibat akan mengubah
perilaku mereka untuk melindungi imbalan apa pun yang mereka cari. Pendekatan
pertukaran sosial ini penting karena berusaha menjelaskan fenomena kelompok
dalam lingkup konsep-konsep ekonomi dan perilaku mengenai biaya dan imbalan.
Makin tinggi nilai hasil suatu perbuatan bagi seseorang, makin besar pula
kemungkinan perbuatan itu diulanginya kembali. Asumsi Teori Pertukaran Sosial
mengenai keadaan manusia (human nature)[8]:
1)
manusia mencari keuntungan dan menghindari
hukuman;
2)
manusia sebagai mahluk rasional;
3)
standar-standar manusia menggunakan
evaluasi biaya dan keuntungan dari waktu ke waktu dan dari orang per orang.
Misalnya,
pihak pertama membutuhkan jasa pihak kedua, dan pihak kedua tidak memberikan
bantuan sebagaimana mestinya maka pihak pertama akan memiliki tiga alternatif
pilihan, antara lain pihak pertama akan menekan pihak kedua untuk memberikan
bantuannya, lalu pihak pertama akan mencari bantuan agar mendapatkan bantuan
dari pihak yang lain, dan pihak pertama akan berusaha semaksimal mungkin dengan
berbagai cara walau tanpa bantuan dari pihak manapun. Namun, bila semua pilihan
itu tidak juga berhasil, maka pihak pertama hanya memiliki satu pilihan
terakhir, yaitu menyerahkan diri kepada pihak yang mampu memberikan bantuan
kepada pihak pertama tersebut yang akhirnya dapat menimbulkan sebuah perbedaan
antara pihak-pihak yang memberi bantuan dengan pihak-pihak yang diberikan
bantuan dengan persentase kekuasaan terbesar ada pada pihak yang memberi
bantuan.
Contoh
Kasus : Gartifikasi Lurah menerima suap dari pihak pemilik modal.
·
Seorang calon lurah atau kepala desa
pada saat kampanye memberikan visi- misinya atau janji kepada masyarakat akan
memberikan kesejahteraan bagi masyarakat desa yang akan dipimpinnya.
·
Setelah menjabat jadi lurah atau kepala
desa, dia mengingkari janjinya untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat
dan memajukan desa.
·
Lurah tersebut melakukan tindakan
penyalahgunaan jabatan dengan cara membuat keputusan yang merugikan warga
masyarakat yakni menyetujui pembanguan proyek ditanah milik masyarakat, yang
menyebabkan sebagian penduduk kehilangan tempat tinggalnya atau diusir.
·
Salah satu masyarakat yang terusir atau
dirugikan adalah selingkuhan lurah.
·
Pemilik proyek memberikan suap kepada
lurah dalam pengambilan keputusan persetujuan.
Berdasarkan
kasus tersebut, hal yang dapat disimpulkan adalah Janji politik yang
disampaikan Calon Lurah kepada masayarakat sebagai syarat untuk dipilih menjadi Lurah. Akan tetapi
terjadi ketimpangan perilaku setelah individu tersebut mempunyai wewenang dan
kekuasaan sebagai seorang Lurah, yakni mengeluarkan kebijakan yang merugikan
kepentingan masyarakat. Maka terjadilah suatu pertukaran sosial yang negatif
dimana Jasa masyarakat (dalam hal ini suara) yang mengangkatnya sebagai Lurah
tidak sesuai dengan perilaku sang Lurah terhadap msayarakat.
Transaksi
politik dianggap lumrah terjadi di Indonesia, hal tersebut adalah salah satu
pemicu terjadinya Korupsi. Bayang-bayang kekuasaan dan kekayaan seakan-akan
memaksa individu untuk melakukan transaksi politik demi menduduki suatu
jabatan. Ketimpangan sosial pun terjadi ketika individu tersebut terjebak dalam
tindakan balas jasa yang membawa dia kepada pemegang kekuasaan tertentu.
B. Korupsi dalam Prespektif Teori
Jaringan
Teori
jaringan termasuk bagian dasarnya kapital sosial, terdiri dari tiga dimensi
utama yakni kepercayaan (trust), norma, dan jaringan (network). Berdasar
sifatnya, kapital sosial dapat bersifat mengikat (bonding), menyambung
(bridging), dan bisa pula bersifat mengait (linking).
Jaringan
sosial merupakan suatu jaringan tipe khusus, dimana ikatan yang menghubungkan satu
titik ke titik lain dalam jaringan adalah hubungan sosial. Hubungan sosial bisa
dipandang sebagai sesuatu yang seolah-olah merupakan sebuah jalur atau saluran
yang menghubungkan antara satu orang (titik) dengan orang-orang lain dimana
melalui jalur atau saluran tersebut bisa dialirkan sesuatu, misalnya barang,
jasa, dan informasi. Hubungan sosial antara dua orang mencerminkan adanya
pengharapan peran dari masing-masing lawan interaksinya.
Jaringan
sosial menjadi penting di dalam masyarakat karena di dunia ini bisa dikatakan
tidak ada manusia yang tidak menjadi bagian dari jaringan-jaringan hubungan
sosial. Walaupun begitu manusia tidak selalu menggunakan semua hubungan sosial
yang dimilikinya dalam mencapai tujuan-tujuannya, tetapi disesuaikan dengan ruang
dan waktu atau konteks sosialnya[9].
Sedangkan
dalam usaha individu untuk mencapai tujuan perlu adanya jaringan yang kuat agar
peran dari jaringan yang si individu bangun, dapat menjamin keinginannya untuk
memiliki kekuasaan dan wewenang.
Dalam
arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan
resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintahan rentan korupsi dalam
prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk
penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai
dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi
adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri,
dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Menurut
Robert M.Z. Lawang (2004:50-54), jaringan merupakan terjemahan dari network,
yang berasal dari dua suku kata yaitu net dan work. Net diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia sebagai jaring, yaitu tenunan seperti jala, erdiri dari banyak
ikatan antar simpul yang saling terhubung antara satu dengan yang lain.
Sedangkan kata work berarti makana sebagai kerja. Gabungan kata net dan work,
sehingga menjadi network, yaitu penekanannya terlettak pada kerja bukan jaring,
dimengeti sebagai kerja (bekerja) dalam hubungannya antara simpul-simpuk
seperti halnya jaring (net).
Organisasi
adalah kumpulan manusia yang saling berhubungan satu sama lain sehingga
membentuk suatu jaringan. Manusia adalah makhluk yang tidak bisa mencukupi
kebutuhannya sendiri. Manusia memerlukan orang lain untuk memenuhi
kebutuhannya. Oleh karena itu manusia hidup berorganisasi untuk saling
bekerjasama memenuhi kebutuhan hidupnya. Jaringan di dalam organisasi bertujuan
untuk menganalisis perilaku manusia karena manusia satu akan mempengaruhi yang
lainnya.
Menurut
A.H. Maslow, situasi-situasi organisasi baik secara langsung maupun tidak
langsung berasal dari hierarki kebutuhan manusia. Inti dari teori Maslow adalah
bahwa kebutuhan itu tersusun dalam sebuah hierarki. Kebutuhan manusia dibagi
menjadi dua, yaitu kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder. Kebutuhan primer
yairu kebutuhan Psikologis seperti rasa haus, lapar dan seksual. Kemudian jika
kebutuhan tersebut telah terpenuhi maka muncullah kebutuhan tingkat ordo yaitu
kebutuhan psikologis, sosial atau kebutuhan sekunder. Kebutuhan sekunder
seperti kebutuhan akan keamanan, kesetiakawanan, pengakuan, harga diri dan
aktualisasidiri. Teori Maslow mengemukakan bahwa manusia akan berusaha memenuhi
kebutuhan yang lebih pokok (primer) sebelum memenuhi kebutuhan yang lebih
tinggi (sekunder). Hal terpenting dalam pemikiran Maslow adalah bahwa kebutuhan
yang telah dipenuhi terhenti daya motivasinya. Apabila orang memutuskan bahwa
upahnya dari organisasi sudah cukup tinggi maka uang tidak mempunyai daya
motivasi lagi.
Dalam
literatur sosiologi lazim disebutkan bahwa tindakan korupsi sedikitnya
melibatkan empat komponen penting yaitu: birokrat, politisi, pelaku bisnis, dan
masyarakat. Mereka melakukan tindakan terencana dan sistematis memindahkan
harta publik (milik rakyat) menjadi harta privat. Mereka juga memanfaatkan
harta publik untuk kepentingan pribadi, baik dengan memfaatkan kelemahan
regulasi maupun dengan melanggar peraturan-peraturan yang berlaku. Jaringan
sosial yang mereka beragam, bergantung pada asal inisiatif korupsi (inisiatif
siapa), pihak-pihak yang ditempatkan sebagai perantara, dan mekanisme yang
dipergunakan untuk memindahakan atau memanfaatkan harta publik yang dikorupsi.
Di
negara berkembang seperti Indonesia, inisiatif korupsi sesungguhnya tidak hanya
datang dari birokrat atau politisi. Tetapi bisa juga dari agen-agen berbagai
lembaga donor. Agen-agen ini muncul bersamaan dengan praktek-praktek korporasi
multinasional (transnational practices) yang secara sistematis mempengaruhi
arah kebijakan publik di negara-negara berkembang. Kebijakan publik diarahkan
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan skenario besar mereka
Banyak
pengamat menengarai bahwa besaran korupsi dan jumlah koruptor di negara-negara
berkembang sejajar dengan besaran dana dan jumlah lembaga donor yang masuk ke
negara-negara tersebut. Artinya kehadiran lembaga donor sesungguhnya ikut
menyuburkan korupsi, terutama ketika lembaga-lembaga peradilan tidak memiliki
kapasitas dan integritas yang kuat dalam mencegah dan memberantas tindakan korupsi[10].
Contoh
Kasus
Kejari
Sidoarjo Konfrontasi Belasan Kades dengan Penerima Dana Bansos
Metrotvnews.com,
Sidoarjo: Kejaksaan Negeri Sidoarjo, Jawa Timur, memeriksa dua orang terkait
kasus korupsi dana bantuan sosial (bansos) 2013. Keduanya disebut-sebut sebagai
koordinator penerimaan dana bansos.
Pemeriksaan
berlangsung di Kantor Kejari Sidoarjo, Senin 23 Januari. Penyidik
mengkonfrontasi mereka dengan 15 kepala desa yang menjadi saksi dalam kasus
tersebut.
Kepala
Kejari Sidoarjo M Sunarto menyebutkan dua orang itu bernama drg Anang dan
Sugik. Anang merupakan mantan Kepala Desa Kepatihan, Kecamatan Tulangan. "Kami
konfrontasi untuk mempercepat proses penyidikan," kata Sunarto.
Sebelumnya,
penyidik Kejaksaan Negeri Sidoarjo menaikkan status pemeriksaan dari
penyelidikan menjadi penyidikan. Sebanyak 32 kepala desa dan anggota kelompok
masyarakat yang diperiksa. (RRN)[11]
Berdasarkan
panggalan kasus korupsi di atas, diduga adanya usaha korupsi yang dilakukan
secara bersam-sama. Hal tersebut membuktikan adanya hubungan sosial yang
dibangun antara pemangku kekuasaan, dalam hal ini Kepala Desa dalam usaha
menyalahgunakan bantuan sosial yang bertujuan meningkatkan pundi-pundi kekayaan
masing-masing.
Jaringan
korupsi masal ini, dicurigai bukan hanya berasal dari pemilik kekuasaan saja
akan tetapi melibatkan anggota masyarakat yang ikut bekerjasama dalam suatu
jaringan sosial demi mendapatkan keuntungan masing-masing pelaku korupsi. Maka
demikian korupsi bukan hanya bisa dilakukan secara inividu tetapi bisa
dilakukan secara bersama-sama demi menyembunyikan perbuatan mereka. Maka perlu
adanya jaringan sosial yang kuat antar sesama pelaku korupsi demi memudahkan keinginan
mereka memiliki kekayaan.
DAFTAR
PUSTAKA
George
Ritzer & Douglas J. Goodman, 2004, Teori
Sosiologi Modern, Jakarta:Prenada Media
Kartono,
Kartini, 1983, Pathologi Sosial,
Edisi Baru, Jakarta:CV. Rajawali Press.
Lubis,
Mochtar, 1985, Bunga Rampai Korupsi, Jakarta:LP3ES
Poloma,
Margaret M, 1994, Sosiologi Kontemporer,
Jakarta:PT. Raja Grafindo
Raho,
Bernard, 2007, Teori Sosiologi Modern,
Jakarta:Prestasi Pustaka
R.M.Z
Lawang, 2005, Kapital Sosial Dalam
Perspektif Sosiologi, Jakarta:FISIP UI Press
Ruddy
Agusyanto, 2007, Jaringan Sosial Dalam
Organisasi, Jakarta:Raja Grafindo
Zeitlin,
Irving, 1995, Memahami Kembali Sosiologi,
Yogyakarta:UGM Press
[1]
Huntington, Samuel P. 1968, “Gelombang Demokratisasi Ketiga”. PT. Pustaka Utama Grafiti:Jakarta
[2]
Kartono, Kartini. 1983. Pathologi Sosial. Jakarta. Edisi Baru. CV. Rajawali
Press.
[3]
Lubis, Mochtar, 1985. Bunga Rampai Korupsi, LP3ES, Jakarta
[4]
Diakses pada : https://wahyurahardian.wordpress.com/2014/06/14/konsep-kekuasaan-teori-pertukaran-peter-m-blau/
Tgl 30/1/2017 Jam 21:12
[5]
Irving M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi, Yogyakarta : UGM Press, 1995,
hlm 121.
[7]
Irving M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi, Yogyakarta : UGM Press, 1995,
hlm 121.
[8]
Diakses Pada http://resyanurinp.blogspot.com/2013/12/analisis-aplikasi-teori-pertukaran.html
tgl 30/1/2017 pada jam 23:09
[10]
Diakses pada https://ridahelfridapasaribu.wordpress.com/2015/06/15/korupsi-sebagai-jaringan/
tgl 31/1/2017 jam 6:31
Tidak ada komentar:
Posting Komentar